Dalam era digital yang semakin maju, istilah “shitposting” telah menjadi istilah utama dalam diskusi di internet. Shitposting, yang pada awalnya hanya dianggap sebagai tindakan menjengkelkan di dunia maya, sekarang menjadi perhatian yang lebih besar sebagai salah satu cara unik untuk menyampaikan pendapat atau suara dalam lingkungan yang semakin kompleks.
Bagi sebagian orang, shitposting mungkin tampak seperti tindakan yang sia-sia dan tidak berguna. Namun, ada yang menegaskan bahwa, di dunia digital yang berkembang pesat, ini merupakan bentuk yang sah dari kebebasan berbicara.
Shitposting adalah kebiasaan berbagi konten di media sosial atau forum online yang seringkali provokatif, lucu, atau bahkan membingungkan dengan tujuan menghibur atau mengganggu orang lain. Meme, gambar-gambar lucu, atau tulisan yang cenderung bercanda seringkali disertai dengan tindakan ini.
Misalnya, seseorang mungkin membuat teori konspirasi yang jelas-jelas tidak masuk akal atau menggunakan meme politik untuk mengkritik pemerintah.
Namun, bagaimana jika shitposting ini ada di kehidupan kampus? Hampir semua kampus pendidikan tinggi baik itu institut maupun universitas; negeri maupun swasta setidaknya mimiliki satu fanspage shitposting dari berbagai kampus yang ada di Indonesia seperti User Interface Shitposting, Binus Shitposting, serta Unnes Sekarposting.
Kebanyakan dari konten mereka adalah kehidupan sehari-hari mahasiswa yang berkuliah di situ. Mereka juga sering mengunggah foto atau tulisan yang dianggap absurd atau ironi yang ditemukan di kampus. Fanspage kampus untuk shitposting menghasilkan berbagai reaksi.
Banyak mahasiswa menyukai kontennya, tetapi ada juga yang merespon negatif, sampai-sampai beberapa marah dan mengadukan ke pihak kampus terkait.
Meskipun tujuan awal akun shitposting kampus ini hanyalah untuk guyonan atau lucu-lucuan, ada kemungkinan bahwa akun ini juga dapat merugikan kampusnya sendiri.
Ketika sebuah universitas berusaha membangun reputasi dan citra, beberapa mahasiswa tertentu menggunakan fanspage shitposting yang tidak bertanggung jawab untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak layak diketahui publik.
Salah satu contohnya adalah ketika akun-akun mengunggah foto kerusakan infrastruktur kampus dan kemudian dibuat guyonan ataupun meme. Mungkin tujuannya adalah untuk mengingatkan pejabat kampus untuk memperbaikinya segera, tetapi itu tidaklah etis jika diketahui dan diumbar ke publik dan diketahui khalayak umum.
Contoh lain termasuk aksi mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang menentang kebijakan kampus dan bahkan UKT yang memberatkan mahasiswa baru selama pandemi kemarin.
Fanspage UNNES Shitposting, yang merupakan salah satu fanpage shitposting kampus paling aktif di Semarang, aktif mendukung tindakan tersebut dan menentang kebijakan universitas. Fanspage tersebut sangat berani dengan mem-posting meme-meme yang menyindir kebijakan yang dianggap memberatkan calon mahasiswanya.
Sampai saat ini, kampus sepertinya belum memberikan tanggapan yang serius tentang masalah fanspage shitposting ini. Kita tidak boleh bermain-main dengan api sembarangan. Jika kita salah, kampus bisa menciduk kita atau bahkan mempidanakan kita.
Tidak menutup kemungkinan bahwa fenomena ini akan dianggap sebagai masalah yang signifikan. Salah satu contohnya adalah peraturan Universitas Negeri Semarang yang mewajibkan pendataan akun media sosial mahasiswa dan karyawan untuk mencegah radikalisme di kampus.
Kebijakan ini juga dapat digunakan sebagai kontrol agar mahasiswanya tidak bertindak sembarangan di akun media sosial mereka.
Sudah jelas bahwa kita sebagai mahasiswa harus lebih berhati-hati dalam memilah dan memilih konten yang akan kita posting atau unggah ke media sosial yang dapat diakses oleh orang lain. Pemilik akun fanspage shitposting juga harus memperhatikan konten yang akan di-posting.
Itu sah-sah saja untuk membuat jokes tentang rutinitas mahasiswa di kampus atau yang berkaitan dengannya. Namun, jangan sampai ada pihak yang dirugikan. Baik individu, komunitas, atau kampusnya sendiri. Kita dapat menggunakan apa yang kita katakan atau sampaikan di media sosial untuk melukai diri kita sendiri.
Penulis: Rafiqi Arielda Iskandar
Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News