Praktik kedokteran gigi menggunakan kepercayaan sebagai mata uang utama antara dokter dan pasien, sungguh miris melihat kenyataan pahit bahwa para profesional ini kerap dihadapkan pada tuduhan malpraktik.
Bayangkan saja, sekali saja tuduhan itu mencuat, reputasi yang dibangun bertahun-tahun bisa hancur berkeping-keping, bahkan menghancurkan seluruh jalan karir yang telah diperjuangkan.
Inilah mengapa kita tidak bisa menutup mata, sudah saatnya kita secara tegas mengakui bahwa dokter gigi membutuhkan perlindungan hukum yang kokoh, terutama di saat mereka harus berjibaku dengan tudingan yang kebenarannya masih abu-abu dan belum terbukti.
Ini bukan sekadar hak, namun menjadi sebuah keharusan!
Malpraktik didefinisikan sebagai suatu bentuk kesalahan profesional, yang secara langsung dapat menimbulkan kerugian atau luka pada pasien akibat perbuatan atau kelalaian dokter.
Ini mencakup tindakan disengaja ataupun kelalaian dalam praktik kedokteran yang melanggar standar profesi, prosedur, atau prinsip profesional kedokteran, bahkan jika tanpa wewenang yang sah.
Contohnya seperti tidak disertai informed consent atau tidak sesuai kebutuhan medis pasien, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada fisik, mental, atau nyawa pasien.
Namun, tidak semua hasil buruk dari tindakan medis otomatis merupakan malpraktik. Dalam hukum, diperlukan pembuktian adanya causal verband (hubungan sebab akibat langsung) antara tindakan dokter dan kerugian pasien.
Tanpa itu, tuduhan malpraktik tidak bisa dibenarkan secara hukum.
Sebagai contoh kasus, pada tahun 2019 seorang pasien mengalami kelumpuhan dan hilang ingatan setelah cabut gigi di RS Semen Padang.
Kejadian ini disebabkan oleh bronchospasme (penyempitan saluran pernapasan) saat pasien dibius, yang mengakibatkan terhentinya suplai oksigen ke otak dan kerusakan sistem saraf otak.
Dokter gigi telah berupaya maksimal untuk mengobati pasien dan keluarga pasien sudah menyetujui sebelum dilakukan tindakan.
Pihak rumah sakit menyatakan bahwa insiden tersebut bukan malpraktik.
Klaim ini didasarkan pada fakta bahwa penanganan awal sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) medis, risiko-risiko telah dijelaskan dan dipahami serta disetujui oleh keluarga pasien sebelum operasi, serta kasus ini telah dibahas oleh komite medik, persatuan dokter anestesi, dan tim hukum rumah sakit.
Landasan hukum mengenai malpraktik di Indonesia terangkum dalam berbagai regulasi yang bertujuan untuk menciptakan kerangka kerja yang adil bagi semua pihak.
UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan khususnya Pasal 273, memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dan medis yang menjalankan tindakan medis di fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk dokter gigi.
Perlindungan ini sangat krusial agar para dokter gigi dapat menjalankan praktik dengan aman dan efisien, mengingat peran vital mereka dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut masyarakat.
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 27 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh imbalan serta perlindungan hukum selama menjalankan tugas sesuai dengan profesinya.
Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa profesi dokter memiliki risiko tertentu dalam pelaksanaannya.
Oleh sebab itu, apabila seorang dokter terlibat dalam suatu persoalan yang berkaitan dengan pekerjaannya, ia diperbolehkan membela diri.
Selain itu, dokter juga berhak mendapatkan dukungan dari rekan sejawat dalam upaya membuktikan kebenaran.
Meski demikian, hak untuk membela diri ini harus dijalankan dengan dasar kejujuran dan ketulusan, agar keadilan benar-benar dapat ditegakkan.
Beberapa hak hukum dokter gigi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran antara lain:
Hak atas Asas Praduga Tak Bersalah
Dokter gigi yang dituduh melakukan malpraktik tetap dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya di pengadilan.
Hak atas Bantuan Hukum
Dokter gigi berhak mendapatkan pembelaan hukum baik dari pengacara maupun dari organisasi profesi seperti Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Hak Menolak Tindakan di Luar Kompetensinya
Dokter gigi memiliki hak untuk menolak memberikan pelayanan medis jika tindakan tersebut di luar kompetensinya atau tidak sesuai dengan indikasi medis yang jelas.
Hak Mendapat Perlindungan dari Organisasi Profesi
PDGI dan lembaga lainnya memiliki peran untuk melindungi anggotanya dari tuduhan yang tidak berdasar serta memberikan pendampingan hukum.
Hak Menuntut Balik atas Tuduhan Palsu
Jika terbukti bahwa tuduhan malpraktik tidak berdasar dan merugikan secara moral maupun profesional, dokter gigi berhak mengajukan tuntutan hukum atas pencemaran nama baik.
Ketika ada dugaan malpraktik, proses hukum harus dilakukan dengan adil dan melalui jalur yang benar. Biasanya, langkah-langkah yang diambil meliputi:
- Pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Gigi (MKDKG)
- Pemeriksaan oleh Majelis Etik dan Disiplin Organisasi Profesi
- Proses hukum perdata atau pidana jika diperlukan
- Pembuktian medis oleh ahli atau saksi profesional
Dalam menghadapi potensi tuntutan malpraktik, sangatlah penting bahwa dokter gigi memiliki hak penuh untuk membela diri.
Mereka harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyampaikan bukti dan memberikan klarifikasi atas tuduhan yang diarahkan kepada mereka.
Perlindungan hukum ini, yang diperkuat dengan keberadaan asuransi malpraktik, bukan hanya sekadar jaminan finansial dari tuntutan akibat kesalahan medis, melainkan juga cerminan prinsip keadilan yang mendasari sistem hukum kita.
Adanya asuransi malpraktik bersama dengan aspek perlindungan preventif berupa regulasi pencegahan dan represif melalui sanksi pelanggaran, menegaskan bahwa dokter gigi tidak seharusnya dihukum jika tindakan mereka telah sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesional, standar prosedur operasional, etika profesi, dan memenuhi persyaratan pasien.
Ini adalah fondasi penting yang mendorong praktik bertanggung jawab dan profesionalisme yang tinggi.
Secara keseluruhan, kerangka perlindungan ini tidak hanya mencerminkan prinsip keadilan dan hak setiap profesi untuk dilindungi, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Keseimbangan antara hak pasien dan perlindungan tenaga medis adalah kunci demi terciptanya sistem kesehatan yang adil dan berkelanjutan, selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Tanpa perlindungan yang memadai, dokter gigi mungkin akan ragu untuk mengambil keputusan yang diperlukan, yang pada akhirnya dapat merugikan pasien itu sendiri.
Penulis:
1. Adenia Pratiwi (J520220034)
2. Ar-Rijal Kurniawan Rifai (J520220003)
3. Aulia Zahra Amalia (J520220042)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News