Psikologi Pendidikan: Pendekatan Teori Belajar Konstruktivisme dalam Proses Pengajaran dan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

Psikologi Pendidikan
Psikologi Pendidikan (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pembelajaran pada dasarnya ialah kegiatan jiwa yang dilakukan dengan interaktif dalam lingkungan pendidikan untuk menghasilkan perubahan dari segi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), nilai (value) dan sikap (attitude).

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.

Pembelajaran pada dasarnya memberikan kepada seorang siswa sejumlah banyaknya bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut serta memberi kesempatan terhadap siswa untuk bisa mempertanggung jawabkan sendiri hal yang telah dipelajarinya segera setelah siswa tersebut mampu memahami pelajaran tersebut dan bisa mengerjakan tugasnya sendiri.

Teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran yang akan dipaparkan pada pembahasan kali ini adalah teori belajar Lev Vygotsky yang dikenal dengan social cultural constructivist theory.

Bacaan Lainnya

Konstruktivisme merupakan filosofi belajar yang dilandasi dasar pernyataan bahwa dengan merenungkan pengalaman kita membangun pengetahuan dan pemahaman kita sendiri tentang tempat hidup kita di dunia ini.

Konstruktivisme mendasari pemikiran bahwa pengetahuan itu bukan sesuatu yang diberikan dari alam, tetapi pengetahuan adalah hasil dari pembentukan aktif manusia itu sendiri dan setiap dari masing-masing kita akan menciptakan asumsi yang terdapat dalam pemikiran kita sendiri, yang kemudian digunakan untuk menafsirkan serta menerjemahkan pengalaman tersebut.

Dengan demikian, belajar semata-mata merupakan suatu proses kita mengelola model mental seseorang untuk mengadaptasi pengalaman baru.

Teori belajar konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru ke kepala siswa. Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah dipelajari atau diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalamannya.

Menurut Teori belajar konstruktivisme ini apa-apa yang diajarkan oleh guru tidak harus dipahami oleh siswa. Pemahaman siswa boleh berbeda dengan guru, sehingga dikatakan bahwa yang berhak menentukan pengetahuan adalah individu itu sendiri, bukan orang lain, yaitu dengan melalui indera yang dimiliki, atau dari satu pengalaman pada pengalaman selanjutnya

Belajar secara konstruktivisme dapat menjadi suatu bentuk latihan dalam memperoleh pengetahuan. Siswa diberi pertanyaan untuk mengembangkan kesimpulan berdasarkan pertimbangan bukti-bukti yang telah dimilikinya.

Aktivitas merupakan suatu kegiatan/tingkah laku yang dilakukan seseorang. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajaran disebut aktivitas belajar siswa.

Aktivitas belajar siswa berupa keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.

Jadi, aktvitas belajar adalah segala kegiatan dalam proses interaksi (guru dan peserta didik) dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran sehingga dalam hal ini semakin tinggi tingkat aktivitas belajar siswa maka siswa telah belajar dengan aktif. Oleh karena itu aktivitas menjadi faktor yang sangat penting dalam tercapainya suatu tujuan pembelajaran.

Vygotsky menjelaskan empat prinsip konstruktivisme sebagai berikut:

  1. Social leaning; pembelajaran yang dipandang sesuai dengan pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
  2. Zone of proximal development; bahwa siswa dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Lebih lanjut zona tersebut merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Siswa bekerja dalam ZPD jika seorang siswa tidak bisa memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer). Bantuan atau support dimaksud agar anak mampu mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak. Berkaitan dengan teori ZPD, Bruner mengembangkan ide Vygotsky lebih jauh. Ia menyarankan guru menggunakan Scaffolding dalam pembelajaran.
  3. Cognitif apprenticeship; suatu proses menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
  4. Mediated learning; menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, realistic dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

Teori konstruktivisme menurut Vygotsky menekankan pembahasan psikologi perkembangan pada sudut pandang sociocultural.

Pemikiran Vygotsky didasarkan pada ketertarikannya akan ilmu bahasa “Bahasa dalam arti yang luas”, dipahami sebagai 1) sistem tanda untuk mewakili suatu benda, tindakan, gagasan dan keadaan, atau dapat juga dipahami sebagai tanda simbolik 2) untuk menyampaikan suatu konsep nyata pada pikiran orang, 3) kesatuan sistem makna.

Teori Vygotsky yang lain dan terkenal adalah scaffolding, yaitu memberikan kepada seorang siswa sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri.

Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, serta menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri dalam belajar.

Dalam hal ini pandangan konstruktivisme tentang belajar, termasuk belajar IPS, adalah proses intelektual di mana peserta didik mengembangkan apa yang mereka ketahui melalui proses penyelarasan gagasan-gagasan baru dengan gagasan-gagasan yang telah dipelajari pada pengalaman sebelumnya, dan mereka melakukan penyesuaian itu melalui cara-cara yang unik dari mereka masing-masing.

Sehingga bisa dikatakan pandangan konstruktivisme memfokuskan pada proses proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Berkenaan dengan prakteknya dikelas, pendekatan pendekatan konstruktivis mendukung kurikulum dan pengajaran student centered (berpusat pada siswa) bukannya teacher-centered (berpusat pada guru), sehingga siswa adalah kunci pembelajaran.

Pendekatan pembelajaran IPS dapat menjadi salah satu contoh penerapan model pembelajaran konstruktivis, dan dapat diterapkan dalam pembelajaran IPS.

Dengan pendekatan pembelajaran ini, tidak saja siswa dapat mengembangkan konsep-konsep sendiri dalam memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat, mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah sosial di lingkungannya, mengembangkan prosedur berpikir ilmiah, meningkatkan rasa percaya diri, dan mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial dalam ikut serta meningkatkan partisipasi sosial sebagai warga negara yang baik, bernalar, dan bertanggung jawab.

Inovasi pembelajaran IPS dengan pendekatan konstruktivisme sosial melalui praktik belajar IPS yang berorientasi pada masalah-masalah kontekstual dapat diimplementasikan dengan prosedur pembelajaran sebagai berikut:

  1. Siswa diberikan tugas mandiri untuk membaca dan mengerjakan tugas-tugas dalam buku IPS.
  2. Hasil tugas mandiri ini dijadikan dasar oleh siswa secara berkelompok untuk menyiapkan makalah presentasi dan mengembangkan media presentasi menggunakan program media powerpoint yang menggunakan model kerangka konseptual.
  3. Sebelum siswa mempresentasikan pokok materi yang telah dipelajari, guru terlebih dahulu memberikan model rancangan kepada siswa untuk melakukan presentasi menggunakan media presentasi powerpoint dengan model rancangan kerangka konseptual dan melaksanakan diskusi kelas.
  4. Dengan model rancangan tersebut kemudian siswa diberikan kesempatan untuk melakukan presentasi pokok materi yang telah disiapkan secara berkelompok secara lisan dalam presentasi dan diskusi untuk pemecahan masalah kontekstual.

Proses ini secara sosial diharapkan dapat memecahkan konflik kepentingan antaranggota kelompok, keberanian, dan kemampuan menghubungi sumber belajar lainnya, belajar berkomunikasi secara intensif dengan guru pembimbing dengan penuh rasa hormat baik pada aktivitas kurikuler maupun kokurikuler, kemampuan mempertahankan pendapat, kemampuan mempengaruhi pikiran dan keyakinan orang lain secara lisan, serta mengembangkan kemampuan berdiskusi dan berdebat dengan teman sekelompok atau sekelas.

Pelaksanaan inovasi pembelajaran ini juga menemukan bahwa siswa dapat meningkatkan rasa percaya diri, kepekaan, dan komitmen sosialnya. Peningkatan rasa percaya diri siswa dapat diwujudkan melalui bimbingan belajar dengan menumbuhkan keyakinan dan sikap positif siswa bahwa mereka dapat belajar dengan baik dan mencapai hasil belajar yang optimal jika mereka melakukan semua upaya-upaya belajar yang efektif.

Pemahaman dan kesadaran yang muncul kemudian ditantang dengan memberikan siswa untuk terlibat aktif dan mengembangkan partisipasi sosial secara aktif dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat.

Dalam berbagai kegiatan siswa dapat diintegrasikan melalui aktivitas belajar yang memungkinkan siswa melakukan analisis dan klarifikasi secara sosial serta memberikan kebebasan kepada mereka untuk memutuskan secara rasional dan bertanggung jawab sesuai dengan keyakinan fakta kebenaran yang mereka pahami.

Aktivitas belajar seperti inilah yang diharapkan memfasilitasi siswa menyelaraskan pengetahuan sosial dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakatnya, mengembangkan sikap positif, dan menumbuhkan keinginan berpartisipasi aktif untuk memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang aktual dan kontroversial terjadi dalam kehidupan sehari-hari

Dalam proses pembelajaran seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosio budaya setempat.

Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta didik.

Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal berikut:

  1. Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran IPS dinilai dapat menjembatani kesenjangan antara pembelajaran IPS di dalam kelas dengan perkembangan dinamikan sosial di masyarakat. Membanjirnya informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan sudah semestinya diimbangi dengan inovasi berkelanjutan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu gurulah yang memegang tanggung jawab utama. Guru dapat mengimplementasikan pendekatan pembelajaran konstruktivisme prosedur pelaksanaan pembelajaran sebagai berikut: (a) memberikan tugas mandiri kepada siswa; (b) melakukan presentasi menggunakan media power point; (c) presentasi dan diskusi oleh siswa yang dibimbing guru; dan (d) kegiatan mengakses berbagai sumber belajar di masyarakat.
  2. Guru dapat mengembangkan pembelajaran IPS dengan pendekatan konstruktivisme secara lebih lanjut seraya meminimalisi kendala-kendala di lapangan. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh sebagai berikut: (a) siswa menggali isu-isu sosial; (b) siswa mengidentifikasi dan merumuskan masalah social yang actual; (c) siswa menggali informasi dari berbagai sumber belajar; (d) siswa menetapkan beberapa alternatif pemecahan masalah; (e) siswa merumuskan solutif dari masalah social di lapangan; (f) siswa menetapkan rencana tindakan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar; (g) siswa membuat karya ilmiah mengenai permasalahan sosial; (h) siswa mempresentasikan temuan masalah social ke dalam diskusi kelompok di kelas; dan (i) guru dan siswa melakukan refleksi pengalaman belajar.

 

Penulis: Muhammad Ana Nasarudin
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Neger Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses