Kemajuan teknologi telah membawa lompatan besar dalam dunia pendidikan, terutama dengan kemunculan kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT. ChatGPT, singkatan dari Chat Generative Pre-trained Transformer, adalah model AI yang mampu menghasilkan teks, menjawab pertanyaan, dan memberikan solusi atas berbagai masalah dengan cepat dan akurat.
Teknologi ini berkembang pesat dan mulai diterapkan di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Di Indonesia, ChatGPT semakin populer, terutama di kalangan mahasiswa yang memanfaatkannya untuk menyelesaikan tugas akademik seperti menulis esai, menganalisis data, atau sekadar mencari referensi tambahan.
Namun, seperti pisau bermata dua, ChatGPT membawa peluang dan ancaman yang saling beriringan. Di satu sisi, teknologi ini dianggap mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Siswa dapat mempelajari topik yang sulit secara mandiri dengan bantuan AI.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa penggunaan ChatGPT dapat menurunkan tingkat kejujuran akademik dan mempengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa. Plagiarisme, ketergantungan pada teknologi, dan kurangnya keterampilan literasi digital menjadi isu yang sering dibahas dalam diskusi akademik terkait ChatGPT.
Dalam konteks negara kita Indonesia, di mana akses pendidikan masih belum merata, ChatGPT dapat menjadi peluang besar untuk menjembatani kesenjangan pendidikan di berbagai daerah. Namun, tanpa pengawasan dan regulasi yang tepat, teknologi ini juga dapat menjadi ancaman bagi nilai-nilai pendidikan yang selama ini dijunjung tinggi.
Artikel ini akan membahas dua sisi dari revolusi pendidikan pasca ChatGPT, dengan menyertakan analisis terhadap contoh berita dan jurnal, serta mengulas dampaknya dalam membentuk paradigma pendidikan modern.
Peluang dalam Dunia Pendidikan
ChatGPT menawarkan berbagai manfaat bagi pendidikan, terutama di era digital. Siswa dapat mengakses informasi yang sulit ditemukan di buku teks, sementara guru dapat memanfaatkan teknologi ini untuk mendesain pengajaran yang lebih interaktif.
Sebagai contoh, sebuah studi dari Yusuf dan Hudaya (2023) menunjukkan bahwa mahasiswa di Indonesia menggunakan ChatGPT untuk membantu memahami topik yang kompleks, seperti penulisan akademik dan analisis data.
Efisiensinya dalam menghemat waktu dan memperluas sumber belajar. Dalam kondisi di mana banyak daerah di Indonesia kekurangan tenaga pengajar berkualitas, AI seperti ChatGPT dapat membantu menjembatani kesenjangan pendidikan. Dengan akses yang merata, siswa dari berbagai latar belakang sosial dapat menikmati sumber belajar yang lebih setara.
Namun, tidak sedikit pendidik yang melihat ChatGPT sebagai ancaman. Argumentasi mereka berfokus pada risiko plagiarisme dan berkurangnya kemampuan berpikir kritis siswa. Ketergantungan pada AI untuk menyelesaikan tugas dapat menyebabkan siswa kehilangan kemampuan dasar untuk menganalisis dan menyusun argumen logis.
Dalam artikel New York Times, misalnya, disebutkan bahwa beberapa universitas di Amerika telah mengubah pola pengajaran mereka untuk menekan dampak negatif AI pada proses pembelajaran.
Di Indonesia, meskipun diskursus mengenai regulasi masih minim, kekhawatiran serupa mulai muncul. Ada juga argumen bahwa penggunaan AI seperti ChatGPT memerlukan literasi teknologi yang baik agar tidak disalahgunakan.
Simpulan
Revolusi pendidikan pasca ChatGPT menghadirkan dualitas antara peluang dan ancaman. Di satu sisi, teknologi ini berpotensi meningkatkan akses pendidikan dan menciptakan metode pembelajaran yang lebih efisien. Di sisi lain, ancaman terhadap integritas akademik dan kemampuan berpikir kritis siswa tidak bisa diabaikan.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam merancang kebijakan yang adaptif dan berkelanjutan. Penggunaan AI harus disertai dengan literasi digital yang memadai dan pengawasan yang ketat. Sebagai contoh, penerapan tools anti-plagiarisme dapat menjadi langkah awal untuk menjaga kejujuran akademik.
Lebih jauh lagi, sistem pendidikan perlu diarahkan untuk memanfaatkan AI seperti ChatGPT secara maksimal, sambil tetap mempertahankan peran manusia sebagai penggerak utama pendidikan. Dengan pendekatan yang seimbang, revolusi ini tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga peluang besar untuk menciptakan pendidikan yang inklusif, adaptif, dan futuristik.
Penulis: Mutiara Salsabilla
Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Andalas
Referensi
- Yusuf, H., & Hudaya. (2023). Exploring ChatGPT and Higher Education Practice in Indonesia. International Journal of Membrane Science and Technology, 10(3), 1698-1703.
- Stokel-Walker, C. (2022). AI bot ChatGPT writes smart essays—should academics worry? Nature.
- Huang, K. (2023). Alarmed by AI chatbots, universities start revamping how they teach. New York Times.
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News