Mahasiswa kerap disebut sebagai agen perubahan. Di masa lalu, suara mereka mengguncang rezim otoriter, membawa gelombang perubahan besar dalam sejarah bangsa. Namun kini, gambaran itu seolah mulai memudar.
Banyak mahasiswa masa kini yang lebih sibuk mengejar karir pribadi daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat. Apakah idealisme mahasiswa kini telah digantikan oleh pragmatisme yang hanya berorientasi pada gelar dan gaji?
Pada era 1960-an hingga 1998, mahasiswa dikenal sebagai aktor utama dalam berbagai gerakan perubahan sosial dan politik. Mereka turun ke jalan, berteriak lantang menuntut keadilan dan mengorbankan kenyamanan pribadi demi memperjuangkan hak-hak rakyat.
Kampus menjadi pusat intelektual yang dipenuhi diskusi kritis, membaca buku, dan kegiatan organisasi yang bertujuan menggugah kesadaran sosial. Namun, pemandangan itu kini jarang kita temui. Kampus lebih sering dihiasi oleh mahasiswa yang tenggelam dalam rutinitas kuliah, tugas, dan kegiatan pribadi.
Diskusi intelektual dan keterlibatan dalam organisasi sosial seolah kalah pamor dibandingkan dengan kegiatan yang berorientasi pada peningkatan nilai akademik dan persiapan karir. Kuliah kini lebih dipandang sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, bukan lagi sebagai arena pengembangan pemikiran kritis dan kontribusi sosial.
Baca Juga: Adaptasi Mahasiswa Baru terhadap Dunia Perkuliahan di Tengah Problem yang Sedang Dihadapi
Fenomena mahasiswa yang apatis terhadap isu sosial dapat dilihat dari semakin sedikitnya mahasiswa yang terlibat dalam organisasi mahasiswa, diskusi politik, atau aksi sosial. Mahasiswa lebih memilih fokus pada pencapaian pribadi, seperti mendapatkan IPK tinggi, magang di perusahaan besar, atau membangun portofolio untuk menarik perhatian HRD perusahaan ternama.
Memang, tidak ada yang salah dengan mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik. Namun, jika orientasi ini mengorbankan kesadaran sosial dan kepedulian terhadap nasib bangsa, apakah itu sejalan dengan nilai yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa?
Apatisme mahasiswa saat ini mencerminkan perubahan nilai di mana kesuksesan pribadi lebih diprioritaskan dibandingkan perjuangan kolektif untuk masyarakat yang lebih adil. Kebanyakan mahasiswa saat ini berada dalam zona nyaman. Mereka merasa cukup dengan mengerjakan tugas, mengikuti perkuliahan, dan mengejar kesempatan magang di perusahaan bergengsi.
Aktivitas kampus yang dulunya penuh dengan diskusi kritis dan aksi sosial kini seolah menjadi sepi. Banyak mahasiswa yang menganggap organisasi dan diskusi isu sosial sebagai kegiatan yang “tidak produktif” atau bahkan “buang-buang waktu” karena tidak memberikan nilai tambah langsung bagi karir mereka.
Padahal, organisasi mahasiswa dan diskusi isu sosial adalah tempat terbaik untuk mengasah pemikiran kritis dan memahami berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial mengajarkan mahasiswa untuk melihat dunia di luar kampus, memahami realitas yang dialami rakyat kecil, dan berempati terhadap persoalan yang mereka hadapi.
Kesimpulan
Apatisme mahasiswa terhadap isu sosial adalah masalah yang nyata dan perlu ditangani. Mahasiswa bukan hanya pencari gelar atau pemburu pekerjaan bergaji tinggi; mereka adalah *masa depan bangsa* yang memiliki peran besar dalam menciptakan perubahan.
Menghidupkan kembali semangat perjuangan dan kepedulian sosial di kalangan mahasiswa adalah langkah penting untuk memastikan bahwa generasi penerus kita tidak hanya cerdas dalam hal akademik, tetapi juga memiliki kepedulian dan tanggung jawab sosial yang tinggi.
Kuliah bukan hanya tentang membangun karir pribadi, tetapi juga tentang membangun kesadaran untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Hanya dengan demikian, mahasiswa dapat benar- benar disebut sebagai agen perubahan yang sesungguhnya.
Penulis: Muhamad Rifki Maulana
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komputer, Universitas Pakuan
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News