Standar Ganda dalam Dunia Pendidikan

Dunia Pendidikan
Ilustrasi Dunia Pendidikan (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap individu. Menurut Desi Pristiwanti dkk (2022:7912), pendidikan adalah seluruh pengetahuan belajar yang terjadi sepanjang hayat dalam semua tempat serta situasi yang memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan  setiap  makhluk  individu.

Melalui pendidikan, seseorang dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan.

Namun, dalam dunia pendidikan, sering kali muncul perdebatan mengenai standar ganda yang ada. Standar ganda merujuk pada perlakuan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam pendidikan.

Bacaan Lainnya

Pertama-tama, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan standar ganda. Eichler (dalam Sania Resnani Rartri, 2019:

Mendefinisikan bahwa “standar ganda” adalah sebuah fenomena di mana suatu tindakan sama yang dilakukan oleh dua orang atau dua kelompok atau lebih dinilai dengan menggunakan standar yang berbeda, atau perbedaan nilai.

Standar ganda dapat terlihat dalam berbagai bentuk, seperti ekspektasi yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, perbedaan dalam pendanaan pendidikan, dan kurikulum yang tidak setara.

Salah satu contoh standar ganda dalam pendidikan adalah ekspektasi yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.

Seringkali, perempuan diharapkan untuk lebih fokus pada tugas-tugas rumah tangga dan perawatan keluarga, sedangkan laki-laki diharapkan untuk lebih fokus pada karir dan pencapaian profesional.

Hal ini dapat mengakibatkan perempuan merasa terbatas dalam pilihan karir mereka dan kurangnya dukungan untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi.

Selain itu, perbedaan dalam pendanaan pendidikan juga merupakan contoh standar ganda. Banyak negara masih mengalami kesenjangan dalam pendanaan antara sekolah yang didominasi oleh laki-laki dan perempuan.

Sekolah yang didominasi oleh laki-laki sering kali mendapatkan lebih banyak dana untuk fasilitas dan sumber daya pendidikan, sementara sekolah yang didominasi oleh perempuan seringkali kekurangan dana.

Menurut Widodo (dalam Jejen Musfah, 2006:127), semua indikator pendidikan yang terdapat pada akses dan pemerataan pendidikan, mutu dan relevansi pendidikan dan manajemen pendidikan menunjukkan bahwa terjadi ketidaksetaraan atau kesenjangan gender di pihak perempuan.

Hal ini dapat menghambat perempuan dalam mencapai potensi penuh mereka dalam pendidikan.

Kurikulum yang tidak setara juga merupakan contoh standar ganda dalam pendidikan. Beberapa mata pelajaran dianggap lebih cocok untuk laki-laki, seperti matematika dan sains, sedangkan mata pelajaran seperti seni dan bahasa dianggap lebih cocok untuk perempuan.

Hal ini dapat menghasilkan ketidakseimbangan dalam pilihan karir dan minat pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Penting untuk menciptakan kurikulum yang setara dan inklusif untuk semua siswa, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Nur Ridwan menyebutkan dalam artikel berjudul “Standar Ganda Perempuan dalam Ruang Publik” bahwa standar ganda merupakan momen di mana sebuah perbedaan prinsip yang diterapkan pada kondisi yang dasarnya memiliki kesamaan (Nur Ridwan, 2003).

Dalam menghadapi standar ganda dalam dunia pendidikan, perlu adanya langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini.

Pertama-tama, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang standar ganda dan dampak negatifnya dalam pendidikan.

Pendidikan yang adil dan setara harus menjadi hak bagi setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Selain itu, perlu adanya kebijakan yang mendukung kesetaraan dalam pendidikan. Pemerintah dan lembaga pendidikan harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua siswa.

Ini dapat dilakukan melalui penerapan kebijakan yang menghapuskan diskriminasi berbasis jenis kelamin dalam pendidikan dan memastikan pendanaan yang adil untuk semua sekolah.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi tentang Penghapusan Segala  Bentuk Diskriminasi  terhadap Perempuan, yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 dan Permendiknas Nomor 84 Tahun 2008 sebagai suatu komitmen yang dimiliki negara akan sejumlah hal yang merupakan diskriminasi dan terjadi pada perempuan di berbagai sektor kehidupan, termasuk pendidikan (Rustan Efendy, 2014).

Penting juga untuk melibatkan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, termasuk guru, orang tua, dan siswa.

Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara dan inklusif.

Guru harus dilatih untuk menghindari prasangka gender dalam pengajaran mereka, sementara orang tua harus mendukung anak-anak mereka dalam mengejar pendidikan yang mereka inginkan, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Menurut Dea Mustika dkk (2023:44), perlu adanya pendidikan inklusi untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah.

Penulis: Marcya Magdalena Dameria Siagian
Mahasiswa Hukum, Universitas Diponegoro

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.