Etika Berbahasa di Dunia Maya: Antara Kebebasan dan Kesopanan

Etika Berbahasa di Dunia Maya
Etika Berbahasa di Dunia Maya: Antara Kebebasan dan Kesopanan.

Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi wadah utama komunikasi dan ekspresi diri. Dari percakapan ringan hingga perdebatan serius, dunia maya menawarkan ruang tak terbatas bagi siapa saja untuk berbicara. Namun, di tengah kebebasan yang luas itu, sering kali kita lupa akan satu hal yang sangat penting: etika dalam berbahasa.

Media sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberi kita kekuatan untuk menyuarakan pendapat secara terbuka. Namun di sisi lain, kebebasan tanpa batas ini kerap berujung pada komunikasi yang kasar, penuh ujaran kebencian, bahkan saling hujat. Fenomena ini seolah menjadi hal biasa, terutama dalam kolom komentar atau percakapan daring yang viral.

Padahal, dalam komunikasi apa pun—baik luring maupun daring—etika berbahasa harus tetap dijaga. Bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga cerminan dari karakter, pemikiran, dan budaya seseorang.

Seperti yang dikatakan oleh Prof. Anton M. Moeliono, “Bahasa mencerminkan pikiran dan kepribadian penuturnya. Bahasa yang baik menunjukkan pikiran yang baik.”

Bacaan Lainnya

Etika berbahasa di media sosial mencakup berbagai aspek, antara lain:

  1. Menghindari ujaran kebencian dan SARA, karena dapat menyinggung dan memecah persatuan;
  2. Menggunakan bahasa yang jelas, sopan, dan tidak provokatif, terutama saat menyampaikan kritik;
  3. Tidak menyebarkan hoaks, karena setiap kata yang kita bagikan bisa berdampak luas;
  4. Berpikir sebelum mengetik, sebagaimana kita diajarkan untuk berpikir sebelum berbicara.

Sayangnya, kebebasan di media sosial sering disalahartikan sebagai kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Padahal, setiap kata yang kita unggah memiliki konsekuensi. Dunia maya bukan ruang tanpa hukum—banyak kasus pelanggaran etika berbahasa yang berujung pada proses hukum atau konflik sosial di dunia nyata.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”—di manapun kita berada, termasuk di ruang digital, kita harus memberi teladan dan membangun semangat kebaikan. Salah satu caranya adalah dengan menjaga tutur kata kita.

Baca Juga: Bicara Tubuh, Bicara Hak: Menata Ruang Aman bagi Remaja di Media Sosial

Oleh karena itu, penting bagi kita, khususnya generasi muda, untuk menjadi pengguna media sosial yang cerdas dan beretika. Kita bisa memanfaatkan kebebasan berekspresi secara positif, membangun ruang digital yang sehat dan produktif.

Mari kita jadikan media sosial sebagai cerminan budaya komunikasi yang santun, bukan tempat untuk saling menjatuhkan. Karena pada akhirnya, bahasa bukan hanya alat bicara, tapi juga cermin siapa kita sebenarnya.

Penulis: Aji Nugroho Wibowo
Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Pamulang

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses