Pagi itu berbeda. Bukan karena langit lebih cerah, bukan juga karena udara lebih segar. Tapi karena hari itu adalah hari yang telah lama ditunggu dan sekaligus paling ditakuti oleh Laila.
Ia duduk di kursi rumah sakit yang sudah sangat akrab dengannya. Bau antiseptik, dentingan alat medis, suara pelan perawat yang berlalu-lalang semuanya sudah seperti bagian dari rutinitas. Tapi pagi itu, tangannya sedikit gemetar. Hari itu, ia akan menerima satu dosis terakhir dari rangkaian kemoterapi yang sudah mengubah hidupnya sejak delapan bulan lalu.
Delapan bulan. Dua puluh empat kali sesi. Rambut yang rontok, tubuh yang melemah, mual yang terus datang, malam-malam panjang yang hanya bisa dilewati dengan doa dan air mata. Tapi ia masih di sini. Duduk, tersenyum tipis, menatap selang infus itu dengan perasaan campur aduk.
“Ini bukan akhir. Ini baru mulai.”
Laila tahu, satu dosis terakhir bukan jaminan bahwa semua akan sembuh. Dokter tidak pernah menjanjikan keajaiban. Tapi hari itu bukan tentang hasil. Itu tentang perjalanan. Tentang bertahan. Tentang tidak menyerah ketika tubuh dan pikiran berkata “sudah cukup.”
Setiap orang punya bentuk perjuangannya masing-masing. Ada yang berjuang untuk hidup di tengah tekanan ekonomi. Ada yang berjuang untuk tetap waras dalam hubungan yang rumit. Dan ada yang, seperti Laila, berjuang untuk tetap hidup ketika tubuhnya sendiri sedang mencoba menyerah.
Banyak orang sakit terlihat sebagai kelemahan. Padahal, justru di titik paling lemah itulah seseorang bisa menunjukkan betapa kuat dirinya. Laila tidak pernah ingin menjadi kuat. Dia hanya ingin hidup.
Dia ingin melihat anaknya tumbuh, ingin bisa memasak lagi untuk suaminya, ingin duduk di sore hari sambil menyeruput teh hangat tanpa harus merasakan nyeri di setiap persendian.
“Saya ingin hidup biasa saja”
Itu yang ia bilang ke perawat saat sesi infus terakhir dimulai.
“Bukan ingin jadi luar biasa, bukan ingin jadi inspirasi. Saya cuma ingin bangun pagi tanpa rasa mual, bisa jalan ke taman, bisa tertawa tanpa takut kehabisan napas“.
Kadang, harapan paling sederhana justru yang paling dalam. Karena saat seseorang melewati badai panjang, ia akan belajar menghargai hal-hal yang dulu tampak biasa. Nafas yang lega, makan tanpa muntah, tidur yang nyenyak, pelukan hangat. Hal-hal kecil itu ternyata bisa menjadi anugerah terbesar.
Setelah Dosis Terakhir
Perjalanan belum selesai. Masih ada pemeriksaan berkala. Masih ada kekhawatiran kalau penyakit itu bisa datang lagi. Tapi di titik ini, Laila sudah bisa berkata aku bertahan.
Dan bukan cuma dia yang berubah. Orang-orang di sekitarnya pun berubah. Suaminya yang dulu sibuk bekerja, kini lebih sering di rumah. Anaknya yang dulu manja, kini lebih peduli. Bahkan ibunya yang jarang menunjukkan kasih saying , sekarang tak pernah absen memberi kabar tiap pagi.
Satu dosis terakhir tidak hanya menyembuhkan tubuh. Ia menyembuhkan hubungan, menyadarkan banyak hati, dan menyatukan kembali yang sempat renggang.
Dosis Terakhir
Untuk kamu yang sedang menunggu dosis terakhir. Entah itu dosis obat, atau dosis kesabaran di tengah hidup yang melelahkan ingatlah bahwa kamu tidak sendirian. Setiap orang sedang berjuang dengan caranya masing-masing. Dan tidak ada perjuangan yang sia-sia.
Satu dosis terakhir adalah symbol. Simbol bahwa kamu masih di sini. Masih bisa memilih. Masih bisa berharap. Karena selama harapan itu masih ada, hidup layak untuk terus diperjuangkan.
Dan siapa tahu, satu dosis terakhir itu adalah awal dari segalanya yang baru.
Penulis: Afrilia Zusita
Mahasiswa Farmasi, Universitas Islam Indonesia
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News