Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan menemukan tempat berlindung selain kepada-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 27)
Kini telah banyak lulusan pendidikan berbasis agama di Indonesia. Rata-rata pendidikan berbasis agama mengajarkan tentang moralitas dan mendalami kitab suci.
Namun, apakah dengan mendalami kitab secara makna dan keseluruhan akan secara otomatis menjadikan para siswanya memiliki moralitas yang tinggi serta mampu memaknai dan mengimplementasikan ilmu-ilmu yang didapatkan semasa sekolah?
Pondok pesantren dan para penghafal Al-Qur’an selalu identik dengan ketakwaan, kedisiplinan, serta nilai-nilai moral yang tinggi. Namun, belakangan ini, fenomena yang cukup mengkhawatirkan mulai tampak.
Tidak sedikit santri atau penghafal Al-Qur’an yang seolah mulai kehilangan nilai-nilai yang telah mereka pelajari. Sebagai contoh, beberapa pengamatan penulis menunjukkan bahwa sebagian alumni pesantren mulai meninggalkan kebiasaan religius mereka setelah kembali ke lingkungan sosial yang berbeda.
Bahkan, di media sosial, tidak jarang ditemukan kasus mantan santri yang terbuka mengakui perubahan gaya hidup mereka yang bertentangan dengan ajaran yang mereka pelajari di pondok.
Bahkan, beberapa mantan santri mulai menampakkan aurat, berperilaku bertolak belakang dengan ajaran yang mereka pelajari selama di pondok, hingga terjerumus dalam pergaulan bebas.
Baca juga: Mengenal Kalimat Shalawat dalam Manuskrip Pegon Arab: Warisan Doa di Nusantara
Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa seseorang yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mendalami ilmu agama justru mengalami kemunduran dalam praktiknya? Bukankah semakin dalam ilmu seseorang, seharusnya semakin kuat pula pegangan terhadap prinsip-prinsip agama?
Mungkin, di sinilah letak tantangan terbesar seorang santri atau penghafal Al-Qur’an. Bahwa ujian sesungguhnya tidak hanya ada di dalam lingkungan pondok, tetapi di dunia luar yang penuh dengan godaan dan tantangan.
Contohnya seperti terlalu asik menonton video pendek hingga melewati waktu shalat, terbiasa menunda ibadah karena terpaku pada media sosial, atau bahkan mulai mengidolakan figur-figur yang bertentangan dengan nilai-nilai agama yang telah diajarkan.
Hal ini menunjukkan bahwa menghafal ayat demi ayat saja tidak cukup tanpa pemahaman yang mendalam dan keteguhan dalam mengamalkannya.
Lalu, bagaimana kita memaknai semua ini?
Jika nilai-nilai yang telah dipelajari bertahun-tahun bisa begitu mudah luntur, apakah yang sebenarnya kita cari dalam belajar agama?
Apakah ilmu yang hanya dihafalkan, atau ilmu yang benar-benar kita amalkan?
Pada akhirnya, setiap individu yang pernah belajar agama akan diuji bukan hanya dalam ruang kelas atau lingkungan pondok, tetapi dalam kehidupan nyata yang penuh godaan dan tantangan.
Maka, pertanyaannya bukan lagi sekadar bagaimana menjaga hafalan, tetapi bagaimana kita tetap menjaga hati agar tetap sejalan dengan nilai-nilai yang telah diajarkan. Karena pada akhirnya, ilmu bukan hanya soal diingat, tetapi juga soal diamalkan.
Penulis: Shafiyyah Noor AbidahÂ
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News