PHK Menjelang Lebaran
Miris, di tengah sukacita Hari Raya Idul Fitri 1446 H ada jeritan tenaga kerja yang meluap menjadi korban PHK.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan terhadap tenaga kerja karena suatu alasan tertentu sesuai dengan ketentuan UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Berbagai media sedang hangat-hangatnya membicarakan tentang nasib pekerja PT Sritex Group yang mengalami PHK karena perusahaannya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024 dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Data Kemnaker menunjukkan bahwa ada 11.025 pekerja terkena PHK bertahap sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025.
Banyaknya pekerja kena PHK mengguncang stabilitas ekonomi di masyarakat, terlebih tempo PHK dilakukan saat mendekati lebaran.
Sukacita suasana lebaran menjadi pupus setelah para pekerja menjadi korban dari kepailitan perusahaan yang mengakibatkan PHK massal. Harapan para pekerja tentang upah kerja dan THR menjelang lebaran menjadi sirna karena PHK.
Baca Juga: PHK Massal di Indonesia: Apakah Pemerintah Sudah Melakukan yang Terbaik?
Hak THR bagi Pekerja/Buruh Korban PHK Perusahaan Pailit
Berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja sudah seharusnya memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang dilaksanakan oleh perusahaan.
Tujuan dari pemberian perlindungan adalah untuk menjamin adanya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing pihak sehingga mampu membuat suasana harmonis dalam hubungan.
Salah satu fungsi dari perlindungan ini adalah memberikan jaminan hak-hak yang seharusnya didapatkan pekerja yang menjadi korban PHK oleh perusahaan yang disebabkan oleh hal-hal sesuai ketentuan Pasal 154A UU Cipta Kerja Tahun 2023.
Sebuah contoh nyata yang sedang ramai di berbagai media adalah PHK 11.025 yang dilakukan oleh PT Sritex Group karena mengalami kepailitan.
Gelombang banjir PHK ini menimbulkan tanya bagi para pekerja, terlebih gelombang besar PHK terakhir terjadi pada 26 Februari 2025 yang menjelang memasuki bulan Ramadhan 1446 H pada 1 Maret 2025.
Pertanyaan-pertanyaan pekerja adalah tentang “Apakah pekerja dapat menerima hak-hak, seperti pesangon dan THR?”
Baca Juga: Bagaimana Nasib Karyawan yang Di-PHK?
Dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja memuat jaminan hak-hak pekerja ketika terkena PHK, pasal tersebut berbunyi “Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Setelah PT Sritex Group dinyatakan pailit, pihak tim kurator menegaskan bahwa Langkah selanjutnya adalah pemenuhan hak-hak pekerja terkait dengan pesangon, tunjangan hari raya (THR), manfaat jaminan hari tua (JHT), jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) setelah pembayaran upah yang telah diselesaikan untuk para pekerja (Djailani, M, F., 2025).
Mendekati Hari Raya Idul Fitri, para pekerja dapat dipastikan mengharap-harapkan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk membantu para pekerja merayakan Hari Raya Keagamaan.
Meskipun perusahaan diputuskan pailit, tidak serta-merta langsung memutus hubungan hak dan kewajiban yang harus ditunjukkan kepada para pekerja/buruh.
Ada hak-hak pekerja yang harus dipenuhi terlebih dahulu yang mana merupakan kewajiban perusahaan, seperti memberikan pesangon ataupun THR, karena mendekati hari raya kepada pekerja korban PHK.
Dasar hukum yang mengatur salah satunya adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 adalah peraturan tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Baca Juga: Tantangan dan Peluang SDM dalam Membangun Budaya Kerja Berbasis Teknologi
Pada Pasal 7 ayat (1) “Pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.”
Ini merupakan salah satu hak yang harus dijaminkan kepada pekerja oleh perusahaan dan kewajiban perusahaan berdasar pada Pasal 1 “Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan.”
Perihal yang seringkali menjadi masalah adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi hak-hak pekerja yang terkena PHK karena perusahaan pailit.
Pihak tim kurator PT Sritex Group menjelaskan bahwa pemberian hak pekerja berupa pesangon dan THR diberikan setelah aset perusahaan terjual.
Fungsi kurator adalah menjalankan tugas yang berkaitan dengan penyelesaian kepailitan, terutama terkait aspek pengelolaan dan pembagian aset-aset debitur kepada kreditur.
Dalam hal ini kurator wajib segera menunaikan kewajibannya karena menurut ketentuan maksimal pemenuhan hak THR maksimal adalah H-7 sebelum lebaran.
Evaluasi Kebijakan
Mantan pekerja tetap memiliki hak THR meskipun perusahaan pailit juga ditegaskan oleh serikat pekerja.
Menindaklanjuti tuntutan hak mantan pekerja, Menteri Ketenagakerjaan mengklarifikasi bahwa sebagian besar hak Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan secara signifikan telah terselesaikan.
Tidak selesai pada pelunasan hak JHT dan JKP, pihak kurator harus segera menyelesaikan hak-hak yang lain, utamanya THR karena lebaran tinggal hitungan hari.
Meskipun yang dialami oleh pekerja adalah PHK karena kepailitan perusahaan bukan PHK biasa, tuntutan THR bagi mantan karyawan haruslah terpenuhi sebagai anggapan penghargaan (reward) terhadap para pekerja/buruh terakhir yang dapat diberikan oleh perusahaan.
Dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04.00/III/2025 juga berisikan tentang kewajiban pemberian THR Keagamaan yang harus dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.
Dengan ini tim kurator yang bertugas membereskan harta pailit harus memenuhi tuntutan atas pemenuhan hak-hak pekerja, yang salah satu tuntutan para mantan pekerja adalah pemenuhan hak THR utamanya dan pesangon untuk merayakan lebaran tahun 2025.
Baca Juga: Perbandingan Hak Pekerja/ Buruh pada Undang-Undang Cipta Kerja dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan
Menegaskan bahwa pemenuhan hak-hak pekerja ketika perusahaan diputuskan mengalami kepailitan perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Setelah perusahaan mengalami pailit tidak secara langsung memutus hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh pekerja/buruh yang menjadi korban PHK.
Menindaklanjuti putusan pailit yang diajukan oleh perusahaan dan setelahnya diangkat kurator sudah seharusnya ada regulasi yang mengatur tentang, sosialisasi tentang PHK, sosialisasi tentang hak yang diterima setelah terkena PHK, dan kepastian pemenuhan hak-hak pekerja yang bersifat segera.
Opsi lain adalah sebelum perusahaan mengajukan pailit ada syarat yang harus dipenuhi untuk membereskan hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pekerja sesuai dengan perjanjian kerja dan hukum ketenagakerjaan.
Sehingga, dengan ini pekerja/buruh yang terkena PHK memiliki kepastian terhadap hak-hak yang diterima dan ada sanksi bila pemegang wewenang tidak segera memenuhi hak-hak pekerja dalam jangka waktu tertentu setelah selesai membereskan harta dan aset perusahaan, seperti ketika mendekati lebaran setidaknya hak THR lebih dahulu diutamakan.
Penulis: Ganggas Arupadhatu
Mahasiswa Prodi Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Yogyakarta
Referensi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 adalah peraturan tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04.00/III/2025 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News