Blunder Terpeleset Minyak: Kebijakan Pemerintah Menstabilkan Harga Minyak Goreng

Pangan
Ilustrasi: istockphoto

Masa pandemi yang berlangsung sejak 2020-2023 merupakan suatu era yang tidak akan terlupakan dalam waktu dekat. Dampak penyakit menular ini tidak hanya berakibat pada masalah kesehatan umum masyarakat, tetapi juga bercabang ke berbagai lingkup kehidupan lainnya.

Dampak-dampak yang terakibat dari masa pandemi ini juga bervariasi dan mengakibatkan banyak individual maupun koperasi harus mempertimbangkan kembali banyak aspek kehidupan atau tata kerja mereka. Salah satu sektor yang ikut tergonjang-ganjing akibat perubahan ini adalah sektor pangan nasional.

Kita semua tahu dan diingatkan sejak kecil bahwa negara Indonesia adalah negara yang kaya dengan segala penghasilan alamnya. Tetapi ironisnya, harga bahan pangan pokok yang tidak stabil telah lama menjadi kelemahan dan bagian dari permasalahan yang tidak pernah ditemukan solusi permanennya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Lalu di penghujung tahun 2019, datanglah virus Covid ke tanah Nusantara. Situasi Covid-19 yang pada saat ini begitu panas dan genting juga membuat di dunia komoditas sakit demam. Sebut saja ada: nikel, batubara, gas bumi, kacang kedelai, beras, dan tepung terigu di antara mereka.

Tapi yang membuat banyak orang takjub dan resah akibat ketidakpastiannya: minyak goreng. Karena sebelum Covid-19, siapa yang kepikiran situasi di mana Indonesia tidak bisa sarapan pisang goreng dan nyemil tempe sore harinya.

Dimulai dari harga komoditas Crude Palm Oil (CPO) yang melambung. Awal mula kenaikan harga disebabkan oleh harga CPO di pasar internasional yang melambung tinggi akibat kekhawatiran dari dampak perang Rusia-Ukraina.

Layaknya pedagang di mana-mana, eksportir dalam negeri terus mendorong penjualan CPO yang melakukan penjualan ke luar negeri demi mengambil keuntungan lebih. Sayangnya, inilah yang lalu mengakibatkan kelangkaan komoditas dasar pembuatan minyak goreng tersebut di pasar lokal.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan sekian banyaknya skema intervensi langsung maupun tidak langsung. Tetapi dalam penerapannya tidak mendapatkan hasil yang diinginkan pemerintah.

Rata-rata harga minyak goreng di Indonesia masih mahal, dan masyarakat yang mendapatkan manfaat dari kebijakan pemerintah terbilang minim.

Apa yang salah? Ternyata akibat dari kepanikan Indonesia dan stakeholders, terjadilah ketidakselarasan dalam mengambil kebijakan bersama. Aturan demi aturan lapangan dibuat, seperti intervensi harga buah segar, domestic market obligation, dan aturan penjualan CPO tiap perusahaan yang dipantau ketat.

Akan tetapi ini tanpa prosedur pelaksanaan yang jelas dan penyuluhan yang rata ke seluruh daerah penghasil sawit. Harga yang menolak untuk stabil mengakibat banyak pelaku pasar lokal, dan mancanegara kebingungan dan kehilangan arah pasar.

Bukannya harga semakin turun, tetapi kepanikan total ini membuat harga semakin naik karena para pelaku pasar harus mangamankan stok mereka untuk memenuhi kontrak masing-masing yang sudah ditekan lama sebelum kebijakan-kebijakan darurat pemerintah terbit.

Klimaks terjadi pada saat pemerintah membuat pelarangan ekspor total di April 2022. Persoalan kebijakan pelarangan ekspor CPO mengakibatkan banyak kalangan dibuat kecewa dan mempertanyakan kebijakan Pemerintah Indonesia, terutama pihak-pihak mancanegara yang pada umumnya mengacu pada isi kontrak yang jelas dan sudah menjadi kesepakatan bersama sebelumnya.

Beberapa minggu setelah pelarangan ini, beredar kabar kelangkaan minyak goreng di sejumlah negara mitra. Akibat banyaknya kegagalan terlaksanakannya kontrak ekspor impor yang sudah disetujui sebelumnya mengakibat kekacuan minyak goreng di mancanegara.

Ini sangat mencoreng nama dan reputasi bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mungkin saja akan diingat lama ke masa depan. 

Pemerintah Indonesia sebenarnya menunjukkan suatu itikad pemerintahan yang baik melalui program-program intervensi pangan yang dilakukannya.

Akan tetapi, gagal mengingat teori umum dasar ilmu ekonomi tentang pasokan dan permintaan, intervensi mendadak dan ekstrim terus-menerus mengakibatkan blunder yang di luar perkiraan.

Sebagai contoh, saat harga CPO yang saat pada puncak di pasar internasional, pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan pelarangan ekspor. Ini mengakibatkan para pelaku pasar menjadi kaget dan memaksa importer internasional mengamankan stok mereka saat itu juga.

Kepanikan ini memaksa importer internasional menjadi spekulatif atas kurangnya stok dari Indonesia di masa depan dan terus mendorong naiknya harga CPO internasional.

Demi menyelamatkan pihak konsumen lokal, pemerintah Indonesia harus “mengorbankan” petaninya. Harga buah sawit tiba-tiba anjlok dengan sangat cepatnya saat kebijakan larangan ekspor diumumkan. Banyak petani dan perkebunan pada waktu itu tidak dapat keuntungan bahkan merugi akibat kebijakan ini.

Para perusahaan banyak yang menolak untuk membeli buah akibat ketidakpastian harga jual maka memilih untuk “wait-and-see”. Banyak buah sawit yang pada waktu itu dibiarkan membusuk begitu saja, padahal saat bulan Mei-Juni adalah puncak panen buah sawit.

Distributor lokal untuk minyak goreng juga mendistribusikan minyak goreng yang sekarang harga jualnya dibayangi kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Banyak pedagang pasar yang “terpaksa” untuk berkerja sama dengan pemerintah menyalurkan minyak goreng subsidi pemerintah bernama “Minyak Kita” sesuai dengan harga, ketentuan dan pasal dari pemerintah dengan imbalan yang minim atau bahkan nol.

Perusahaan di hilir CPO juga sama, banyak yang dipaksa menjual stok lamanya akibat kebijakan dari pemerintah dengan harga rugi demi tetap mengikuti kebijakan HET.

Terakhir banyak beredar isu bahwa ganti rugi yang dijanjikan pemerintah belum sampai juga ke tangan para pihak yang merugi di depan demi kestabilan harga pangan nasional.

Ketidakjelasan ganti rugi ini sungguh disayangkan, padahal pemerintah selama ini telah banyak mengumpulkan dana yang dipungut dari industri minyak sawit yang disetorkan ke dalam BPDB Sawit.

Tentunya, negara mempunyai tanggung jawab dan wewenang absolut dalam mengendalikan segala hal yang menjadi kepentingan nasional. Akan perlu diingat bahwa pemerintah juga harus menjunjung tinggi keadilan di Tanah Air yang sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya.

Kebiasaan pemerintah yang cepat dalam mengeluarkan kebijakan dan merubahnya memberikan kesan tidak profesionalnya institusi tertinggi dalam negeri.

Terlebih, intervensi yang terlalu mendadak oleh pusat pada umumnya dipandang rendah oleh kalangan internasional dan investor yang berdampak luas ke segala pemaku kepentingan besar maupun kecil. Di sisi baiknya, banyak hal yang bisa dipetik menjadi pelajaran.

Indonesia adalah negara yang masih berkembang dan akan terus berproduksi kedepannya. Semoga pengalaman ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pihak pemangku kepentingan industri bahan pokok, khususnya pangan di negeri ini. 

Krisis minyak kelapa sawit di Indonesia menjadi berita terbesar sepanjang tahun 2022. Sangat ironis sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia bisa-bisanya kekurangan minyak goreng kelapa sawit di dalam negeri.

Tidak ada seorang pun di rantai pasokan dari hulu sampai hilir yang tidak terdampak intervensi pemerintah. Sayangnya, tidak hanya intervensi tidak membuahkan hasil, tetapi memperkeruh suasana dan bahkan mendorong kenaikan harga.

Penulis: Albert Susanto
Mahasiswa Magister Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI