Remaja di Indonesia akhir-akhir ini banyak membuat kericuhan. Atensi masyarakat tertuju pada kasus-kasus yang dilakukan oleh remaja. Kebanyakan kasus kenakalan remaja adalah kasus judol yang banyak terjadi saat ini. Kasus lainnya seperti Narkoba, sex bebas, dan bahkan perundungan yang berakhir pembunuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa kenakalan remaja di Indonesia terjadi dalam berbagai bentuk.
Kenakalan remaja mencakup hal-hal yang melanggar norma sosial, masa paling berbahaya dalam perkembangan setiap individu. Masa remaja memang selalu dikaitkan dengan penentuan jati diri atau identitas diri namun kadang yang dilakukan remaja menimbulkan kerugian pada dirinya sendiri atau bahkan lingkungan sekitarnya.
Hal-hal ini menyangkut keinginnan untuk mengeksplorasi hal baru yang bisa saja terjerumus ke hal yang buruk karena tidak adanya filter atau pengawasan dari orangtua.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Health menemukan bahwa remaja yang terlibat dalam perilaku nakal memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak terlibat dalam perilaku tersebut. Sekitar 25% remaja yang terlibat dalam kenakalan melaporkan gejala depresi yang signifikan.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pada tahun 2020, sekitar 30% remaja di Indonesia terlibat dalam perilaku menyimpang, termasuk kenakalan seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan pergaulan bebas.
Menurut hasil penelitian KPAI sebanyak 17% kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah, perundungan juga masuk kategori kenakalan remaja karena menyebabkan kerugian, contohnya saja kasus bullying SMA 46 Jakarta yang mencuat ke media. Semua kenakalan remaja ini bisa terjadi karena beberapa faktor, meliputi gaya pengasuhan orangtua, pengaruh dari lingkungan, dan genetika orangtua.
Baca juga:Â Peran Keluarga dalam Mencegah Kenakalan Remaja di Lingkungan Masyarakat
Beberapa faktor juga mempengaruhi remaja itu sendiri, faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup krisis identitas yang dialami remaja, di mana perubahan fisik dan sosial dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian.
Faktor internal mencakup aspek psikologis dan emosional yang mempengaruhi perilaku remaja. Misalnya, remaja yang mengalami tekanan emosional, seperti kecemasan atau depresi, mungkin lebih cenderung terlibat dalam perilaku menyimpang sebagai cara untuk mengatasi perasaan tersebut.
Selain itu, remaja yang memiliki masalah dalam mengelola emosi mereka, seperti kemarahan atau frustrasi, juga dapat menunjukkan perilaku nakal sebagai bentuk pelampiasan.
Sementara itu, faktor eksternal meliputi pengaruh lingkungan, seperti keluarga, teman sebaya, dan masyarakat yang dapat memperkuat atau mengurangi perilaku menyimpang. Keluarga yang tidak stabil atau kurang mendukung dapat menciptakan kondisi yang memicu kenakalan.
Misalnya, remaja yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh konflik atau kekerasan mungkin merasa tidak aman dan mencari pelarian melalui perilaku berisiko. Selain itu, pengaruh teman sebaya juga sangat kuat, remaja sering kali merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok yang dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam perilaku yang tidak sesuai.
Ketidakmampuan remaja untuk mengelola emosi dan tekanan sosial sering kali berkontribusi pada perilaku nakal, yang mencerminkan ketidakpuasan atau ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam hidup mereka.
Menurut para ahli, perilaku ini dapat dilihat sebagai respons terhadap krisis identitas yang dialami remaja, di mana mereka berjuang untuk memahami siapa diri mereka dan tempat mereka dalam masyarakat.
Hal-hal yang menyimpang ini bisa saja terjadi karena para remaja melakukan imitasi terhadap orang lain dan mempelajarinnya dari proses observasi, ini bisa dipelajari dengan menggunakan teori belajar sosial (Social Learning Theory).
Lalu hal lainnya adalah ikatan para remaja dengan lingkungan sekolah atau keluarga melemah. Bila ikatan sosial melemah akan menurunkan kontrol sosial karena kontrol ini sangat penting untuk mencegah remaja melakukan tindakan yang merugikan, hal itu masuk dalam Social Control Theory.
Penyebab lainnya seperti kurangnya perhatian dari orangtua, tuntutan atau ekspetasi yang tinggi pada pendidikan anak, keinginan yang tidak terpenuhi sehingga tidak adanya ganjaran yang memuaskan, dan tidak mendapat pendidikan bagaimana cara hidup yang benar dan bersusila di masyarakat.
Baca juga:Studi Komparatif: Kenakalan Remaja di Pedesaan vs Perkotaan
Salah satu teori yang sering digunakan untuk menjelaskan kenakalan remaja adalah teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Menurut Erikson, masa remaja adalah periode di mana individu menghadapi krisis identitas, di mana mereka berusaha untuk memahami siapa diri mereka dan apa yang mereka inginkan dari hidup.
Ketidakpastian dan kebingungan yang muncul selama fase ini dapat menyebabkan remaja mencari pengakuan dan penerimaan dari teman sebaya, yang sering kali mendorong mereka untuk terlibat dalam perilaku berisiko.
Dalam banyak kasus, remaja yang merasa terasing atau tidak diterima dalam lingkungan sosial mereka lebih rentan terhadap kenakalan, karena mereka mencari cara untuk mengekspresikan diri dan mendapatkan perhatian.
Dampak yang ditimbulkan cukup beragam. Ada 2 garis besar yaitu dampak pada remaja itu sendiri dan dampak pada lingkungan sekitarnya. Dampak pada remaja itu sendiri bisa berupa merugikan diri sendiri, contohnya seperti kerusakan otak karena penggunaan Narkoba dan alkohol, pergaulan bebas yang bisa mengakibatkan rusaknya moral pada remaja, dan bahkan kehilangan nyawa karena melakukan aksi-aksi berbahaya.
Lalu dampak untuk lingkungan bisa berupa merugikan keluarga atau orang lain, contohnya seperti perundungan yang bisa membuat proses pembelajaran terganggu, remaja yang melakukan kenakalan bisa mempengaruhi lingkungannya untuk bertindak hal yang sama, dan bila remaja membuat masalah maka orangtua yang menanggungnya.
Untuk mengatasi kenakalan remaja, diperlukan pendekatan yang melibatkan dukungan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Program pendidikan yang fokus pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional, serta penciptaan lingkungan yang mendukung, dapat membantu remaja dalam proses pencarian jati diri mereka.
Dengan memberikan dukungan yang tepat, remaja dapat belajar mengelola emosi dan menghadapi tekanan dengan cara yang positif, sehingga mengurangi kemungkinan terlibat dalam perilaku nakal. Upaya kolaboratif ini sangat penting untuk menciptakan generasi remaja yang sehat, berdaya, dan mampu berkontribusi positif bagi masyarakat.
Penulis: Dinara Putri Kharisma
Mahasiswa Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
Reference:
- Rahmawati, N. (2016). Kenakalan Remaja dan Kedisiplinan: Perspektif Psikologi dan Islam (SAWWA). Jurnal Psikologi, 11(2), 267-288
- Saumantri, T. (2022) Konsep Manusia Dalam Teori Psikoanalisis Humanis Dialektik Erich Fromm (Sanjiwani). Jurnal filsafat, 13(2), 123-135
- Suryandari, S. (2020) Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kenakalan Remaja (Jurnal Inovasi Pendidikan Dasar). 4(1), 23-29
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2020). “Laporan Tahunan tentang Perlindungan Anak.”
- https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/kenakalan-remaja-jaman-sekarang-49
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News