Bahaya Doktrin Woke Agenda LGBTQ+ terhadap Anak-Anak

LGBTQ+.
Penolakan Orang Tua pada Doktrin Woke Agenda LGBTQ+.

Sejak tahun 1969, bulan Juni dinobatkan sebagai Pride Month, bulannya komunitas LGBTQ+. Pride Month merupakan bulan bagi komunitas LGBTQ+ untuk mengadakan kampanye secara besar-besaran di berbagai negara. Tujuannya untuk menyuarakan kebebasan berekspresi dan kebanggaan mereka untuk “coming out” alias menyatakan bahwa mereka Gay, Lesbi, Transgender, dan Queer.

Saya pribadi tidak ingin menghakimi mereka tetapi bukan berarti saya memaklumi apa yang mereka lakukan, bisa dikatakan saya berada di antara kedua kubu tersebut. Meski terlihat tidak punya pendirian, tetapi saya hanya ingin memahami kedua kubu tersebut dengan baik.

Pride Month tahun ini banyak diwarnai segelintir kericuhan. Mengapa? Karena woke agenda “kampanye” akhir-akhir ini yang digerakkan oleh sebagian komunitas LGBTQ+ menargetkan anak-anak sebagai objek kampanye.

Bacaan Lainnya
DONASI

Mereka ingin memperkenalkan LGBTQ+ kepada anak-anak yang masih di bawah umur, salah satunya adalah memperkenalkan acara Drag Queen kepada anak-anak sekolah dasar.

Hal itulah yang membuat para orang tua dan aktivis LGBTQ+ lainnya geram serta mengecam keras kampanye itu. Mereka tidak sudi jika anak-anak kecil yang masih belum bisa berpikir dengan jernih diberikan hal-hal yang belum bisa mereka pikirkan baik-buruknya.

Para orang tua dan aktivis LGBTQ+ lainnya juga melakukan protes balik terhadap kampanye itu dengan slogan “LEAVE OUR KIDS ALONE!” dan hashtag di berbagai platform media sosial yaitu “#GaysAgainstGroomers”.

Karena mereka merasa bahwa sebagian komunitas LGBTQ+ merupakan para pedofilia yang sengaja menargetkan anak-anak di bawah umur sebagai objek kepuasan seksual mereka. Sangat disayangkan, sudah ada salah satu contoh dari kampanye menjijikkan itu.

Mengutip dari akun X (Twitter) @libsoftiktok, di Amerika, ada anak laki-laki berumur 6 tahun –bernama Esa– yang sudah menjadi perfomer Drag Queen. Anak itu sudah mengetahui hal-hal berbau LGBTQ+ sejak ia masih berumur 4 tahun.

Lebih mirisnya lagi, kedua orang tuanya adalah orang-orang yang memperkenalkan dunia entertainmen berbau dewasa tersebut kepadanya. Ia dirias sebagai perempuan dan diajari untuk tampil secara provokatif di depan banyak orang dewasa yang kemudian memberikannya tip (uang).

Kejadian tersebut membuat banyak netizen merasa jijik dan miris karena mereka berpikir bahwa anak kecil tidak seharusnya bertingkah laku seperti orang dewasa dan banyak dari netizen juga beranggapan bahwa hal tersebut merupakan kekerasan pada anak (child abuse) dan semua orang yang bertanggung jawab karena telah menjadikan anak tersebut sebagai Drag Queen harus dipenjara, termasuk kedua orang tuanya.

Fenomena lainnya yaitu ada anak perempuan berusia 7 tahun yang mengalami krisis identitas yang disebabkan oleh perkataan seseorang mengenai “celana hanya digunakan oleh laki-laki”, kemudian ia merasa harus mengubah gendernya menjadi laki-laki karena ia sangat suka memakai celana.

Kedua orang tuanya terkejut dengan hal itu. Mereka tidak menyangka putri kecil mereka memiliki pemikiran seperti itu.

Pada akhirnya mereka terpaksa harus melarang putri mereka menggunakan celana dan memaksanya memakai rok selama ia masih memiliki pemikiran ingin mengubah gendernya.

Tentunya anak perempuan itu merasa sedih dan orang tuannya pun juga merasa sedih harus melarang hal yang disukai putri mereka tetapi mereka tidak punya pilihan lain yang lebih baik.

Dari kedua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kampanye LGBTQ+ yang merujuk pada anak-anak akan membuat anak-anak sangat mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.

Anak-anak yang masih belum bisa berpikir dengan matang dan sangat mudah untuk mengubah pilihan mereka dengan cepat, seharusnya tidak dijadikan sebagai objek kampanya LGBTQ+.

Dan jika para orang tua memaksakan kehendak mereka untuk mengubah gender anak-anak mereka sedari dini, di masa depan, anak-anak tersebut akan merasa sangat menyesal dan bingung terhadap gender mereka sendiri.

Jika para orang dewasa ingin anak-anak mengetahui adanya komunitas LGBTQ+, cukup dengan memberitahu mereka bahwa komunitas LGBTQ+ itu ada di dunia ini, tidak dengan menjadikan mereka sebagai objek kampanye atau memaksa mereka menjadi bagian dari komunitas LGBTQ+ sedari dini.

Bila saat dewasa nanti mereka menjadi bagian dari komunitas LGBTQ+, hal itu merupakan pilihan mereka sendiri yang sudah mereka pikirkan secara matang-matang apa saja konsekuensinya. Tidak ada anak yang terlahir di tubuh yang salah.

NO CHILD IS TRANS! DRAG IS NOT FOR KIDS! LEAVE THE KIDS ALONE!

Penulis: Azzahra Julianty Safitri 
Mahasiswa Ilmu Perpustakaan dan Sains Informasi Universitas YARSI

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI