Dugaan korupsi dalam pembelian laptop Chromebook oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah menggemparkan publik dalam beberapa pekan terakhir.
Setelah Kejaksaan Agung mengusut dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan sekitar 1,1 juta Chromebook yang ditujukan untuk sekolah-sekolah di Indonesia, proyek senilai Rp9,9 triliun ini menjadi perbincangan hangat.
Karena spesifikasi dan sistem operasi (Chrome OS) perangkat Chromebook yang dibeli tidak mendukung proses belajar-mengajar di banyak sekolah, ditemukan bahwa perangkat tersebut tidak memenuhi kebutuhan dan kemampuan infrastruktur regional.
Banyak orang percaya bahwa mengharuskan Chrome OS adalah ide yang buruk dan berpotensi membuang-buang uang di lingkungan yang konektivitas internetnya masih tidak konsisten.
Sejumlah saksi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta vendor dan konsultan teknologi telah diperiksa oleh Kejaksaan Agung.
Bahkan, sejumlah apartemen yang terkait dengan proyek ini telah digeledah.
Meski belum ada tersangka yang ditetapkan, penyelidikan telah mencapai tahap tinggi dan menyedot perhatian publik.
Menanggapi tuduhan tersebut, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengatakan bahwa pilihan untuk menggunakan Chromebook dibuat atas dasar efektivitas biaya, karena perangkat tersebut dilaporkan 30% lebih murah daripada laptop yang menjalankan Windows.
Selain itu, Nadiem mengklaim bahwa pengadaan tersebut diselesaikan sesuai dengan protokol dan dengan tujuan memajukan digitalisasi pendidikan.
Kritik tersebut tidak sepenuhnya hilang hanya dengan argumen ini.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat banyak kekurangan dalam proyek ini, mulai dari perencanaan yang kurang matang hingga spesifikasi teknis yang tidak memenuhi persyaratan lapangan.
Media sosial dibanjiri kritik, sehingga memberikan tekanan besar kepada penegak hukum untuk bertindak cepat dan tegas dalam menangani dugaan penyimpangan ini.
Salah satu contoh paling nyata dari fenomena No Viral, No Justice saat ini adalah kasus Chromebook ini.
Dalam banyak kasus, penegak hukum Indonesia tampaknya hanya bertindak cepat dalam menanggapi tekanan dan perhatian publik melalui media sosial.
Ada manfaat dari fenomena ini: Media sosial dapat digunakan untuk memberdayakan warga negara dalam menegakkan keadilan, dan publik dapat secara langsung mengamati bagaimana kinerja pemerintah.
Namun demikian, hal ini juga menunjukkan bahwa sistem hukum kita masih belum sepenuhnya independen dan mampu menanggapi pelanggaran yang tidak viral.
Penegakan hukum menjadi tidak seimbang akibat fenomena No Viral, No Justice, karena kasus-kasus yang tidak mendapat perhatian publik cenderung diabaikan.
Prinsip dasar keadilan bahwa semua warga negara harus menerima perlakuan yang sama di mata hukum, terlepas dari seberapa terkenal kasus mereka terancam karenanya.
Agar gagasan “sama di hadapan hukum” tidak menjadi jargon konstitusional dalam situasi ini, aparat penegak hukum harus berpikir ulang.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang ketentuan pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada April 2025 menandai langkah signifikan dalam menata kembali sistem hukum Indonesia di tengah perdebatan Chromebook yang kontroversial.
Baca juga: Overclaim di Era Digital: Bagaimana UU ITE Melindungi Konsumen dari Klaim Berlebihan
Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam kasus tersebut bahwa satu-satunya orang yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik adalah mereka yang secara langsung dirugikan.
Perusahaan dan lembaga negara tidak lagi diizinkan menggunakan pasal tersebut sebagai sarana untuk meredam kritik publik.
Banyak pihak mengapresiasi putusan ini, khususnya para pegiat kebebasan berekspresi yang selama ini meyakini bahwa UU ITE kerap digunakan pemerintah sebagai alat untuk membungkam perbedaan pendapat.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa mengkritik lembaga publik bukanlah tindakan ilegal, melainkan bagian dari kontrol demokrasi.
Tindakan ini dinilai sebagai kemajuan signifikan dalam menjaga kebebasan sipil dan mencegah kriminalisasi aktivisme daring.
Namun, dengan adanya Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang baru, pemerintah juga tengah berupaya memodernisasi hukum acara pidana.
KUHAP lama yang telah berlaku selama lebih dari 40 tahun dan dianggap sudah ketinggalan zaman dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, akan digantikan oleh RUU ini.
Untuk mempercepat pembahasan RUU KUHAP di DPR RI, Jaksa Agung telah menandatangani Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Diharapkan, reformasi ini akan meningkatkan proses penyidikan, penahanan, pengumpulan barang bukti, serta perlindungan hak korban dan tersangka.
Jelaslah bahwa sistem hukum kita sedang mengalami transisi yang signifikan jika kita mencari benang merah dalam rangkaian peristiwa ini.
Namun, masih ada sejumlah masalah yang mengaburkan proses ini, khususnya dalam hal kesetaraan, independensi, dan integritas dalam penerapannya.
Kompleksitas hukum di Indonesia saat ini dicontohkan oleh kasus Chromebook, fenomena No Viral, No Justice, putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU ITE, dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Baca juga: Menulis Ulang Sejarah, Mengabaikan Konstitusi: Ancaman terhadap Hak Publik
Untuk memastikan bahwa proses reformasi hukum ini tidak hanya sekadar kosmetik, tetapi benar-benar mengatasi akar permasalahannya, harus ada upaya bersama dari semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, media, akademisi, dan penegak hukum.
Daripada menunggu sesuatu menjadi viral di media sosial, penegak hukum harus bertindak secara imparsial, profesional, dan tanpa bias.
Alih-alih menjadi alat kekuasaan, hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan pelayan kepentingan.
Penulis: Nazla Humaira Syehkal
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dosen Pengampu: Syihaabul Hudaa, M.Pd.
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News