Ramadan telah tahun ini telah berlalu, dan umat Islam di seluruh dunia merayakan Idulfitri dengan penuh kebahagiaan.
Di Indonesia, salah satu fenomena yang menarik dalam perayaan ini adalah tradisi pengucapan selamat.
Ucapan yang paling populer di masyarakat adalah minal ‘ā’idīn wa al-fā’izīn yang sering disandingkan dengan “Mohon maaf lahir dan batin.”
Pada media massa, baik elektronik maupun cetak, yang turut andil besar dalam menyebarkan ungkapan ini, sehingga menjadi bagian dari budaya yang melekat pada sanubari masyarakat.
Minal ‘ā’idīn wa al-fā’izīn acapkali dikira berarti “Mohon maaf lahir dan batin,” sehingga banyak yang keliru menganggap keduanya memiliki makna yang sama.
Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, frasa ini memiliki makna berbeda dalam bahasa Arab.
Baca Juga: Akhir Ramadan, Mahasiswa Mudik: Tradisi dan Makna di Balik Perjalanan
Meskipun adanya kesalahan pemahaman yang sudah mengakar dan diterima oleh khalayak luas.
Jika menilik literatur klasik, para sahabat Nabi Muhammad saw. memiliki tradisi mengucapkan selamat telah menyelesaikan ibadah puasa Ramadan.
Ungkapan yang digunakan, yaitu taqabbalallāhu minnā wa minkum yang berarti “Semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadan) kami dan kalian.”
Ada juga yang menambahkan, taqabbal yā karīm, wa ja‘alanā Allāh wa iyyākum mina al-‘ā’idīna wa al-fā’izīna, yang artinya, “Semoga Allah Yang Maha Mulia menerima (amal ibadah kami), dan menjadikan kami serta kalian termasuk orang-orang yang kembali (ke fitrah) dan orang-orang yang menang.”
Dari sinilah frasa minal ‘ā’idīn wa al-fā’izīn berasal. Namun, dalam perkembangannya, ungkapan ini mengalami pemerosotan makna dan kehilangan konteks aslinya.
Lebih parahnya, banyak orang memaknai secara keliru sebagai “Mohon maaf lahir dan batin.”
Selain itu, istilah “lahir dan batin” sendiri juga sebenarnya kurang tepat dalam kajian bahasa. karena, lawan kata dari “batin” bukanlah “lahir”, melainkan “dhohir”.
Oleh karena itu, jika ingin menyatakan secara lebih tepat dalam kajian bahasa, seharusnya digunakan istilah “dhohir dan batin,” bukan “lahir dan batin.”
Namun, karena terlanjur melekat dalam budaya Indonesia, ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” tetap banyak digunakan meskipun secara etimologi kurang sesuai.
Kesalahan ini dapat diibaratkan dengan seorang anak kecil yang mengira bahwa kata welcome berarti “keset” hanya karena sering melihatnya tertulis pada keset depan pintu masuk.
Adapun dalam ulasan etimologi, minal ‘ā’idīn wa al-fā’izīn bukanlah kalimat yang sempurna.
Secara struktur, frasa ini tidak berdiri sendiri melainkan butuh kalimat tambahan agar maknanya menjadi jelas dan sampai.
Baca Juga: Idul Fitri: Menata Kembali Fitrah Manusia dalam Ukhuwah Kebangsaan
Oleh karena itu, bagi yang ingin mengikuti tradisi para sahabat, lebih baik menggunakan taqabbalallāhu minnā wa minkum karena kalimat ini memiliki struktur yang sempurna dan makna yang jelas.
Namun, di Indonesia sendiri, fenomena ini telah berkembang menjadi bagian dari budaya.
Di Indonesia, ungkapan ini telah menjadi bagian dari tradisi Idulfitri, sebagaimana praktik Halalbihalal yang muncul sebagai bentuk akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam, tetapi tetap dilestarikan karena mengandung nilai-nilai positif, terutama dalam mempererat ikatan silaturahmi.
Dalam kitab Majmū‘ Fatāwā jilid 24 halaman 253. Ibnu Taimiyyah melabelkan hukum mubah pada seseorang yang mengucapkan “Selamat hari raya.”
Sebagian sahabat Rasulullah saw. saling mengucapkan taqabbalallāhu minnā wa minkum sebagai bentuk kebahagiaan dan do’a atas datanagnya hari kemenangan.
Perbuatan ini telah diperbolehkan oleh para ulama, termasuk Imam Ahmad dan yang lainnya.
Baca Juga: Ramadan di Kosan: Ketika Menjalani Puasa Jauh dari Keluarga
Oleh karena itu, siapa yang mengamalkannya memiliki dasar yang kuat, dan siapa yang tidak melakukannya pun tetap memiliki landasan yang dapat diikuti.
Pada akhirnya, penggunaan ucapan selamat pada hari raya, baik Idulfitri maupun Iduladha, adalah bagian dari budaya.
Tidak ada keharusan untuk mengganti atau menghapus tradisi yang sudah berkembang, asalkan tidak bertentangan dengan syariat.
Namun, jika seseorang tetap ingin menggunakan minal ‘ā’idīn wa al-fā’izīn, yang terpenting untuk memahami makna yang benar dan tidak mengartikannya secara keliru sebagai “Mohon maaf lahir batin.”
Pemahaman yang tepat akan membantu menjaga keotentikan bahasa serta menghindari mispersepsi yang meluas dari generasi ke generasi.
Penulis: Ahmad Fauzi Rizki
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, IAIN Pontianak
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News