Peta kapanca merupakan salah satu tradisi di Bima, Nusa Tenggara Barat yang dilakukan oleh mempelai Wanita menjelang pernikahan. Kata peta jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia memiliki arti “tempel” sedangkan kapanca (pacar) adalah nama sebuah pohon yang jika daunnya ditumbuk dan ditempelkan dibagian tubuh maka akan meninggalkan bekas berwarna merah.
Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak zaman nenek moyang dan sudah berlangsung selama ratusan tahun dan terus dilestarikan. Berdasarkan hasil wawancara saya terhadap para tetua dan jurnal ilmiah yang berjudul “Tradisi Peta Kapanca Pernikahan di Kabupaten Bima; Perspekttif Imam Syafi’i” oleh Idharulhaq.
Tradisi peta kapanca ini bertujuan sebagai acara perpisahan mempelai wanita dengan teman-temannya sekaligus untuk meminta restu para tetua agar dapat membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah dan juga sebagai simbol bahwa sang mempelai wanita akan menjadi seorang istri dari sang mempelai lelaki yang telah meminangnya.
Selain itu, acara Peta Kapanca ini juga memberikan pesan kepada hadirin yang hadir. Bagi seorang ibu, acara ini menjadi sebuah pengharapan agar putrinya bisa mengikuti jejak sang mempelai wanita, sedangkan bagi para gadis dapat menjadikan acara Peta Kapanca ini sebagai contoh untuk segera mengakhiri masa lajang.
Bisa dikatakan tradisi peta kapanca ini adalah acara khusus untuk para wanita. Tradisi Peta Kapanca ini dilakukan pada malam hari tepatnya setelah ba’da isya dan sebelum akad nikah di pagi harinya. Para keluarga, kerabat serta teman-teman dari mempelai wanita akan berkumpul di kediaman mempelai wanita.
Mempelai wanita akan didandani secantik mungkin oleh Ina pengasuh atau penata rias serta memakai pakaian adat Bima dan didudukkan di antara para tamu yang hadir.
Ada beberapa perlengkapan yang dibutuhkan dalam acara ini antara lain Sancoro Kalo (Daun pisang muda), Ro’o Kapanca Ma Wa’ura Tutu Kalelo (Daun pacar yang telah ditumbuk halus), Fu’u Kalo (Batang pisang/Pohon pisang), Lingga Tuta Dua Mbua (Bantal sebanyak dua buah).
Lilin Pidu Mbua (Lilin sebanyak tujuh buah), Ciwi Mpuru Ciwi Mbua Dolu lowi (Sembilan puluh Sembilan butir telur rebus) yang telah dihias sedemikian rupa sebagai simbol dari Asma’ul Husna atau 99 Nama Kebesaran Sang Maha Pencipta dalam kepercayaan Umat Islam, Malanta (Kain putih), Ro’o Nahi (Daun sirih), Wunta Ni’u (Kembang kelapa), Wunta Lupa (Kembang merak).
Acara peta kapanca ini diawali dengan acara sangongo, yaitu mandi uap dengan beraneka bunga dan rempah atau biasa dikenal dengan mandi kembang yang kemudian dilanjutkan dengan acara siraman yang di sebut dengan “Boho Oi Mbaru”.
Di dalam Bahasa Indonesia, “Boho” memiliki arti “Menumpahkan”, “Oi” adalah “Air” dan “Mbaru” berarti “Lajang”. Dalam prosesi “Boho Oi Mbaru “ ini sang mempelai wanita sudah disadarkan bahwa dia akan segera diakad dan akan melepas masa lajangnya.
Baca Juga: https://mahasiswaindonesia.id/sistem-kulturalisme-kebudayaan-nusa-tenggara-timur-larantuka/
Setelah itu dilaksanakan acara “Cafi Ra Hambu Maru Kai” atau yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti membersihkan dan menata kamar sang mempelai wanita.
Pada acara Cafi Ra Hambu Maru Kai ini, kamar mempelai wanita akan dirias secantik mungkin. Setelah itu, memasuki acara utama yaitu Peta Kapanca.
Peta kapanca dilakukan dengan menempelkan Ro’o Kapanca (Daun pacar) yang telah ditumbuk halus pada Koha Rima (telapak tangan) mempelai Wanita yang sebelumnya telah dialasi dengan Malanta (Kain putih), Uhu Rima (kuku tangan), dan Uhu Edi (kuku kaki) mempelai wanita.
Setelah itu dilanjutkan dengan memercikkan air kembang yang terdiri dari Wunta Ni’u (Kembang kelapa) dan Wunta Lupa (Kembang merak) yang dilakukan oleh ibu-ibu dari perwakilan keluarga kedua mempelai, kerabat, tetua dan para tokoh masyarakat secara bergiliran.
Prosesi menempelkan daun pacar ini dilakukan oleh 7 sampai 9 orang. Prosesi ini juga diiringi dengan lantunan syair dan zikir yang serentak dibacakan oleh para wanita yang hadir atau ibu-ibu dari majelis taklim setempat dan juga nyanyian-nyanyian religi yang liriknya berisi pujian dan sanjungan kepada Allah swt. dan RasulNya.
Sebagai rasa syukur serta memohon ridho dan berharap semoga kelak mempelai wanita setelah berumah tangga mendapatkan keturunan yang sholeh/ sholehah, kebahagiaan, kebarokahan, rezeki yang melimpah sehingga sanggup dalam mengemban tugas-tugasnya.
Baca Juga: https://mahasiswaindonesia.id/mengenal-15-suku-suku-di-indonesia-dan-asalnya/
Setelah prosesi Peta Kapanca ini selesai, akan dilanjutkan dengan hiburan rakyat seperti Gentaong dan Rawa Mbojo. Rawa berarti “Nyanyian” dan “Mbojo” adalah sebutan lain untuk Bima. Rawa Mbojo atau nyanyian tradisional ini mengandung nasihat-nasihat untuk sang mempelai sembari diiringi oleh alunan musik hingga menjelang pagi hari.
Namun, setelah prosesi Peta Kapanca berakhir ada juga yang dilanjutkan dengan tahlil dan tilawah Al-Quran secara bergiliran sampai semalam suntuk.
Maksud dan tujuan mempelai wanita dilumuti dengan Ro’o Kapanca (Daun pacar) yang telah ditumbuk pada telapak tangan, kuku tangan dan kuku kaki ini adalah menandakan diri mereka yang tadinya bermanja-manja dengan memanjakan kukunya dan bermalas-malasan.
Dengan begitu, sejak acara Peta Kapanca ini sang mempelai Wanita yang telapak tangan, kuku tangan dan kuku kakinya dikotori dengan Ro’o Kapanca (Daun pacar) ini memberitahukan kepada kita semua bahwa sang mempelai wanita ini akan mulai bekerja keras dan rajin demi mencapai rumah tangga yang sejahtera, berkah, dan bahagia di dunia maupun akhirat.
Di akhir acara ini juga terdapat prosesi Ranca Dolu. Ranca dalam bahasa Indonesia berarti “Rebut” sedangkan Dolu adalah “Telur”. Telur sebanyak 99 butir yang telah dihias menjadi seperti bunga-bunga akan diperebutkan oleh para tamu yang hadir baik yang masih lajang maupun para ibu-ibu yang nantinya akan diberikan kepada anak perempuannya.
Mitosnya, jika memakan telur ini dan rangkaian bunganya dijadikan hiasan pada kamar, maka akan cepat mendapatkan jodoh dan segera menyusul sang mempelai wanita ke jenjang pernikahan.
Itulah sebabnya acara Peta Kapanca ini menjadi dambaan para ibu-ibu, di mana mereka mengharapkan anak perempuannya yang masih lajang segera melewati acara yang sama dan melepas masa lajangnya.
Hingga saat ini, tradisi Peta Kapanca masih sangat erat melekat dalam kehidupan masyarakat Bima pada umumnya, dan menjadi salah satu rentetan tradisi yang dilaksanakan menjelang pernikahan.
Menurut pendapat saya sebagai orang asli Bima, Tradisi Peta Kapanca ini menjadi salah satu tradisi yang unik karena setiap hal didalamnya mengandung filosofi-filosofi tersendiri dan juga adanya mitos seperti yang diyakini oleh masyarakat Bima.
Di mana saya juga pernah menyaksikan upacara ini dan bagaimana setiap detail kecil dalam upacara ini begitu diperhatikan agar filosofi-filosofinya tercapai atau tidak hilang.
Tradisi ini juga menjadi ciri khas dan sangat identik dengan budaya Bima menjelang pernikahan. Tradisi Peta Kapanca merupakan salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan.
Penulis:
Nurul Aisyah Ramadhani
Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi