Ketika Pendidikan Kewarganegaraan Jadi Formalitas, Apa yang Hilang?

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kerap kali dipandang sebelah mata oleh sebagian mahasiswa.

Ia dianggap sebagai mata kuliah pelengkap, pengisi sks, bahkan tak jarang hanya menjadi formalitas administratif dalam perjalanan akademik.

Materi-materi seperti Pancasila, demokrasi, UUD 1945, atau hak dan kewajiban warga negara, seringkali hanya dihafalkan untuk menjawab soal ujian tanpa pernah benar-benar dimaknai dalam kehidupan nyata.

Ketika PKn hanya menjadi formalitas, maka yang hilang bukan sekadar pemahaman konseptual, tapi juga kesadaran berbangsa dan bernegara yang seharusnya tumbuh dari pendidikan tersebut.

Bacaan Lainnya

Dalam situasi seperti ini, kita patut bertanya dengan serius: “Jika pendidikan kewarganegaraan hanya dijalankan sebagai formalitas, apa yang sesungguhnya telah kita hilangkan sebagai bangsa?”

Baca juga: Melek PKn itu Keren! Biar Gak Salah Langkah di Dunia Nyata maupun Maya

Yang luput dari perhatian banyak orang adalah bahwa PKn bukan sekadar pendidikan tentang hukum dan negara, melainkan pendidikan karakter kebangsaan.

Dalam konteks Indonesia yang plural dan dinamis, PKn berfungsi sebagai pondasi pembentukan identitas warga negara yang toleran, kritis, dan bertanggung jawab.

Sayangnya, pendekatan pengajaran yang cenderung tekstual, kaku, dan minim dialog membuat PKn gagal menyentuh realitas mahasiswa terutama ketika mereka dihadapkan pada masalah aktual seperti intoleransi, disinformasi, dan apatisme politik.

Ketika nilai-nilai Pancasila hanya tinggal slogan, ketika demokrasi hanya dimaknai sebagai pemilu lima tahunan, maka sesungguhnya esensi PKn telah kosong.

Yang hilang adalah semangat untuk menjadi bagian dari solusi.

Padahal, di tengah tantangan zaman seperti maraknya ujaran kebencian, polarisasi politik, dan rendahnya partisipasi publik, mahasiswa justru dibutuhkan sebagai motor penggerak kewarganegaraan aktif.

Baca juga: Mencegah Disintegrasi Bangsa: Peran Vital PKn dalam Membentuk Generasi Muda Berkarakter

Jika PKn didekati secara reflektif dan kontekstual bukan hanya hafalan ia bisa menjadi ruang penting untuk membentuk mahasiswa yang sadar hak dan kewajibannya, berani bersuara, dan mampu berpikir kritis terhadap kebijakan publik maupun isu sosial.

Pendidikan Kewarganegaraan bukan sekadar tentang memahami Pancasila, UUD 1945, atau lembaga-lembaga negara.

Lebih dari itu, ia adalah sarana untuk membangun karakter bangsa: Bagaimana mahasiswa bersikap terhadap keberagaman, bagaimana mereka menyikapi perbedaan pandangan, bagaimana mereka merespons ketidakadilan, dan bagaimana mereka membela nilai-nilai konstitusional dalam kehidupan digital dan nyata.

Jika semua ini tak diajarkan atau dirasakan, maka yang hilang bukan hanya pemahaman akademik tetapi jiwa kewarganegaraan itu sendiri.

Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya mengajak mahasiswa berdiskusi soal realita sosial-politik di sekeliling mereka, memfasilitasi keterlibatan dalam kegiatan sosial, serta mengasah kepekaan terhadap isu-isu keadilan, kebebasan, dan keberagaman.

Baca juga: Menganalisis Pemahaman Generasi Muda akan Pentingnya Citizenship Education terhadap Problema Berkurangnya PPKn

Tanpa itu, PKn hanya akan menjadi ritual akademik yang kehilangan makna.

Maka sudah saatnya kita bertanya kembali: “Apakah PKn yang kita jalani hari ini membentuk warga negara yang sadar, aktif, dan berintegritas, atau hanya melahirkan generasi yang patuh secara administratif tapi kosong secara moral dan sosial?”

 

Penulis:

1. Hilma Anzalna
2. Misqi Farah Nusrotillah

 

Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si.

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter Gigi, Universitas Pamulang 

 

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses