Di berbagai wilayah Indonesia, dzikir bukan selalu dilakukan dalam keheningan atau tanpa gerak. Dalam sejumlah tradisi tarekat, dzikir dilakukan dengan lantunan nama-nama Allah yang disertai irama dan gerakan tubuh yang ritmis.
Bagi sebagian orang, ini adalah bentuk ekspresi cinta kepada Tuhan yang utuh melibatkan lisan, hati, dan tubuh. Namun, tidak sedikit pula yang merasa ragu atau bahkan mempertanyakan keabsahan bentuk dzikir seperti ini.
Fenomena dzikir yang dilakukan dengan gerakan tubuh ini mengingatkan kita bahwa spiritualitas umat Islam Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya lokal. Namun, pertemuan antara ekspresi keagamaan dan tradisi ini tak jarang memunculkan perdebatan di ruang publik.
Sejak awal kedatangannya, Islam di Indonesia banyak disebarkan melalui pendekatan budaya, bukan konfrontasi. Wali Songo, misalnya, dikenal menyebarkan Islam melalui seni, musik, dan simbol-simbol budaya lokal. Tradisi tasawuf juga berkembang pesat, terutama lewat tarekat yang tidak hanya mengajarkan dzikir lisan, tapi juga penghayatan ruhani yang diekspresikan secara fisik.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, misalnya, mengenal dzikir jahr (lantang) dan dzikir khafi (diam) yang dalam beberapa kesempatan dilakukan secara berjamaah dengan pola gerakan tertentu. Praktik ini masih banyak ditemui di pesantren atau majelis-majelis dzikir di Pulau Jawa, Kalimantan, hingga Sumatra.
Baca juga:Â Ucapan Idulfitri: Antara Tradisi dan Makna Ungkapan
Gerakan tubuh dalam dzikir bukan sekadar formalitas. Ia dipandang sebagai cara menyelaraskan ritme hati dan tubuh untuk lebih khusyuk mengingat Allah. Dalam perspektif ini, gerak bukanlah gangguan, tapi justru penguat kehadiran spiritual.
Di era media sosial, rekaman dzikir yang disertai gerakan sering viral dan memancing komentar. Tak jarang muncul respons negatif, menyebut praktik tersebut sebagai tak sesuai sunnah, bahkan dianggap menyimpang. Polarisasi ini memperlihatkan betapa sempitnya ruang dialog kita dalam menyikapi keberagaman praktik keagamaan.
Sebagian kalangan menilai bentuk ibadah harus mengikuti praktik Nabi secara literal, sementara yang lain memberi ruang lebih luas dengan menekankan substansi dan konteks budaya. Keduanya punya landasan argumen, tapi masalah muncul saat perbedaan disikapi secara hitam-putih.
Padahal, dalam sejarah Islam sendiri, ekspresi spiritual sangat beragam. Di Turki, ada Mevlevi yang berdzikir sambil berputar (whirling dervishes). Di Afrika Barat, ada dzikir dengan tabuhan dan hentakan kaki. Semua itu hadir sebagai bentuk cinta dan penghambaan, bukan pamer atau hiburan.
Kita perlu memandang praktik dzikir di Nusantara dengan lebih bijak. Bukan untuk mengagung-agungkan tradisi, tapi untuk memahami bahwa Islam tumbuh dalam ruang budaya, bukan ruang kosong. Gerakan dalam dzikir bukan berarti menari dalam makna profan, melainkan ungkapan rasa yang datang dari hati yang penuh cinta.
Menolak bentuk dzikir yang berbeda tanpa memahami konteksnya justru bisa mengikis keberagaman Islam itu sendiri. Padahal, Islam datang sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan itu termasuk rahmat bagi ragam budaya dan ekspresi yang tak seragam.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, sangat penting bagi kita untuk memiliki kedewasaan beragama. Dzikir yang dilakukan dengan gerakan tubuh tidak harus langsung dicurigai. Lebih penting untuk melihat substansinya: apakah ia membuat pelakunya lebih taat, lebih lembut hatinya, lebih jujur hidupnya?
Spiritualitas, pada akhirnya, bukan diukur dari bentuk geraknya, melainkan dari sejauh mana ia mendekatkan manusia kepada Tuhannya.
Penulis: Iztawa Nasyarudhin Tribuana
Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Negeri Semarang
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News