Serial Squid Game 2025, lanjutan dari fenomena global tahun 2021, kembali menyita perhatian dunia.
Namun lebih dari sekedar hiburan sadis, Squid Game 2025 adalah cermin retak dari wajah masyarakat kapitalistik global.
Jika kita lihat melalui lensa Cultural Studies, terutama teori hegemoni Antonio Gramsci, teori diskursus Michel Foucault, dan konsep representasi Stuart Hall, maka Squid Game tak hanya menampilkan permainan maut, tapi juga perang simbolik dan relasi kekuasaan yang lebih dalam.
Kapitalisme Sebagai Arena Pertaruhan
Squid Game 2025 masih menampilkan premis utama yang sama: orang-orang miskin dan terpinggirkan mempertaruhkan nyawa demi uang.
Ini adalah bentuk hiper-realistis dari logika kapitalisme, di mana hidup manusia ditentukan oleh utang, eksploitasi, dan impian untuk “naik kelas”.
Ideologi neoliberal yang mengakar dalam narasi ini memperlihatkan bagaimana sistem memaksa individu untuk “memilih” secara bebas padahal sejatinya mereka tak punya pilihan selain ikut bermain atau mati pelan-pelan di dunia nyata.
Menggunakan konsep Hegemoni Gramsci, Squid Game mempertontonkan bagaimana dominasi kelas dilakukan bukan dengan kekerasan langsung, tetapi melalui persetujuan simbolik.
Para pemain tahu permainannya mematikan, namun mereka kembali secara sukarela, Di sinilah hegemoni bekerja: mereka percaya sistem itu “adil”, karena semua orang punya peluang menang, padahal kenyataannya sistem itu sudah cacat sejak awal.
Representasi dan Identitas: Di Balik Simbol dan Tubuh
Dalam edisi 2025, isu representasi gender dan kelas muncul lebih kuat, tokoh-tokoh perempuan kini ditampilkan lebih berani dan strategis, tetapi mereka tetap dikonstruksi dalam stereotip tertentu “wanita kuat” yang emosinya dimatikan, atau “ibu penyayang” yang tragis.
Ini memperlihatkan bahwa meski ada kemajuan, repsentasi perempuan tetap dibangkai dalam logika patriaki media.
Lebih lanjut, ras dan nasionalisme hadir dalam bentuk permainan yang disesuaikan dengan konteks global.
Ada peserta dari negara-negara lain, terutama Global South, yang direpresentasikan sebagai “estotik” atau terbelakang” menciptakan relasi poskolonial yang timpang di layar kaca.
Mengutip Stuart Hall (1997), representasi bukan sekadar cerminan, tapi proses aktif produksi makna. Apa yang terlihat di layer memperkuat stereotip lama dalam kemasaan baru.
Arena Konflik Makna dan Resistensi
Squid Game bukanya tontonan tentang kekerasan, melainkan arena konflik makna budaya.
Para pemain bukan hanya bertarung dalam permainan, tetapi juga dalam membentuk narasi tentang diri mereka: sebagai korban, pahlawan, atau dan resistensi (Hall, 1981).
Resistensi paling nyata terlihat dalam tindakan kolektif beberapa karakter yang mendesak menolak logika permainan dan mencoba menciptakan aliansi moral ini.
Mengingatkan kita pada konsep subkultur dan resistensi Dic Hebdige (1979), di mana individu memaknai ulang simbol dominasi menjadi bentuk pemberontakan.
Potensi Emansipasi Sosial: Dari Layar ke Aksi
Yang paling penting dari serial ini bukan hanya gelapnya, tetap potensi emansipatorisnya. Squid Game 2025 membuka ruang diskusi tentang ketimpangan sosial, utang, eksploitasi tenaga kerja, dan kapitalisme global, namun sayangnya, diskursus ini kerap terjebak pada konsumsi visual, bukan aksi nyata.
Apa yang bisa dilakukan? Kita bisa mulai dari menumbuhkan literasi kritis terhadap media, sebagaimana dikemukakan oleh Paulo Freire (1970), agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi mampu mengidentifikasi sistem yang menindas mereka.
Lebih jauh, institusi media dan pendidikan harus memfasilitasi ruang dialog lintas kelas baik di dunia nyata maupun digital sehingga empati sosial tumbuh bukan karena tontonan sadis, tapi karena kesadaran bersama bahwa sistem ini memang di perlu diubah.
Penutup
Squid Game 2025 adalah kisah tragis yang menyamar sebagai hiburan. Ia adalah narasi yang secara ironis menyadarkan kita bahwa dunia nyata tak jauh beda dari permainan mematikan, di mana yang kuat memangsa yang lemah, dan ilusi “kesempatan yang sama” adalah alat kendali paling efektif dalam hegemonik.
Menonton Squid Game seharusnya bukan hanya soal siapa yang menang, tapi tentang siapa yang sebenarnya sedang menonton siapa.
Penulis: Siwi Galuh Wijayanti
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Daftar Pustaka
Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage.
Gramsci, Antonio. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Foucault, Michel. (1972). The Archaeology of Knowledge. Pantheon.
Hebdige, Dick. (1979). Subculture: The Meaning of Style. Routledge
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20250601/squid-game-2025-rilis-resmi-ini-isi-dan-pesan-kritiknya
https://www.kompas.com/hype/read/2025/06/02/squid-game-2025-dan-kritik-realitas-sosial
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News