Pada 2 april 2025 persiden amerika serikat Donald trump mengumumkan akan tarif baru yang akan dikenakan terhadap sejumlah negara. Amrika mengenakan tarif sebesar 10% pada hampir semua barang import yang masuk ke AS. Di samping itu, trump juga memberlakukan “Tarif Timbal Balik” terhadap sejumlah negara.
China yang merupakan negara besar mendapatkan nilai tarif import yang tergolong tinggi hingga mencapai potensi maksimum 245% yang merupakan akumulasi dari tarif lama dan baru, termasuk tarif timbal balik dan tarif khusus.
Amerika menaikan tarif ini bertujuan untuk mempersulit rantai pasokan China ke AS, meningkatkan biaya impor, dan mendorong investasi manufakur kembali ke AS agar industry domestic tumbuh.
Sebagai balasan, China menaikan tarif impor terhadap produk produk asal AS hingga 125% dan melakukan langkah langkah balasan lain seperti memboikot pesawat boeing dan membatasi ekspor logam tanah jarang yang sangat strategis juntuk teknologi tinggi.
Ketegangan atar dua negara besar ini berawal dari pengenaan tarif resiprokal 10% oleh AS pada hampir suluruh barang impor China, termasuk 34%, yang kemudian direspon oleh China dengan tarif serupa, 34% pada produk milik AS. Kenaikan ini terus berlanjut dengan ancaman dan realisasi kenaikan tarif dari kedua pihak hingga mencapai level tarif yang sangat tinggi.
Perang tarif ini berdampak pada kenaikan biaya produksi dan harga konsumen di kedua negara serta mengguncang pasar global. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan volume perdagangan global akan turun akibat konflik ini, dan pertumbuhan ekonomi global diprediksi turun oleh PBB karena ketidakpastian dan gangguan rantai pasokan.
Kedua negara saling menuduh tidak menghormati sistem perdagangan global dan terus menaikkan tarif sebagai bagian dari strategi tekanan ekonomi. Jika ini berlajut untuk waktu yang lama ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada perekonomian Indonesia.
Salah satu dampak utama yang dirasakan Indonesia adalah menurunnya permintaan ekspor. AS dan China yang merupakan dua mitra dagang terbesar Indonesia, ketika kedua negara ini mengalami perlambatan ekonomi akibat perang tarif, permintaan terhadap produk ekspor Indonesia ikut terdampak.
Produk-produk seperti karet, kelapa sawit, tekstil, dan batu bara mengalami tekanan, baik dari sisi volume permintaan maupun dari sisi harga. Penurunan permintaan ini kemudian berdampak terhadap penerimaan devisa negara dan dapat memperlemah neraca perdagangan Indonesia.
Dalam jangka pendek, hal ini juga bisa mengakibatkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika karena berkurangnya pasokan devisa dari sektor ekspor.
Selain itu, perang dagang ini juga memunculkan ketidakpastian dalam iklim ekonomi global. Ketidakpastian ini membuat para investor cenderung bersikap hati-hati atau bahkan menunda dalam melakukan investasi, terutama di negara berkembang yang dianggap lebih rentan terhadap guncangan eksternal.
Akibatnya, Indonesia berpotensi mengalami penurunan arus masuk investasi asing langsung, yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Ketidakpastian global juga berdampak pada pasar keuangan domestik, di mana investor asing bisa menarik investasinya dari pasar modal Indonesia, yang menyebabkan guncangan di pasar saham dan pasar obligasi.
Namun, di balik dampak negatif yang cukup signifikan, perang tarif ini juga membuka peluang strategis bagi Indonesia. Salah satunya adalah peluang untuk menjadi tujuan relokasi industri dari perusahaan-perusahaan multinasional yang sebelumnya berbasis di China.
Dengan meningkatnya tarif impor terhadap produk asal China, banyak perusahaan global mencari lokasi produksi alternatif di kawasan Asia Tenggara.
Jika Indonesia mampu menawarkan iklim investasi yang kondusif, infrastruktur yang memadai, serta regulasi yang jelas dan mendukung, maka ada potensi besar bagi Indonesia untuk menarik investasi baru, terutama di sektor manufaktur.
Baca juga: Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok terhadap Perekonomian Indonesia
Selain relokasi industri, Indonesia juga memiliki peluang untuk meningkatkan ekspor produk substitusi ke pasar Amerika Serikat maupun China. Ketika kedua negara saling mengenakan tarif tinggi, mereka akan cenderung mencari alternatif produk dari negara lain.
Produk-produk Indonesia, seperti tekstil, furnitur, dan produk pertanian, berpotensi mengisi kekosongan pasar yang ditinggalkan oleh produk China di AS, atau sebaliknya. Namun, untuk dapat memanfaatkan peluang ini secara maksimal, diperlukan peningkatan daya saing produk nasional, baik dari segi kualitas, efisiensi produksi, maupun kepastian logistik.
Dalam jangka menengah dan panjang, perang dagang juga mendorong perubahan dalam rantai pasok global. Jika sebelumnya banyak rantai pasok terpusat di China, saat ini perusahaan mulai mendesentralisasi proses produksinya ke berbagai negara.
Indonesia berpeluang masuk dalam rantai pasok baru ini, asalkan mampu menyediakan sumber daya manusia yang kompeten, sistem logistik yang efisien, dan jaminan kepastian hukum. Di samping itu, Indonesia juga bisa mengambil keuntungan dari penguatan kerja sama ekonomi kawasan melalui perjanjian-perjanjian seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan banyak negara Asia-Pasifik.
Secara keseluruhan, perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah membawa dampak yang kompleks terhadap perekonomian Indonesia. Di satu sisi, terdapat tantangan besar seperti menurunnya ekspor, melemahnya investasi, serta tekanan terhadap sektor keuangan dan nilai tukar. Namun di sisi lain, terdapat pula peluang untuk menarik investasi relokasi, memperluas pasar ekspor, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.
Oleh karena itu, respon kebijakan yang tepat dari pemerintah menjadi sangat penting, baik dalam bentuk insentif investasi, dukungan terhadap industri lokal, maupun perbaikan infrastruktur dan regulasi yang mendukung iklim usaha yang sehat dan berdaya saing.
Penulis: Travis Jeremiah Kurniawan
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News