Budaya yang Selalu Tertanam di Dalam Hati: Budaya Kalimantan Barat

Budaya Kalimantan Barat

Kalimantan Barat, adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan Ibukota Pontianak. Kalimantan Barat dengan luas 147,307 km2, menempati 7,53% luas wilayah Indonesia dan merupakan provinsi terluas ke empat di Indonesia. 

Secara administratif, Kalimantan Barat memiliki 14 Kabupaten/Kota, 174 kecamatan, 99 kelurahan dan 2.031 desa. Adapun Kabupaten/Kota tersebut adalah Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kota Pontianak, dan Kota Singkawang.

Kalimantan Barat merupakan sebuah provinsi yang ditempati oleh beberapa suku bangsa, namun ada  tiga suku yang mendominasi di Kalimantan Barat yaitu, Dayak, Melayu dan Tionghoa. Suku bangsa lainnya yang tinggal di Kalimantan Barat antara lain Batak, Sunda, Madura, Bugis, Jawa, Minang dan lain-lain.

Baca juga: Memahami Makna Kematian dalam Tradisi Dayak Bahau

Bacaan Lainnya

Persebaran penduduk untuk suku-suku di kalimantan Barat juga terlihat seperti berkelompok. Untuk suku Tionghoa, mereka lebih banyak tinggal di perkotaan atau ibukota, ada juga yang tinggal di daerah, tapi jumlahnya tidak banyak.

Mereka tinggal di daerah dikarenakan nenek moyang mereka yang menikah dengan suku Dayak dan juga pada masa pembersihan Indonesia dari pemberontakan G30SPKI, dimana suku Tionghoa banyak menjadi korban pembersihan pemerintah, sehingga beberapa dari mereka mengungsi ke daerah-daerah. 

Suku-suku lainnya juga banyak tinggal di perkotaan dan pinggiran kota, tapi ada juga yang tinggal di daerah. Jadi suku yang mendominasi tinggal di daerah-daerah adalah Suku Dayak. Tidak heran di setiap daerah Kalimantan Barat kita akan bertemu dengan suku Dayak.

Pada zaman dahulu, di beberapa daerah Kalimantan Barat, masyarakat suku Dayak tidak tinggal di rumah-rumah seperti pada umumnya.  Mereka tinggal dirumah-rumah yang dinamakan rumah Radangk atau disebut rumah Betang, sebutan umumnya adalah rumah Panjang.

Rumah ini ditempati oleh beberapa keluarga bahkan ada yang ditinggali oleh puluhan kepala keluarga.  Saat ini, ada beberapa rumah Betang yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya karena alasan-alasan tertentu. Namun ada beberapa rumah Betang yang masih dihuni oleh suku Dayak, di antaranya terdapat di desa Sahapm, Kecamatan Pahauman, Kabupaten Landak dan di Kabupaten Kapuas Hulu. 

Di beberapa Kabupaten bahkan di ibukota provinsi Kalimantan Barat dibangun replika rumah Betang dengan tujuan melestarikan warisan nenek moyang suku Dayak. Replika rumah Betang ini difungsikan sebagai tempat pertemuan petinggi-petinggi atau tetua-tetua adat suku Dayak, juga menampung aktivitas organisasi yang berkaitan dengan budaya atau sanggar seni suku Dayak.

Baca juga: Sistem Kulturalisme Kebudayaan Nusa Tenggara Timur (Larantuka)

Event terbesar yang biasa diadakan di rumah Betang adalah Gawai Dayak disebut juga Naik Dango. Naik Dango merupakan warisan leluhur, yang berasal dari salah satu sub suku Dayak di Kalimantan Barat, yaitu Dayak Kanayatn.

Upacara adat atau ritual yang diadakan sebagai wujud ungkapan syukur kepada sang pencipta atau “Jubata”, atas hasil panen yang didapatkan, dan meyakini bahwa ritual ini sebagai penangkal bencana juga gangguan hama padi di ladang, sehingga hasil padi yang didapatkan lebih banyak di tahun mendatang. 

Upacara adat Naik Dango ini diawali dengan memanjatkan doa-doa atau “nyangahantn”, yang dilakukan oleh tetua adat atau “Pamane” yang dipercayakan untuk memimpin ritual upacara Naik Dango ini. 

Dalam ritual ini biasa disertakan persembahan kepada Jubata, berupa beberapa ikat padi, daging mentah, ayam yang masih hidup, ketan yang dimasak dalam bambu atau “lamang”, beras dan ketan yang ditumbuk menjadi tepung, lalu diolah menjadi adonan kental dan digoreng atau “tumpi”, juga beras yang dibungkus dengan daun laying lalu direbus sampai matang atau “bontongk”.

Seiring perkembangan zaman, upacara adat Naik Dango dikemas menjadi sebuah pesta rakyat atau gawai yang biasa diadakan setiap tanggal 27 sampai dengan 30 April.

Baca juga: Pergeseran Kedudukan Adat Istiadat dan Kebudayaan Nasional di Tengah Kemajuan Teknologi Globalisasi

Adapun kegiatan-kegiatan yang termasuk didalam gawai antara lain pameran hasil kerajinan rakyat, perlombaan kesenian tradisional seperti; menyumpit, lempar gasing, memahat, menyanyi lagu Dayak, menampi, dan masih banyak perlombaan kesenian tradisional lainnya. 

Pada acara puncak atau penutupan Naik Dango diadakan pemilihan Bujang dan Dara Dayak. Adil ka Talino, Bacuramin ka Saruga, Basengat ka Jubata.

Penulis: Kezia
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bina Nusantara Malang, Jawa Timur

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses