“Bayar parkir pakai QRIS ya, Bang!”
Kalimat ini mulai akrab terdengar di beberapa sudut Kota Mataram. Bukan sekadar gaya hidup cashless, tapi ini adalah bagian dari revolusi kecil dalam pengelolaan keuangan daerah yang lebih besar dari sekadar uang koin atau lembaran ribuan. Ini tentang transparansi, akuntabilitas, dan masa depan pengelolaan retribusi parkir di era digital.
Sudah bukan rahasia lagi, retribusi parkir sering jadi “lubang hitam” dalam sistem keuangan daerah. Di mana uangnya? Siapa yang menyetorkan? Berapa yang bocor? Masalah juru parkir liar, setoran tak resmi, dan pencatatan manual membuat retribusi parkir menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang potensial tapi penuh kebocoran.
Di sinilah peran audit—tak hanya soal memeriksa laporan keuangan di atas meja, tapi juga menyentuh langsung titik-titik rawan penyimpangan di lapangan.
QRIS bukan hanya alat pembayaran, tapi juga bisa menjadi alat audit internal real-time. Melalui sistem Si Jukir (Sistem Informasi Juru Parkir), Pemkot Mataram kini bisa memantau titik parkir resmi, daftar jukir terverifikasi, hingga rekapitulasi transaksi per hari. Semua terekam digital. Tak ada lagi alasan “lupa setor” atau “uangnya kurang”. Data bicara lebih jujur dari siapa pun.
Dalam praktik audit internal, transparansi dan keterlacakan (traceability) adalah dua prinsip utama. Dengan QRIS, transaksi parkir bukan hanya bisa dilacak, tapi juga bisa langsung dikaitkan dengan lokasi dan jukir tertentu. Hal ini membuat sistem pengawasan jadi jauh lebih kuat dan lebih mudah dianalisis oleh auditor pemerintah.
Audit di era digital bukan hanya soal memeriksa laporan tahunan, tapi juga memantau transaksi harian. QRIS membuka pintu menuju tata kelola retribusi parkir yang transparan, akuntabel, dan minim kebocoran. Tinggal kemauan politik dan konsistensi kebijakan yang menentukan—apakah pintu itu benar-benar dibuka lebar, atau sekadar diketuk-ketuk saja.
Selama ini kita mengenal audit sebagai proses teknis yang dilakukan auditor di balik meja, membuka berkas, memeriksa angka, dan menyusun laporan. Tapi di era digital, audit tidak hanya soal memeriksa laporan audit bisa dimulai dari sistem yang kita sentuh setiap hari.
Di Kota Mataram, sistem pembayaran retribusi parkir sudah beralih ke digital menggunakan QRIS. Tapi pertanyaannya: bisakah sistem ini juga berfungsi sebagai media audit? Mari kita bahas melalui beberapa pertanyaan kunci berikut:
1. Apakah QRIS bisa menghasilkan bukti audit yang sah?
Ya, tentu saja. QRIS secara otomatis mencatat setiap transaksi secara digital dan real-time, termasuk waktu, lokasi, dan nominal transaksi. Ini berarti setiap pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat akan tersimpan dalam bentuk data digital yang bisa diverifikasi, bukan hanya dicatat di kwitansi manual yang rawan hilang atau dimanipulasi.
Dalam audit, ini disebut audit trail jejak transaksi yang valid dan terekam. Maka, sistem QRIS secara langsung menyediakan bukti transaksi yang dapat digunakan auditor untuk menilai kewajaran pendapatan retribusi parkir.
2. Bisakah sistem ini membantu auditor mendeteksi penyimpangan?
Sangat bisa. QRIS tidak hanya mencatat transaksi, tapi juga mengaitkannya dengan lokasi parkir dan juru parkir tertentu. Dengan menggunakan aplikasi pendukung seperti Si Jukir, auditor dapat melihat titik-titik parkir mana yang tidak menunjukkan transaksi meskipun secara visual ramai kendaraan.
Contohnya, jika satu titik parkir tercatat 100 kendaraan per hari, tapi hanya 5 transaksi QRIS, auditor bisa mencurigai bahwa: a) Ada transaksi tunai di luar sistem; b) Ada jukir yang belum disiplin; c) Ada sabotase atau manipulasi sistem. Semua itu bisa ditelusuri lebih lanjut. Inilah fungsi audit investigatif yang bisa dimulai dari sistem.
Baca Juga: Keberadaan Juru Parkir Liar di Tepian Kota Samarinda Membuat Masyarakat Resah
3. Apakah QRIS bisa menggantikan catatan manual dalam audit laporan keuangan?
Bukan sekadar menggantikan QRIS meningkatkan kualitas pencatatan. Data transaksi parkir yang masuk ke kas daerah melalui QRIS bisa langsung diekspor sebagai bukti kas masuk, dan dapat digunakan untuk merekonsiliasi data antara Dishub, BPKAD, dan Bank tempat pemerintah menyimpan pendapatan.
Ini membuat proses penyusunan dan audit laporan keuangan menjadi lebih akurat, karena auditor tidak lagi bergantung pada laporan manual yang bisa bias, tetapi langsung melihat data mentah dari sistem.
4. Apakah sistem QRIS bisa memperkuat pengendalian internal pemerintah?
Ya, dan inilah yang membuat QRIS punya nilai strategis dalam sistem audit. Menurut teori audit, sistem keuangan daerah harus memiliki unsur pengendalian internal yang kuat, yakni: pencatatan yang akurat, pemisahan tugas, dan pelaporan yang transparan.
Dengan QRIS: Penerimaan tercatat otomatis; Setoran dilakukan langsung ke kas daerah; Tidak perlu perantara yang bisa memanipulasi. Artinya, QRIS adalah bagian dari sistem pengendalian internal itu sendiri. Auditor tinggal menilai apakah sistem berjalan sebagaimana mestinya.
5. Jadi… apakah sistem pembayaran retribusi parkir bisa disebut sebagai media audit?
Jawabannya: bisa, jika dimanfaatkan dengan benar. QRIS bukan hanya alat bayar, tapi juga sumber data audit yang berharga. Dengan dukungan aplikasi seperti Si Jukir, sistem ini bisa dimanfaatkan oleh auditor sebagai alat untuk: Menelusuri transaksi (audit trail); Menilai kecukupan penerimaan daerah; Mendeteksi anomali atau fraud; Memverifikasi laporan pendapatan dalam LKPD.
Dengan kata lain, QRIS dan sistem sejenisnya bisa berperan sebagai media audit, yakni sebagai kanal atau sarana yang menyediakan data akuntabel bagi proses audit laporan keuangan.
Hasilnya? Lumayan Menjanjikan… Tapi Belum Maksimal
Menurut data yang dihimpun hingga akhir 2023, penggunaan QRIS berhasil mendorong peningkatan penerimaan retribusi parkir dari Rp3 miliar (2021) menjadi Rp8,7 miliar (2023). Namun target tahun 2024 yang dipatok sebesar Rp15,5 miliar ternyata hanya tercapai sekitar 60% saja. Artinya, masih ada pekerjaan rumah besar yang menunggu.
Beberapa kendala seperti keterbatasan pemahaman teknis dari jukir, gangguan sinyal, serta rendahnya literasi digital masyarakat menjadi tantangan serius. Selain itu, masih banyaknya jukir liar yang tidak masuk dalam sistem menyebabkan celah kebocoran tetap terbuka.
Di sinilah pentingnya pendekatan audit internal berbasis sistem digital, yang tak hanya sekadar memeriksa hasil, tapi juga proses.
Baca Juga: Tarif Parkir Malioboro Tak Masuk Akal
Dari Audit ke Aksi: Pemerintah Harus Turun ke Lapangan
Penggunaan teknologi seharusnya tidak membuat pemerintah duduk santai. Justru dengan data yang semakin transparan, audit internal harus dilakukan lebih aktif. Misalnya, membandingkan data transaksi QRIS dengan jumlah kendaraan yang parkir di titik tersebut. Atau menelusuri titik-titik yang menunjukkan anomali seperti penurunan mendadak transaksi. Jika ditemukan perbedaan, itulah awal mula sebuah investigasi audit.
Lebih dari itu, audit berbasis sistem seperti ini membuka peluang kolaborasi lintas sektor—Dishub, BPKAD, dan bahkan partisipasi publik melalui aplikasi. QRIS bukan sekadar alat bayar, tapi bisa menjadi alat kontrol sosial.
Kota Mataram Bisa Jadi Role Model Nasional
Kalau Kota Mataram berhasil menertibkan parkir liar, memaksimalkan penerimaan daerah, dan menjalankan audit internal secara digital, bukan tidak mungkin kota ini menjadi contoh nasional dalam tata kelola retribusi daerah. Tentu, ini hanya bisa tercapai bila teknologi dan pengawasan berjalan beriringan, bukan saling menunggu.
Penutup: Audit Tidak Lagi Dimulai dari Laporan, Tapi dari Sistem
Era digital mengubah cara kita mengelola keuangan daerah, dan juga mengubah cara kita melakukan audit. Di Kota Mataram, sistem pembayaran QRIS untuk retribusi parkir bukan hanya inovasi pelayanan publik, tapi juga langkah maju dalam pengawasan fiskal.
Audit kini bukan lagi soal mengoreksi laporan yang sudah jadi, tapi tentang menilai sistem yang membentuk laporan itu sejak awal. Dan dalam hal ini, QRIS adalah pionirnya.
Penulis: Adinda Melati
Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mataram
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News