Rahasia di Balik Keawetan Makanan Kaleng: Teknologi Pengolahan Panas

Rahasia di Balik Keawetan Makanan Kaleng: Teknologi Pengolahan Panas
Sumber: s1.bukalapak.com

Makanan kaleng merupakan produk pangan olahan yang dikenal dan digunakan luas di seluruh dunia.

Produk ini menjadi solusi praktis dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari hingga situasi darurat karena umur simpan yang panjang tanpa memerlukan penyimpanan dingin, mudah dibawa, tidak cepat rusak, dan langsung bisa dikonsumsi.

Dalam kehidupan sehari-hari, makanan kaleng menawarkan kemudahan bagi konsumen. Tanpa perlu proses memasak yang panjang, makanan sudah tersedia dalam bentuk siap saji atau hanya perlu sedikit pemanasan.

Hal ini sangat sesuai dengan gaya hidup masyarakat modern yang serba cepat dan efisien (Kusnandar et al. 2023).

Bacaan Lainnya

Teknologi pengalengan dapat memperpanjang umur simpan produk pangan hingga beberapa bulan dan tahun (Hariyadi et al. 2019).

Keawetan dan keamanan makanan kaleng disebabkan produk telah melalui proses pengolahan dan pengemasan yang dirancang mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan menjaga stabilitas kualitas produk selama masa simpannya sehingga dapat memastikan makanan tetap aman dikonsumsi bahkan setelah disimpan dalam waktu lama.

Teknologi pengolahan panas, pasteurisasi atau sterilisasi, merupakan metode yang paling andal dan paling sering digunakan dalam industri pangan untuk menonaktifkan patogen dalam produk pangan (Signh et al. 2018).

Selain itu, pengalengan dengan menggunakan retort pada wadah tertutup rapat, terbukti menjadi metode yang efektif dan ekonomis untuk menghasilkan produk pangan yang aman serta memiliki daya simpan yang panjang (Verheyen et al. 2021).

Kerusakan Mikrobiologis Makanan Kaleng

Jenis mikroorganisme setiap bahan pangan akan berbeda-beda tergantung tingkat keasaman (pH), kadar air, atau komposisi zat gizi dalam pangan tersebut (Hariyadi et al. 2019).

Oleh karena itu, penting untuk memahami karakteristik mikroba serta faktor-faktor yang mendukung pertumbuhannya dalam produk pangan.

Kerusakan makanan kaleng umumnya disebabkan oleh mikroorganisme patogen atau pembusuk.

Mikroorganisme Patogen

Bakteri Clostridium botulinum merupakan bakteri patogen pembentuk spora (Kusnandar et al. 2023) yang menjadi perhatian dalam proses makanan kaleng.

Bakteri ini dapat memproduksi toksin yang mematikan yaitu botulin (racun saraf) yang dapat menyebabkan kelumpuhan hingga kematian.

Kondisi khas pada makanan kaleng seperti berasam rendah (pH <4,6), aktivitas air yang tinggi (aw>0,8) serta kondisi yang vakum (anaerob) ideal bagi pertumbuhan C. botulinum dan pembentukan toksinnya.

Selain itu, bakteri ini mampu membentuk spora yang sangat tahan terhadap panas dan dapat bertahan dalam kondisi ekstrem.

Jika kondisi mendukung, spora ini dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif aktif dan menghasilkan toksin.

Mikroorganisme Pembusuk

Kerusakan makanan kaleng juga dapat disebabkan oleh mikroorganisme pembusuk seperti kapang, khamir, dan berbagai bakteri.

Meskipun umumnya tidak berbahaya bagi kesehatan, mikroorganisme ini dapat merusak mutu sensorik produk, seperti menyebabkan perubahan rasa, bau, warna, tekstur, dan bahkan pembengkakan kemasan akibat produksi gas.

Kapang mampu tumbuh pada kadar air rendah dan menghasilkan spora serta enzim perusak. Khamir berkembang baik pada lingkungan tinggi gula dan air, menyebabkan fermentasi tak terkendali.

Sementara bakteri pembusuk seperti Bacillus atau Clostridium non-patogen dapat menghasilkan senyawa berbau busuk jika tidak dieliminasi dengan baik.

Untuk mengatasi hal ini, proses termal seperti pasteurisasi dan sterilisasi diterapkan sebagai upaya utama dalam menonaktifkan mikroorganisme patogen maupun pembusuk yang dapat merusak mutu dan keamanan makanan kaleng.

Sterilisasi dan Pasteurisasi: Dua Strategi Panas Penentu Umur Simpan

Dalam industri makanan kaleng, menjaga kualitas dan keamanan produk selama penyimpanan adalah hal yang sangat penting.

Proses pengolahan panas diaplikasikan untuk membunuh mikroorganisme dan enzim yang dapat menyebabkan kebusukan produk pangan dan membahayakan kesehatan manusia (Hariyadi et al. 2019).

Dua metode yang paling umum digunakan untuk mencapai hal ini adalah pasteurisasi dan sterilisasi.

Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah proses pemanasan makanan pada suhu sedang (60-85°C) dengan tujuan utama menurunkan jumlah mikroorganisme pembusuk dan membunuh sel vegetatif mikroba patogen penghasil toksin (Hariyadi et al. 2019).

Namun, metode ini tidak mampu membunuh semua jenis mikroorganisme, terutama spora bakteri yang tahan terhadap panas.

Spora tersebut berperan seperti “benih” yang dapat bertahan dalam kondisi ekstrem dan tumbuh kembali menjadi bakteri aktif bila kondisi lingkungan mendukung.

Meskipun demikian, pasteurisasi banyak digunakan karena mampu mempertahankan mutu produk yang sensitif terhadap panas.

Selain itu, sebagian besar mikroorganisme pembusuk bersifat sensitif terhadap suhu tinggi, sehingga pasteurisasi dianggap cukup efektif dalam memperpanjang umur simpan.

Untuk meningkatkan stabilitas produk, pasteurisasi sering dikombinasikan dengan metode lain seperti penyimpanan dingin, pengemasan kedap udara, serta penambahan gula dan/atau asam sebagai bahan pengawet.

Sterilisasi

Sterilisasi adalah proses pemanasan dengan suhu tinggi (121,1°C), selama waktu yang cukup untuk membunuh semua mikroorganisme, termasuk spora bakteri yang sangat tahan panas seperti Clostridium botulinum.

Dengan sterilisasi, semua mikroba baik vegetatif ataupun dalam bentuk spora dapat diturunkan sampada suatu tingkat resiko yang dapat diterima (Hariyadi et al. 2019) sehingga produk menjadi aman dan bisa disimpan pada suhu ruang tanpa mudah rusak.

Sterilisasi komersial membantu memperpanjang umur simpan dengan membunuh mikroba pembusuk, memperbaiki mutu sensori, melunakkan tekstur, meningkatkan kecernaan, dan mengurangi antinutrisi (Hartle et al. 2016).

Untuk produk makanan kaleng yang umumnya makanan berasam rendah dan disimpan pada suhu ruang wajib menjalani proses sterilisasi komersial dengan tingkat sterilitas minimum atau nilai F₀ sebesar 3,0 menit, sesuai dengan Peraturan BPOM Nomor 27 Tahun 2021 mengenai Persyaratan Pangan Olahan Berasam Rendah yang Dikemas secara Hermetis (Kusnandar et al. 2023).

Dalam industri pengolahan makanan, proses sterilisasi dihitung menggunakan sebuah parameter khusus yang disebut nilai F₀.

Nilai F₀ menggambarkan lamanya waktu pemanasan yang setara dengan pemanasan pada suhu standar 121,1°C untuk mencapai tingkat keamanan mikrobiologis tertentu.

Sterilisasi komersial diterima ketika penurunan hingga 12D atau dapat mengurangi mikroba hingga 12 siklus logaritmik (Hariyadi et al. 2019).

Nilai ini memastikan bahwa proses sterilisasi dilakukan dengan tepat, yang berisiko membuat makanan tidak aman, dan tidak berlebihan, yang bisa merusak kualitas makanan.

Penghitungan nilai F₀ sangat penting untuk proses pengalengan yang efektif dan aman, sehingga produk akhir bisa memenuhi standar keamanan pangan dan memiliki umur simpan optimal.

Pemilihan proses pengolahan tergantung dari karakteristik produk yang diinginkan, pasteurisasi cocok untuk produk yang sensitif terhadap panas serta ingin mempertahankan rasa dan nutrisi lebih baik namun harus dikombinasikan dengan metode pengawetan lainnya, sementara sterilisasi adalah pilihan untuk produk yang ingin tahan lama dan bisa disimpan tanpa pendinginan.

Retort: Sistem Sterilisasi Modern

Mesin Retort

Rahasia di Balik Keawetan Makanan Kaleng: Teknologi Pengolahan Panas
Sumber: mybotolplastik.com

Dalam industri makanan kaleng, untuk memastikan keamanan dan daya tahan produk, proses sterilisasi harus dilakukan dengan sangat teliti.

Salah satu alat utama yang digunakan adalah retort, yaitu alat untuk mensterilisasi bahan pangan yang sudah dikalengkan (Ramadhona & Hendrawan 2024).

Retort merupakan ruang tertutup di mana kaleng atau kemasan makanan dimasukkan dan kemudian dipanaskan menggunakan uap bertekanan tinggi dengan suhu sekitar 121°C atau lebih, suhu yang diperlukan untuk membunuh semua mikroorganisme termasuk spora bakteri tahan panas.

Suhu, tekanan dan durasi pemanasan alat ini diatur agar sterilisasi berjalan efektif tanpa merusak kualitas makanan di dalamnya.

Secara teknis, proses pemanasan dalam retort mengikuti prinsip transfer panas.

Ada dua mekanisme utama yang terjadi, yaitu konduksi (panas merambat melalui bahan makanan) dan konveksi (perpindahan panas melalui cairan atau uap di dalam kemasan).

Kecepatan pemanasan ini sangat dipengaruhi oleh jenis dan kepadatan isi kemasan.

Tiap produk makanan kaleng memiliki prosedur sterilisasi yang berbeda, disesuaikan dengan hasil pengujian dan validasi termal agar suhu cukup tercapai di titik terdingin produk tanpa overcooking.

Sterilisasi berlebihan perlu dihindari karena dapat menurunkan kualitas gizi dan sensori produk.

Hal ini masih sering terjadi pada makanan kaleng di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan pengaturan suhu dan waktu yang tepat agar produk aman dikonsumsi tanpa kehilangan mutu (Kusnandar, 2023).

Teknologi modern dalam retort dilengkapi dengan sensor suhu dan tekanan digital yang sangat akurat.

Sensor-sensor ini memastikan seluruh kemasan di dalam retort menerima perlakuan panas yang seragam, sehingga tidak ada bagian yang kurang steril atau bagian yang terlalu lama dipanaskan hingga merusak tekstur dan kandungan gizi.

Sistem kontrol otomatis pada retort juga membantu menjaga kestabilan proses, mengurangi risiko kesalahan operator, dan meningkatkan efisiensi produksi.

 

Penulis: Suci Latifah Noor Fahmi
Mahasiswa Prodi Ilmu Pangan, Pascasarjana IPB University

 

Referensi

Hariyadi P. Sitanggang AB, Hunaefi D, Adawiyah DR, Purnomo EH, Syamsir E, Kusnandar F, Wulandari N. 2019. Landasan Teknik Pangan. Bogor: PT Penerbit IPB Press.

Hartle JC, Navas-Acien A, Lawrence RS. 2016. The consumption of canned food and beverages and urinary Bisphenol A concentrations in NHANES 2003–2008. Environmental Research. 150:375–382.

Kusnandar F, Dafiq HH, Rahayu WP, Irmawan D. 2023. Evaluasi kecukupan panas dan pengembangan proses alternatif dalam sterilisasi komersial jamur kancing dalam kaleng. Jurnal Mutu Pangan: Indonesian Journal of Food Quality, 10(2), 100-107.

Romadhona EM, Hendrawan I. 2024. Analisa dan uji teknis mesin retort untuk produksi bumbu rendang [Disertasi doctoral]. Institut Teknologi Indonesia.

Singh AP, Yen PPL, Ramaswamy HS, Singh A. 2018. Recent advances in agitation thermal processing. Current Opinion in Food Science, 23, 90-96.

Verheyen D, Altin O, Skipnes D, Erdogdu F, Skåra T, Van Impe, J. F. 2021. Thermal inactivation of Listeria monocytogenes in the Shaka agitated reciprocal retort: Influence of food matrix rheology and fat content. Food and Bioproducts Processing, 125, 22-36.

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses