Namun sayangnya, dalam praktik sehari-hari, masih banyak warga yang hanya berfokus pada pemenuhan hak. Hak untuk mendapat pelayanan publik, pendidikan, keamanan, bahkan bantuan sosial, sering dikedepankan sebagai dasar untuk menuntut negara.
Sebaliknya, kewajiban warga negara—yang sejatinya menjadi fondasi tegaknya kehidupan bernegara—sering diabaikan, diremehkan, atau dianggap tidak penting.
Pasal 26 UUD 1945 menyatakan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang. Definisi ini memang memberi batas administratif. Namun secara moral dan sosial, status warga negara tidak bisa berhenti pada akta kelahiran, KTP, atau paspor.
Warga negara adalah mereka yang menghayati nilai-nilai kebangsaan dan mengambil bagian aktif dalam kehidupan berbangsa, baik secara individu maupun kolektif.
Mereka sadar akan hak yang harus diterima, dan pada saat yang sama menjalankan kewajiban tanpa harus diminta. Dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28A hingga 28J, kita menemukan berbagai hak dasar yang dijamin: hak hidup, hak atas rasa aman, hak untuk memperoleh pendidikan, hingga hak untuk menyatakan pendapat.
Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin semua ini. Namun, di sisi lain, pasal tentang kewajiban warga negara tidak kalah penting, seperti Pasal 27 (kewajiban menjunjung hukum), Pasal 30 (ikut serta dalam pertahanan dan keamanan), dan Pasal 31 (kewajiban mengikuti pendidikan dasar). Tetapi seberapa besar kesadaran masyarakat terhadap pasal-pasal ini?
Ambil contoh sederhana: membuang sampah sembarangan. Tindakan ini bukan hanya persoalan kebiasaan buruk, tetapi bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab sebagai warga negara yang baik.
Begitu pula ketika seseorang tidak ikut memilih dalam pemilu, tidak peduli terhadap pelanggaran hukum di sekitarnya, atau enggan membayar pajak. Ini semua adalah bentuk ketidakhadiran warga dalam panggung kebangsaan.
Salah satu akar dari lemahnya kesadaran kewarganegaraan ini adalah minimnya pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajibannya. Pendidikan Kewarganegaraan (civil education) yang selama ini ada di kurikulum pendidikan sering dipandang sebagai pelajaran pelengkap. Isinya pun cenderung teoretis dan membosankan—sekadar menghafal sila Pancasila, pasal UUD, dan nama-nama tokoh nasional.
Padahal, civil education yang ideal adalah pendidikan yang hidup dan relevan dengan kondisi sehari-hari. Ia harus melatih siswa berpikir kritis, memahami sistem politik, hukum, serta memiliki keberanian menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Pendidikan kewarganegaraan seharusnya mendorong lahirnya generasi yang sadar akan haknya, namun juga siap menjalankan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab.
Menjadi warga negara yang aktif tidak selalu berarti turun ke jalan atau melakukan aksi besar. Hal-hal sederhana seperti mematuhi peraturan lalu lintas, ikut pemilu, melaporkan tindakan korupsi, hingga menjaga toleransi antarumat beragama—semua itu merupakan bentuk nyata dari kewarganegaraan aktif.
Tantangannya adalah bagaimana mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, untuk tidak apatis terhadap isu kebangsaan.
Di era media sosial, di mana opini publik bisa dibentuk dalam hitungan detik, pemahaman yang dangkal tentang hak dan kewajiban sangat berbahaya. Orang mudah terprovokasi, ikut menyebarkan informasi tanpa verifikasi, atau malah bersikap sinis terhadap institusi negara.
Pertanyaan “Kalau nggak tahu hak dan kewajiban, masih layak disebut warga negara?” bukanlah pertanyaan yang sekadar provokatif. Ia mengajak kita semua bercermin: sudahkah kita menjalankan peran sebagai warga negara dengan sungguh-sungguh?
Secara administratif, mungkin kita tetap warga negara. Tapi secara moral, warga negara yang baik adalah mereka yang tidak hanya menuntut, tapi juga berkontribusi.
Tidak hanya merasa berhak, tapi juga merasa bertanggung jawab. Indonesia tak akan menjadi negara maju hanya dengan warga negara yang menunggu. Tapi dengan warga yang tahu, mau, dan mampu menjalankan hak dan kewajibannya, negeri ini punya harapan.
Penulis:
- Tifani Riskia Andini
- Choirun Ni’ma Ramadhani Suranto
- Zahrani Annisa Jannah
Mahasiswa Prodi Kedokteran Gigi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si.
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News