Pengertian dan Makna
Kata sulang dapat diartikan “mengulang” atau “membayar kembali” dan pahompu diartikan sebagai cucu.
Menurut Sianturi (2021), Sulang-Sulang Pahompu sendiri merupakan upacara adat yang dilakukan setelah pernikahan secara agama, sebagai pengukuhan atau pelunasan kewajiban adat yang belum selesai antara kedua belah pihak, yaitu keluarga pengantin perempuan (hasuhuton parboru) dan keluarga pengantin laki-laki (hasuhuton paranak).
Upacara tersebut biasanya dilaksanakan setelah memiliki seorang anak dan sebelumnya sudah menikah secara agama.
Seperti yang dikatakan oleh FRN, “Jika adat itu tidak dijalankan itu bagaikan utang jadi harus tunai dan harus diselesaikan karena itu benar-benar tanggung jawab yang sangat beban seperti itu.”
Dalam pelaksanaannya mengandung makna solidaritas, dan rasa penghormatan terhadap struktur Dalihan Na Tolu (yang terdiri dari tiga hal penting yaitu hula-hula, dongan tubu, dan boru).
Hula-hula (sapaan terhadap orang tua dan saudara lakilaki dari ibu/istri), dongan tubu (sapaan terhadap kelompok orang yang semarga/saudara kandung laki-laki dari ayah), dan boru (sapaan terhadap saudara perempuan semarga dari ayah), serta aktualisasi nilai adat dalam kehidupan modern (Nainggolan dkk., 2021).
Upacara ini juga dapat dimaknai sebagai sebuah penyampaian permohonan maaf sekaligus terima kasih dari cucu kepada neneknya atau kepada pamannya atas perbuatan orang tua mereka dulu yang belum sempat melaksanakan atau membayar adat mereka kepada pihak hula-hula-nya.
Fungsi dan Peran Sulang-Sulang Pahompu
Upacara adat Sulang-Sulang Pahompu memiliki lima fungsi utama yang mencerminkan nilai-nilai komunikatif dalam tradisi tersebut.
Pertama, fungsi asertif berperan dalam menyampaikan niat dan kesiapan keluarga untuk melaksanakan upacara adat.
Kedua, fungsi direktif berkaitan dengan pemberian arahan atau permintaan kepada pihak-pihak yang terlibat, seperti hula-hula dan dongan tubu.
Ketiga, fungsi ekspresif digunakan untuk mengungkapkan emosi, seperti rasa syukur, harapan, dan penghormatan terhadap leluhur.
Keempat, fungsi komisif menunjukkan komitmen serta tanggung jawab keluarga dalam menjalankan adat sesuai dengan norma yang berlaku.
Terakhir, fungsi deklaratif berfungsi untuk mengukuhkan status pernikahan secara adat serta memperkuat pengakuan sosial terhadap pasangan yang telah menikah.
Upacara adat Sulang-Sulang Pahompu memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Batak Toba.
Selain sebagai bentuk pengesahan adat atas pernikahan, tradisi ini berfungsi untuk mempererat hubungan kekeluargaan dengan mempertemukan dua pihak keluarga besar, yaitu paranak dan parboru.
Upacara ini juga berperan dalam melestarikan nilai-nilai adat, memastikan generasi muda tetap menghargai dan meneruskan warisan budaya leluhur.
Selain itu, Sulang-Sulang Pahompu menjadi sarana untuk menghormati leluhur melalui berbagai simbol dan ritual, serta menjaga hubungan spiritual dengan mereka.
Tradisi ini juga mampu beradaptasi dengan kondisi modern, tanpa kehilangan esensi budaya yang telah diwariskan.
Dengan demikian, Sulang-Sulang Pahompu bukan sekadar ritual adat, tetapi juga merupakan wadah yang memperkuat ikatan sosial, mempertahankan identitas budaya, dan menyesuaikan adat istiadat dengan perkembangan zaman.
Proses Sulang-Sulang Pahompu
Upacara tradisi Sulang-Sulang Pahompu ini memiliki rangkaian acara yang panjang.
Seperti yang disampaikan oleh FRN yang mengatakan, “Jadi sebenarnya banyak banget rangkaian-rangkaian seperti itu ada yang namanya marhusip ada yang namanya martoggo ada apalagi ya. Nah sampai ke masuk adat itu jadi setelah pemberkataan nanti dari dua pasangan ini itu akan dibawa ke dalam pesta.”
Sedangkan menurut Nainggolan, dkk. (2021), membaginya dalam 12 prosesi dimulai dengan marhusip yaitu paranak membawa oleh-oleh untuk parboru yang bertujuan untuk membahas tempat acara.
Kedua adalah acara mengantar sinamot yang belum diberikan di masa lalu dari paranak ke parboru ini dinamakan pasahat situtugon.
Ketiga, ada acara tudu-tudu sipanganon, di mana paranak memberikan juhutna marsaudaral pinahan lobu kepada husutan parboru sebagai simbol keikhlasan.
Lalu, ada acara dengke simudur-udur yaitu parboru memberikan ikan mas yang berjumlah ganjil. Hal ini juga disampaikan FRN, “….. Terus mempersiapkan ikan mas. Tiga ikan mas, ada filosofinya itu ikan mas itu harus tiga, gitu.”
Lalu, kelima ada acara martonggo raja atau papungu dongan, acara ini mulai memasuki untuk merencanakan acara inti dari sulang-sulang pahompu, setelahnya tugas dialihkan kepada dongan tubu dan parboru.
Keenam, yaitu acara kebaktian singkat, di mana dilakukan di gereja untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas berkat yang telah diberikan.
Lalu, ketujuh ada panomu-nomuon atau menyambut para undangan, pihak yang akan menyambut tamu adalah pihak yang menjadi tuan rumah bisa dari pihak paranak atau parboru sesuai kesepakatan.
Selanjutnya ada pemberian boras sipir ni tondi, di mana akan ada piring berisi boras (beras), nampuran tiar (daun sirih) dan ringgit sitio suara (uang) yang akan ada umpasa dari pihak parboru.
Kesembilan, ada pemberian batu tulang atau tintin merangkup yaitu menyerahkan sinamot (mahar) melalui ulos yang akan diberikan kepada parboru dari paranak, di mana keduanya saling berhadapan.
Lalu, pemberian ulos balasan dari batu sulang, di mana sebelumnya ada pemberian ulos a so ra buruk yang diminta langsung oleh parboru bukan uang melainkan tanah dan sebagainya.
Lalu, kesebelas ada pemberian tumpak yaitu pemberian kado bisa uang atau lainnya dari tamu undangan yang hasilnya menjadi milik suhut (habolahon hamak).
Dan untuk pihak parboru akan langsung dari pihak paranak. Acara yang terakhir adalah olop-olop yaitu mengesahkan yang disaksikan oleh tetua-tetua adat dan tamu undangan. Olop-olop ini akan diberikan untuk para tetua yang hadir.
Perkembangan dan Tantangan Sulang-Sulang Pahompu
Dalam perkembangannya, tradisi Sulang-Sulang Pahompu tetap menjaga sejumlah nilai utama yang menjadi fondasinya, antara lain:
- Semangat gotong royong yang tercermin dari partisipasi semua elemen dalam dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, dan boru) selama upacara berlangsung.
- Pelestarian budaya dan ekspresi kreativitas, di mana upacara ini menjadi wadah untuk menampilkan berbagai bentuk seni dan budaya khas.
- Ungkapan rasa syukur sebagai bentuk penghormatan atas kelahiran keturunan dan kesinambungan garis keluarga.
- Nilai kesopanan dan etos kerja yang terlihat dalam aturan, penggunaan bahasa, serta pembagian peran setiap anggota keluarga.
- Pengelolaan peran gender secara seimbang di mana baik laki-laki maupun perempuan dilibatkan dalam berbagai aspek prosesi adat.
Namun, pelaksanaan Sulang-Sulang Pahompu di era modern juga menghadapi berbagai tantangan, di antaranya adalah:
Penyederhanaan Tradisi
Contohnya Sumatera Utara, upacara ini masih berlangsung secara lengkap berkat dukungan fasilitas yang memadai.
Namun, di daerah perantauan atau kota besar, keterbatasan tempat, waktu, dan biaya menyebabkan tradisi ini disederhanakan.
Masyarakat urban lebih mengutamakan efisiensi tanpa menghilangkan makna utama dari prosesi adat tersebut.
Dampak Modernisasi
Modernisasi telah membuat generasi muda semakin kurang memahami makna mendalam dari tradisi ini.
Pelaksanaannya semakin jarang dilakukan, dan banyak anak muda hanya mengenalnya secara sekilas.
Seperti yang dikatakan AR, “Pasti ada, pasti banget karena untuk sekarang saja acara adat batak itu kayak banyak yang nggak tau runtutannya.” (W1,S1,P,b590-593)
Komunitas Perantauan
Masyarakat Batak Toba di perantauan membentuk komunitas untuk melestarikan tradisi.
Namun, prosesi adat sering mengalami penyesuaian agar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat, sehingga tradisi tersebut mengalami adaptasi dan perubahan bentuk.
Memudarnya nilai timbal balik dan solidaritas, dalam masyarakat modern yang semakin individualistik, nilai kebersamaan dan penghormatan antar anggota keluarga yang menjadi inti tradisi ini mulai melemah.
Upaya Pelestarian Sulang-Sulang Pahompu
Pelestarian adat dalam antropologi diperlukan untuk menjaga suatu identitas kelompok.
Masyarakat Batak juga memiliki upaya-upaya mereka dalam menjaga tradisi sulang-sulang pahompu ini seperti halnya melaksanakan upacara secara konsisten.
Hal ini didukung dengan melihat solidaritas yang terjalin antar masyarakat batak dengan adanya keeratan mereka dalam menjaga tetap utuhnya marga mereka ke anak cucu.
Ini menggambarkan bagaimana mereka tetap berusaha baik untuk menjaga tradisi yang ada.
Lalu dengan adanya dokumentasi dan penelitian, belum lama ini sebuah film berlatar belakang keluarga Batak cukup ramai diperbincangkan juga menampilkan acara adat sulang-sulang pahompu.
Film tersebut bisa menjadi sebuah dokumentasi dan memperkenalkan pada masyarakat luas terkait budaya sulang-sulang pahompu.
Penulis:
1. Khaila Alya Prahasti
2. Nadya Ramadhani
3. Nur Hayati Filmadin
4. Nur’aini Azizah
Mahasiswa Prodi Psikologi, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Referensi
Batak Toba: Kajian Antropolinguistik. Jurnal Kompetensi, Vol. 14, No. 2, Desember 2021.
Fitriyani, L. R., & Nurhajati, L. (2018). Pola Komunikasi Kekerabatan Suku Batak Dalam Penggunaan Marga Untuk Menjalin Keakraban. WACANA: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 17(2), 163-170.
Nainggolan, A. A., & Sibarani, R. (2022). Fungsi Tindak Tutur dalam Upacara Adat Sulang-sulang Pahompu pada Masyarakat Batak Toba: Kajian Antropolinguistik. Jurnal Kompetensi FKIP UNIBA Balikpapan, 1(1), 12–20.
Nainggolan, A. A., Sinulingga, J., & Purba, A. R. (2021). Sulang-sulang Pahompu Etnik Batak Toba: Kajian Antropolinguistik. Jurnal Kompetensi, 14(2), 69–81.
Shafinas, C. A., Santoso, H., Saleh, A., & Pranata, R. T. H. (2024). Representasi Budaya Sulang-Sulang Pahompu dalam Film Ngeri-Ngeri Sedap (Analisis Semiotika John Fiske). Citizen: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia, 4(3). https://doi.org/10.53866/jimi.v4i3.618
Sianturi, T. (2021). Upacara Adat Pasahat Sulang-Sulang Pahompu Di Desa Simatupang Kecamatan Muara: Kajian Tradisi Lisan (Doctoral dissertation, Universitas Sumatera Utara).
Siburian, H. R., & Hidir, A. (2023). Solidaritas Marga Batak Toba di Perantauan (Studi Kasus Kota Pekanbaru, Riau). Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 5(1), 5851-5858.
Sinaga, S. I. (2023). Analisis Semiotika Upacara Adat Sulang-Sulang Pahompu Dalam Film Ngeri-Ngeri Sedap (Semiotika Roland Barthes).
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News