Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seringkali dihadapkan pada berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Frekuensi dan intensitas bencana ini seolah tak pernah berkurang, bahkan cenderung meningkat seiring perubahan iklim global. Di tengah situasi ini, peran serta berbagai elemen masyarakat menjadi sangat krusial dalam upaya penanggulangan bencana. Salah satu elemen yang semakin penting adalah tenaga informatika atau IT.
Sebagai negara yang terletak di kawasan cincin api pasifik, Indonesia telah mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam dalam beberapa tahun terakhir.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa jumlah kejadian bencana terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 5.400 bencana terjadi di berbagai daerah di Indonesia, meningkat dibandingkan dengan 3.544 kejadian pada tahun 2022.
Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan cuaca ekstrem mendominasi kejadian bencana di Indonesia. Sepanjang tahun 2024, banjir tercatat sebanyak 227 kasus, diikuti oleh cuaca ekstrem dengan 89 kejadian.
Selain itu, gempa bumi dan tsunami juga memberikan dampak signifikan, dengan korban jiwa mencapai 90 persen dari total korban bencana antara tahun 2000-2020. Peningkatan frekuensi dan intensitas bencana ini menuntut kontribusi yang lebih besar dari berbagai pihak, termasuk tenaga IT, dalam upaya penanggulangan dan mitigasi bencana alam di Indonesia.
Teknologi informasi telah berkembang pesat dan memberikan dampak signifikan dalam berbagai sektor, termasuk dalam penanggulangan bencana. Mulai dari sistem peringatan dini, pengolahan data, hingga koordinasi logistik bantuan, semua memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi respons terhadap bencana.
Tenaga IT, dengan keahlian mereka dalam mengembangkan dan mengelola teknologi, memainkan peran vital dalam memastikan bahwa bantuan dapat disalurkan dengan cepat dan tepat sasaran.
Teknologi informasi memainkan peran penting dalam pengelolaan bencana alam melalui berbagai tahap, seperti mitigasi, persiapan, respons, dan pemulihan.
Alat seperti Sistem Informasi Geografis (GIS), penginderaan jauh, dan komunikasi satelit memungkinkan pemantauan area rawan bencana secara real-time, memberikan peringatan dini, dan mendukung koordinasi evakuasi yang efisien. Teknologi ini juga membantu dalam analisis data yang besar untuk merencanakan upaya mitigasi dan pemulihan pasca bencana yang lebih baik (Alexander, 1991); (Schmitt et al., 2007).
Selain itu, Internet of Things (IoT) dan big data memungkinkan pengumpulan dan analisis informasi yang cepat selama bencana, sehingga dapat meningkatkan respons tanggap darurat dan mengurangi kerugian (Sinha et al., 2019); (Yu et al., 2018). Dengan integrasi teknologi ini, negara dapat mempercepat proses pemulihan dan meningkatkan ketahanan terhadap bencana di masa depan.
Bela negara adalah sikap dan perbuatan yang ditunjukkan individu, kelompok, dan bangsa dalam mengupayakan yang terbaik terhadap kepentingan nasional.
Secara lebih luas bela negara adalah tekad, sikap, dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian rela berkorban demi menjamin kelangsungan hidup bernegara (Umra, 2019).
Bela negara bukan hanya tentang kesiapan fisik dan mental dalam menghadapi ancaman, tetapi juga melibatkan kontribusi setiap warga negara dalam berbagai bidang, termasuk teknologi. Di era digital ini, penerapan teknologi dalam penanggulangan bencana alam menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya bela negara.
Teknologi memungkinkan kita untuk merespons bencana dengan lebih cepat dan efisien, mulai dari sistem peringatan dini hingga koordinasi bantuan evakuasi bencana. Tenaga IT terlibat dalam pengembangan dan implementasi teknologi memiliki peran strategis dalam menjaga keselamatan banyak orang.
Dengan menggabungkan nilai bela negara, seperti “rela berkorban untuk bangsa dan negara“, tenaga IT turut serta dalam upaya ini, memastikan bahwa teknologi yang mereka ciptakan dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama pada saat-saat darurat.
Penerapan teknologi dalam penanggulangan bencana sejatinya adalah wujud nyata dari rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, serta komitmen untuk menjaga kesejahteraan bersama melalui inovasi dan dedikasi di bidangnya.
Salah satu contoh penggunaan teknologi dalam evakuasi bencana alam di Indonesia adalah implementasi Sistem Informasi Geografis (SIG) berbasis web. SIG membantu dalam menentukan kebijakan dan koordinasi penanggulangan bencana di wilayah terdampak, seperti distribusi logistik, pembangunan barak pengungsian, dan rekonstruksi pasca bencana.
Dengan menggunakan SIG, pengambil keputusan dapat dengan mudah memetakan wilayah rawan bencana dan mengelola data geografis secara real-time. Sebagai contoh, saat terjadi bencana gempa bumi di Lombok pada tahun 2018, teknologi SIG digunakan untuk memetakan daerah terdampak dan mengkoordinasikan upaya evakuasi serta distribusi bantuan (Arifin, 2016).
Selain itu, teknologi deteksi dan peringatan dini yang digunakan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) juga memiliki peran penting dalam memberikan informasi cepat dan akurat mengenai potensi bencana, sehingga masyarakat dapat segera melakukan evakuasi.
Implementasi teknologi dalam penanggulangan bencana maupun evakuasi bencana alam masih menghadapi berbagai hambatan yang perlu diperhatikan. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan infrastruktur teknologi, terutama di daerah-daerah terpencil atau sulit dijangkau. Di banyak wilayah rawan bencana, akses terhadap jaringan internet yang stabil atau perangkat komunikasi yang memadai masih terbatas.
Hal ini menghambat upaya untuk mengumpulkan informasi penting dan koordinasi secara real-time selama situasi darurat. Selain itu, meskipun ada teknologi seperti sistem peringatan dini dan aplikasi evakuasi, tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan teknologi tersebut masih cukup rendah, sehingga respon terhadap bencana sering terlambat.
Banyak sistem yang ada, seperti Sistem Informasi Geografis (SIG) yang digunakan oleh pemerintah, tidak selalu kompatibel dengan sistem yang digunakan oleh organisasi-relawan atau lembaga internasional. Ini menyebabkan kurangnya koordinasi yang efektif dan pemanfaatan data yang belum maksimal.
Sehingga, untuk memaksimalkan peran teknologi, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk meningkatkan infrastruktur, menyelaraskan sistem, dan memperkuat keamanan siber. Dengan mengatasi hambatan ini, teknologi dapat berfungsi lebih optimal dalam memperkuat kesiapsiagaan dan ketahanan Indonesia dalam menghadapi bencana alam.
Penulis: Susanti Ratna Sari
Mahasiswa Administrasi Bisnis, Universitas Pembangunan Nasional
Referensi
Alexander, D. (1991). Information technology in real-time for monitoring and managing natural disasters. Progress in Physical Geography, 15(3), 238–260. https://doi.org/10.1177/030913339101500302
Arifin, R. W. (2016). Pemanfaatan teknologi informasi dalam penanggulangan bencana alam di Indonesia berbasiskan web. Bina Insani ICT Journal, 3(1), 1–6.
Schmitt, T., Rao, R., & Eisenberg, J. (2007). Improving disaster management: The role of IT in mitigation, preparedness, response, and recovery. National Academies Press.
Sinha, A., Kumar, P., Rana, N., Islam, R., & Dwivedi, Y. (2019). Impact of Internet of Things (IoT) in disaster management: A task-technology fit perspective. Annals of Operations Research, 283(1–2), 759–794. https://doi.org/10.1007/s10479-017-2658-1
Umra, S. I. (2019). Penerapan konsep bela negara, nasionalisme atau militerisasi warga negara. Lex Renaissance, 4(1), 164–178.
Yu, M., Yang, C., & Li, Y. (2018). Big data in natural disaster management: A review. Geosciences, 8(5), 165. https://doi.org/10.3390/geosciences8050165
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News