“Kadang aku ngerasa otakku kebanyakan tab. Belum nutup satu, udah buka lima yang lain.” Pernyataan itu dilontarkan seorang teman saat ia merasa kesulitan menyelesaikan tugas di kantor. Ia sering kali berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain tanpa benar-benar menuntaskannya. Ia pun mulai bertanya-tanya: apakah ini gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)?
Selama ini, ADHD lebih sering dikaitkan dengan anak-anak yang tidak bisa diam atau sulit fokus di sekolah. Namun dalam praktiknya, ADHD bisa bertahan hingga dewasa. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), ADHD pada dewasa ditandai dengan gangguan perhatian (inattention), impulsivitas, dan/atau hiperaktivitas yang menetap setidaknya sejak masa kanak-kanak dan mengganggu fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
Pada orang dewasa, gejala ADHD bisa tampil berbeda dari anak-anak. Riset dari National Comorbidity Survey menunjukkan bahwa sekitar 4,4% orang dewasa di Amerika Serikat mengalami ADHD. Gejalanya bisa berupa kesulitan mengatur waktu, sering menunda pekerjaan, merasa mudah terdistraksi, tidak menyelesaikan tugas, hingga perasaan kewalahan karena banyak pikiran berjalan sekaligus.
Di Indonesia, kesadaran terhadap ADHD pada dewasa masih tergolong rendah. Banyak orang tidak menyadari bahwa gejala seperti “sulit fokus” atau “cepat bosan” bisa jadi bagian dari kondisi klinis yang nyata, bukan sekadar kurang disiplin. Studi dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2021 menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang melaporkan gejala mirip ADHD namun belum pernah menjalani pemeriksaan psikologis lebih lanjut.
Meski demikian, penting untuk membedakan antara ADHD dan kelelahan mental biasa. Dunia kerja modern yang penuh tekanan, multitasking berlebihan, dan ekspektasi tinggi terhadap produktivitas juga dapat menimbulkan gejala yang menyerupai ADHD. Oleh karena itu, diagnosis tidak bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan asesmen psikologis menyeluruh oleh tenaga profesional, termasuk wawancara klinis, observasi, dan kadang pengisian kuesioner spesifik.
Baca Juga: Pentingnya Menjaga Mental Health pada Remaja
Jika benar ADHD terdiagnosis, pengelolaannya bisa meliputi terapi perilaku kognitif, pelatihan manajemen waktu, hingga obat-obatan tertentu bila dibutuhkan. Dengan dukungan yang tepat, individu dengan ADHD tetap bisa produktif, kreatif, dan berprestasi.
ADHD bukan tanda malas atau tidak serius. Ia adalah kondisi neurologis yang nyata, namun dapat dikelola. Bila anda merasa mengalami kesulitan fokus yang menetap dan mengganggu, tidak ada salahnya berkonsultasi pada profesional. Mungkin bukan ADHD, namun mengenali diri sendiri adalah langkah awal untuk memahami dan mengatasi tantangan hidup.
Mengelola ADHD di tempat kerja membutuhkan strategi yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Beberapa orang merasa terbantu dengan membuat to-do list harian, menggunakan pengingat digital, atau membagi tugas besar menjadi langkah-langkah kecil. Lingkungan kerja yang memberi ruang fleksibilitas dan pemahaman juga sangat berpengaruh. Dalam beberapa kasus, keterbukaan kepada atasan atau rekan kerja terpercaya mengenai kondisi ADHD dapat membantu menciptakan dukungan yang lebih baik.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) menjadi pendekatan yang cukup efektif. CBT membantu individu mengenali pola pikir yang menghambat, sekaligus melatih keterampilan organisasi dan regulasi emosi. Selain itu, beberapa pekerja dengan ADHD merasa terbantu dengan penggunaan teknik mindfulness, meditasi singkat, atau istirahat terstruktur selama bekerja.
Baca Juga: Peranan Mental Health bagi Remaja
Namun, tantangan terbesar kadang bukan datang dari dalam diri, melainkan dari luar yakni stigma sosial. Banyak orang masih menganggap ADHD sebagai “alasan malas” atau “kurang fokus karena main ponsel terus”, alih-alih memahami bahwa ini adalah kondisi neurobiologis. Akibatnya, individu dengan ADHD dewasa sering merasa malu, takut dicap negatif, atau bahkan enggan mencari bantuan profesional.
Menghapus stigma butuh edukasi yang luas. Masyarakat perlu tahu bahwa ADHD bukan sekadar “tidak bisa diam”, tetapi bisa memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berfungsi. Dengan dukungan yang tepat dan lingkungan yang inklusif, mereka yang hidup dengan ADHD bisa tetap berkembang, bekerja, dan berkontribusi secara optimal.
Penulis: Angelina Aryani Putri
Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Katolik Musi Charitas
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News