Mahasiswa yang tegabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemerhati Pangan Indonesia (AMPPI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana, Jakarta. Mereka menuntut Presiden Joko Widodo mencopot Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Jumat (4/5).
Koordinator aksi, Fizi saat orasi di depan mengatakan bahwa memasuki empat tahun kepemimpinan Presiden Jokowi-JK merupakan ajang untuk mengevaluasi, menagih, mendesak, serta menuntut janji-janji pemerintah yang tertuang dalam visi misi serta cita-cita dan tujuan negara itu sendiri. Berbagai survei menunjukkan kepuasan terhadap kinerja, namun aneh bin ajaib nyatanya hal itu tidak sesuai realita, rakyat masih belum sejahtera justru menjurus pada kesengsaraan.
Menurutnya, Presiden tidak efektif mengelola negara karena kabinet tidak solid, kepentingan transaksional oligarkis lebih terlihat, bahkan nasionalisme meredup terbukti dengan dipertahankannya seseorang dengan indikasi dwi-kewarganegaraan di dalam kementerian. Khususnya hari ini di dalam kebijakn Menteri Perdagangan. Keberpihakan pemerintahan kepada asing seakan tak terbendung. Kemandirian ekonomi yang dicanangkan dalam Nawacita hancur dengan afiliasi yang nampak selama lima tahun ini.
Menjelang puasa harga bahan pokok semakin mahal, kondisi demikian membuat masyarakat resah dan semakin menambah citra buruk pemerintah di mata masyarakat. Mahalnya bahan pokok adalah salah satu bukti kegagalan pemerintah dalam mengamankan ketersediaan pangan menjelang bulan Ramadhan. Maka dari itu kami mendesak Presiden Joko Widodo segera mengamankan pasokan pangan nasional.” Tegasnya.
Ia juga mendesak Presiden Joko Widodo mencopot Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita karena tidak pro rakyat. “Mendesak Enggartiasto Lukita untuk segera mundur dari jabatannya sekarang juga.” Tambahnya.
Fizi menambahkan bahwa pemerintah tidak memihak kepada rakyat. Ini sangat jelas terlihat dari kebijakan instan yang inkonstitusional, yaitu pengampunan pajak. Bahkan hari ini terjadi Defisitnya anggaran karena kesalahan pengelolaan serta kecanduannya negara pada pambangunan direspon dengan kebijakan kolonialisme, dengan mengampuni pajak kepada orang berduit dan merampas pajak kepada rakyat pribumi. Walaupun periode pertama harta yang terkumpul sudah 95 T dari target 120 T, namun indicator keberhasilan bukanlah soal nominal.
“Mengapa demikian? Kalau kita kembali ke cara berpikir yang benar, semakin banyak harta yang dilaporkan dan semakin banyak uang tebusan yang dibayarkan, berarti semakin banyak jumlah pajak yang selama ini dikemplang. Dan hal ini juga berarti pemerintah benar-benar telah gagal menegakan peraturan perundang-undangan.” pungkasnya.