Akhir-akhir ini kasus perceraian marak terjadi di lingkungan sekitar kita, dapat dilihat dari kenaikan angka perceraian dari tahun ke tahun. Dampak perceraian yang sering muncul akhir-akhir ini adalah banyaknya anak broken home.
Broken home dapat diartikan sebagai minimnya perhatian dan kasih sayang dari lingkup keluarga dan khususnya kedua orang tua mereka, sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home sangat berpengaruh besar pada mental seorang anak.
Contohnya pada kasus kisah anak broken home yang mengalami trauma berkepanjangan sampai takut menikah. Kejadian ini menimpa salah satu anak bernama Nawa yang berusia 22 tahun yang menceritakan bagaimana awalnya terjadi keretakan di dalam keluarganya.
Nawa bercerita ketika dia kecil, ia sering melihat kedua orang tuanya cekcok dan bertengkar akibat berbeda pendapat. Bahkan dia pernah di kunci di kamar mandi saat kedua orang tuanya bertengkar dan dia merasa sangat ketakutan waktu itu.
Dia bercerita bahwa orang tua dari ayahnya memang tidak merestui hubungan pernikahan kedua orang tuanya, itulah yang menyebabkan ibunya tidak betah karena sering merasa di sia-siakan oleh mertuanya. Diduga kondisi tersebut menjadi salah satu faktor penyebab pertengkaran demi pertengkaran yang ada di rumahnya hingga akhirnya orang tuanya memutuskan untuk berpisah.
Menjadi anak broken home tentu bukan menjadi impian Nawa. Ketakutan, trauma dengan pertengkaran orang tua belum lenyap sepenuhnya. Sampai-sampai, Nawa berpikir untuk tidak akan menikah.
Pada kasus di atas dapat dihubungkan dengan psikologi kognitif mengenai teori persepsi. Teori Persepsi Menurut Walgito (2010) Persepsi adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris.
Stimulus tersebut akan diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Anak yang melihat orang tuanya tidak lagi saling mencintai akan membangun persepsi sendiri dan menyimpan pengalaman masa lalunya tentang kehidupan percintaan yang tidak berjalan baik sehingga akan muncul berbagi respons negatif salah satunya adalah trauma.
Trauma adalah luka jiwa yang dialami seseorang, bisa disebabkan oleh pengalaman yang sangat menyudutkan atau melukai jiwanya. Shapiro (dalam Kartono, 1989) menyatakan bahwa trauma dapat mengganggu keseimbangan biokimia dari sistem informasi pengolahan psikologi otak.
Keseimbangan ini menghalang pemrosesan informasi untuk meneruskan proses tersebut dalam mencapai suatu adaptif, sehingga persepsi, emosi, keyakinan dan makna yang diperoleh dari pengalaman tersebut “terkunci” dalam sistem saraf. Kebanyakan orang yang mengalami trauma mengakibatkan munculnya ketakutan akan terulangnya kejadian di masa lalu yang menyakitinya, sehingga mereka cenderung menghindari hal-hal yang menyebabkan trauma.
Ervina Ariesandy
Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Editor: Diana Pratiwi