Aku dan Ahmad Si Penjual Risol

Sore hari yang cukup lelah bagiku, setelah seharian bekerja, kulajukan sepeda motorku dengan perlahan sambil memandangi jalan. Sampai di saat mataku berhenti pada sesosok anak laki-laki yang berjalan santai memakai baju berwarna putih merah. Yaa.. seperti baju seragam anak sekolah dasar. Hal yang menarik saat melihat anak itu. Dia membawa sesuatu yang ada di atas kepalanya kemudian dengan lantang dia berteriak “risooolll… risoolll.. risoollnyaa bu..”
Dengan rasa penasaran kuhampiri anak itu, kemudian kutanya dan percakapan pun terjadi
“Hei dik, apa yang kamu jual?”
“Risol kak, mau? Murah kok cuma seribu,” jawab anak itu dengan senyuman.
“Boleh, beli lima ya.. kamu baru pulang sekolah ya? Kelas berapa?” tanyaku kembali
“Siaapp!!! bungkus ya? iya kak baru pulang aku kelas 4 SD kak,” jawab anak itu yang sibuk menghitung risol.
“Siapa nama mu?”
“Nama saya Ahmad kak! Nih kak risolnya, makasih yaa…,” jawab anak itu.
“Iya” jawabku singkat sambil tersenyum.

Lalu Ahmad kembali jalan dan berteriak menjajakan risol dagangannya. Saat aku kembali untuk menyalakan motor, Ahmad masih terlihat oleh ku sedang berjalan akan tetapi ada beberapa sebayanya menghampirinya dan memanggilnya,“Ahmad risolll… Ahmad risolll.. Ahmad risolll.. selesai dagang kitaa main yaa” dan Ahmad menjawab, “iyaaa.. tungguin aku, selesainya dagang kita main.”

Kembali kulajukan sepeda motorku, dan saat itulah Ahmad seketika menjadi satu hal yang ada di pikiranku, bagaimana bisa anak sekecil Ahmad sudah berdagang merelakan waktu mainnya untuk mencari uang. Aku jadi lebih penasaran, motivasi apa yang menjadikan dia mau dengan ikhlas dan sepenuh hati berjualan tanpa ada rasa malu dan sifat manja yang biasa dimiliki oleh anak sebayanya. Ahmad lebih terlihat dewasa dengan umur yang masih sangat belia. Dia mau bekerja keras dibandingkan dengan anak yang merengek meminta mainan kepada orang tuanya. Bicara orang tua, satu pertanyaan yang timbul dari pikiranku, bagaimana dengan orang tua Ahmad? Apakah orang tuanya yang menyuruh dia untuk berdagang? Apa pekerjaan orangtuanya sehingga dia harus berjualan? Sstttt…. tiba tiba saja aku spontan menginjak rem, pikiranku buyar karena ternyata tanpa terasa aku telah sampai tepat di depan Wisma, yaa… tempat di mana aku bekerja dan tinggal di sini.

***
Seminggu kemudian…
Aku adalah seorang marketing di sebuah perusahaan perbankan, di mana target marketku adalah ibu rumah tangga menengah ke bawah yang biasa buka warung-warung kecil di perkampungan. Sore itu, aku ada jadwal untuk survei di salah satu nasabah yaitu Ibu Sinda. Dia salah satu nasabah favoritku, karena ia selalu gigih mengayuh sepeda untuk berusaha hadir tepat waktu pada saat waktu pembayaran angsuran telah tiba. Iya, jadi salah satu job desk saya adalah sebagai collection eiitss…!!! Jangan salah paham dulu ya. Saya bukan debtcollector ataupun bangke (bank keliling hohoho…), karena program berbasis kemitraan, jadi saya juga ikut terjun langsung ke lapangan berkumpul dengan seluruh ibu ibu wiraswasta kecil di desa.

Lanjut dengan ibu Sinda, saat survei saya berkunjung di kediaman beliau. Dia tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, dengan kondisi lantai yang tidak beralaskan apapun. Jadi, rumahnya masih tanah. Saya masuk ke dalam rumahnya dengan tetap menggunakan sepatu. Saya pandangi di sekeliling rumahnya. Terdapat sebuah jendela dengan gorden berwarna putih kusam, yang melayang-layang tertiup angin, karena daun jendelanya tidak ada. Mungkin sudah pecah. Bagian belakang atap rumahnya pun hampir mau roboh karena plafon-nya sudah miring. Mungkin tinggal tunggu waktu saja akan …

“Mbak.. mbak.. mari duduk, jangan berdiri saja,” Sapa si ibu sambil memalingkan penglihatanku.
“Iya bu..,” segera ku duduk di sebuah bale lebar bersama banyak adonan kue.
“Maaf mba duduk seadanya, ini saya juga lagi masak jadi berantakan,” kata si ibu.
“Saya nggak punya kursi yang bagus cuma sekedar bale ini yang bisa dipakai duduk,” lanjut si ibu
“Nggak apa-apa bu, saya kan mau ketemu ibunya, bukan kursinya hehehe..,” candaku terhadap si ibu.

Percakapan kami terus berlanjut sesuai kebutuhan lembar survei yang harus ku isi dengan data si ibu. Tiba-tiba ada suara langkah kaki mendekati. Nampaknya dari depan pintu dan kemudian,
“Assalamulaiakum…,” salam dari sesosok anak kecil.
“Waalaikumsalam…,” jawab ku dan si Ibu sinda bersamaan diraihnya tangan si ibu Sinda lalu dicium olehnya sebagai tanda hormat kepada sang ibu.
“Kenalkan, ini anak ketiga saya,” kata si ibu.
“Coba beri salam sama si mbaknya, lalu taruh baskomnya di dapur, dan lekas mandi biar tidak telat berangkat ngajinya,” perintah si ibu kepada anaknya.
“Hei.. adik kecil,” sapaku, lalu dia meraih tangan ku lalu menciumnya.
“Nama kamu siapa? Habis dari mana kok bawa baskom?” lanjutku, sekilas pikiranku teringat akan wajah anak yang kutemui minggu lalu.
“Nama saya Ahmad mbak, saya baru selesai dagang mba, jualan risol punya ibu.. nih! habis! tinggal baskomnya aja deh,” senyum lelah Ahmad tersamar lalu berjalan menuju dapur mungkin dia lupa akan wajahku.
“Owh, jadi ini beneran Ahmad yang saya temui minggu lalu, ternyata anaknya ibu ya.. Ngga sangka bisa ketemu lagi dengan si anak rajin ini,” jawabku kaget sambil tersenyum.
“Alhamdulillah mbak, dia nggak malu untuk berjualan,” jawab si ibu.
“Iyaa.. yaa.. bu, biasanya kan suka ngga mau.. itu ibu yang nyuruh ahmad jualan?” tanyaku penasaran.
“Ngga mbak sama sekali ngga pernah! Saya juga kasian melihat Ahmad. Harusnya dia bermain bersama teman-temannya tapi itu kemauan dia sendiri, bahkan kalo saya tidak buat dagangan dia malah menangis karena tidak bisa berjualan,” jawab kembali si ibu lagi.
“ Kok gitu? Memangnya kenapa?” tanya ku tambah penasaran.
“Jadi setiap berjualan, saya memberi dia upah enam ribu rupiah, lalu kemudian dia tabungkan mbak. Kadang dari hasil tabungannya dia bisa membeli sepatu baru dan baju baru, jika kenaikan sekolah tiba, Ahmad tidak pernah meminta mainan atau apapun kalo tidak ada yaa dia tidak memaksa. Memang selalu saya ajarkan, jika menginginkan sesuatu harus usaha terlebih dahulu, biar dia bisa lebih menghargai sesuatu yang dia miliki” cerita si ibu.
“Luar biasa yaa.. ibu si Ahmad, semoga dia bisa menjadi anak yang berguna bagi negara ya bu,” jawabku sambil tersenyum bangga.
“Amiin…,” jawab si ibu singkat.

Kadang kita kurang menghargai hal-hal kecil yang kita miliki, dan mendustakan nikmat Allah yang luar biasa diberikan kepada kita. Saya belajar dari Ahmad. Seorang anak kecil yang mengerti akan kerja keras dan kesabaran dalam mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, tanpa harus mengeluh.

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI