Ada yang mengatakan bahwa badar adalah nama sebuah sumur yang digali oleh seseorang yang bernama Badar dari kabilah Ghifar.
Perang Badar disebut juga dengan Badar ‘Uzhma, Badar Qital atau Yaumul Furqan. Sebutan yang terakhir ini sesuai dengan yang disebutkan dalam al-Qur’an, firman Allah Swt,
وَمَآ أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْغَانِۗ
“…dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan…”(QS. Al-Anfal:41)[1]
Perang Badar Kubro merupakan perang Badar kedua, yaitu sebuah perang besar yang dengannya Allah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, memuliakan Islam, serta menghancurkan kekafiran dan orang-rang kafir.
Peristiwa ini terjadi saat bulan Ramadhan pada tahun 2 H.[2] Sebabnya ialah, bahwa Rasulullah memustuskan hendak merintangi perniagaan orang Quraisy ke negeri Syam guna melemahkan kekuatan mereka, sebagai imbangan perbuatan mereka menghalangi umat Islam mengerjakan haji ke Baitul Haram di Makkah.[3]
Pada pertempuran Dzul Usyairah bahwa kafilah Quraisy berhasil lolos dari sergapan Rasulullah saat kepergian mereka dari Makkah menuju kawasan Syam.
Dan tatkala telah datang waktu kepulangannya dari Syam menuju Makkah, Rasulullah Saw. mengutus Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Zaid ke arah utara untuk memantau perkembangan beritanya.
Keduanya pun sampai ke daerah Hawra’ dan tinggal disana hingga akhirnya kafilah yang dipimpin Abu Sufyan melintasi tempat mereka berdua.
Keduanya langsung bergegas kembali ke Madinah dan memberitahukan kepada Rasulullah perihal kafilah tersebut.
Rasulullah mendengar berita bahwa kafilah dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan Shakhr bin Harb bertolak dari negeri Syam, dengan dikawal oleh empat puluh orang.
Rasulullah pun mengajak kaum Muslimin untuk menghadang kafilah tersebut. Kafilah yang termasuk besar itu membawa harta yang melimpah milik kaum Quraisy, seribu ekor unta yang sarat dengan muatan bernilai kurang lebih 50.000 dinar emas.[4]
Beliau memerintahkan setiap kaum Muslimin yang memiliki tunggangan untuk ikut berangkat. Namun, beliau tidak berhasil mengumpulkan jumlah yang besar.
Beliau hanya keluar dengan membawa tiga ratus sekian belas personel saja. Beliau menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai amir sementara dikota Madinah dan sekaligus menjadi imam shalat.
Setelah mereka sampai di ar-Rauha’, beliau memulangkan Abu Lubabah bin ‘Abdul Mundzir untuk menggantikan tugas Ibnu Ummi Maktum di Madinah.[5]
Kendaraan yang kaum Muslimin miliki hanya dua ekor kuda milik Zubair dan seekor kuda milik Miqdad bin al-Aswad al-Kindi.
Adapun unta yang ada hanya tujuh puluh ekor sehingga dua atau tiga orang, atau bahkan lebih berganti-gantian mengendarai seekor unta.
Rasulullah, bersama ‘Ali dan Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawi bergantian menunggangi seekor unta. Sementara itu, Zaid bin Haritsah, Anasah, dan Abu Kabsyah, yakni budak yang telah dimerdekakan Rasulullah Saw., juga berganti-gantian mengendarai seekor unta lainnya. Demikian pula kaum Muslimin yang lainnya.[6]
Panji komando umum kali ini diserahkan kepada Mush’ab bin Umair al-Qurasyi al-Abdari dan ia berwarna putih. Selanjutnya membagi pasukannya menjadi dua batalyon:
- Batalyon al-Muhajirin, benderanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Bendera ini dinamai dengan ‘Uqab.
- Batalyon Anshar, benderanya diserahkan kepada Sa’ad bin Mu’adz (kedua bendera tersebut berwarna hitam).
Untuk sayap kanan pasukan, beliau mempercayakan komandonya kepada az-Zubair bin al-Awwam sedangkan sayap kiri dipercayakan kepada al-Miqdad bin Amr hanya kedua orang ini saja yang mengendarai kuda di pasukan kaum Muslimin ini sebagaimana telah disinggung di muka.
Adapun pasukan garis belakang diserahkan kepada Qais bin Abi Sha’sha’ah. Sedangkan komando umum tetap dipegang oleh beliau selaku panglima tertinggi didalam pasukan.[7]
Rasulullah terus berjalan hingga mendekati lembah ash-Shafra’. Ketika tiba ditempat itu beliau mengirim Basbas bin ‘Amr al-Juhani, sekutu Bani Sa’idah dan ‘Adiy bin Abiz Zaghba’ al-Juhani, sekutu Bani an-Najjar, sebagai utusan untuk memata-matai kafilah dagang tersebut.
Ternyata Abu Sufyan telah mendengar berita kedatangan Rasulullah yang sedang menuju ke arahnya.
Ia segera menyewa Dhamdham bin ‘Amr al-Ghifari dan menyuruhnya pergi ke Makkah untuk meminta bala bantuan berupa pasukan untuk menolong kafilahnya, yakni untuk melindungi mereka dari Muhammad Saw. dan para sahabatnya.
Permohonan bantuan itu pun sampai kepada penduduk Makkah. Kaum kafir Quraisy segera mempersiapkan diri untuk keluar. Tidak seorang pun dari para pembesar Quraisy yang tidak ikut, kecuali Abu Lahab.
Mereka juga mengumpulkan orang-orang dari berbagai suku disekitar Makkah sehingga tidak ada satu suku Quraisy pun yang tertinggal, kecuali Bani ’Adiy yang ikut bersama mereka.
Setelah itu, mereka semua keluar dari kampungnya seperti yang Allah Swt. sebutkan dalam firman-Nya:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَآءَ النَّاسِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ …۞
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah…”(QS. Al-Anfal:47)[8]
Sebaliknya pihak Muslimin juga menuju mata air Badar, atas usulan sahabat Hubab mereka membuat kolam dimata air itu dan sumur kering lainnya ditimbun, sehingga orang-orang Quraisy tidak mendapatkan air.
Ditempat ini Aswad bin Abil Asad hendak menerobos Muslimin untuk menuju kolam, tapi ia ditebas oleh Hamzah.
Kemudian orang Quraisy mengajukan perang tanding, maka Hamzah, Ali dan Ubaidah maju dihadapi utusan Quraisy.
Hamzah menghadapi Syaiba, Ali menghadapi Walid dan Ubaidah menghadapi Utbah. Ketiga orang Quraisy mati terbunuh, ketika itu sekalian orang Quraisy maju menyerang muslimin.
Maka terjadilah pertempuran sengit antara umat Islam dengan kafir Quraisy. Laskar muslimin dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw.[9]
[1] Zaid bin Abdul Karin az-Zaid, Fikih Sirah-Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw. (Darus Sunnah, 2019), 359–60.
[2] Al-Hafizh Ibnu Katsir, Sirah Nabi Muhammad (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2010), 101.
[3] tim litbang KMI PMDG, Tarikh Islam (Ponorogo: Darussalam press, 2003), 15.
[4] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad Saw. Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir (Venaresh, India: Khadim al-Kitab as-Sunnah, 1976), 293.
[5] Al-Hafizh Ibnu Katsir, Sirah Nabi Muhammad, 101.
[6] Al-Hafizh Ibnu Katsir, 101–2.
[7] Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad Saw. Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir, 294–95.
[8] Al-Hafizh Ibnu Katsir, Sirah Nabi Muhammad, 102–3.
[9] KMI PMDG, Tarikh Islam, 16.
Penulis: Mala Hayati
Mahasiswa Ilmu Hadis, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi:
Al-Hafizh Ibnu Katsir. Sirah Nabi Muhammad. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2010.
KMI PMDG, tim litbang. Tarikh Islam. Ponorogo: Darussalam press, 2003.
Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Syaikh. Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad Saw. Dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir. Venaresh, India: Khadim al-Kitab as-Sunnah, 1976.
Zaid bin Abdul Karin az-Zaid. Fikih Sirah-Mendulang Hikmah dari Sejarah Kehidupan Rasulullah Saw. Darus Sunnah, 2019.
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News