Jual beli jabatan sangat berpengaruh buruk bukan hanya sesaat, bukan hanya terhadap lingkungan terdekatnya, tetapi jangka yang sangat panjang dan berpengaruh terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Kebiasaan “setoran” dari bawahan kepada atasan menjadi salah satu akibat praktik jual beli jabatan. Karena ia seperti piramida rantai makanan yang terus-menerus terjadi di pemerintahan.
Sebenarnya jual beli jabatan bukan penyakit baru di birokrasi, terutama ketika sistem otonomi daerah diterapkan, kepala daerah memiliki kewenangan penuh terhadap pengangkatan jabatan.
Baca Juga: Maraknya Jual Beli Jabatan di Instansi Pemerintahan yang Sudah Menjadi Rahasia Umum
Pengangkatan dan mutasi pejabat tergantung pada like or dislike pimpinan berdasarkan hubungan kekerabatan, pertemanan, atau besaran uang yang dapat diberikan sehingga sampai terlibat Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Jika seseorang yang melakukan jual beli jabatan, maka masyarakat tidak bisa mengharapkan pelayanan publik berjalan secara optimal.
Jangankan untuk memberikan pelayanan publik, begitu ingin menduduki jabatan saja para pembantu pemerintah daerah sudah disibukkan dan menerima beban berupa jual beli jabatan.
Ada tiga modus jual-beli jabatan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Sistem ijon sebelum pilkada, model terang-terangan seperti membuka warung dan memasang tarifnya dan kesepakatan antara kepala daerah dan yang meminta jabatan. Pejabat yang dilantik harus menyetorkan sejumlah uang sesuai dengan jabatan yang diinginkannya.
Praktik jual beli jabatan sebenarnya sudah diantisipasi dengan sejumlah aturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Semakin diberantas, jual-beli jabatan maka semakin menjadi-jadi, mengacu pada hasil penelitian KASN yang dilakukan sepanjang 2019 di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota, transaksi, dalam pengisian jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten/kota mencapai 95%. Pemerintah provinsi menempati posisi kedua dalam hal ini, yakni 89,5%.
KPK mencatat kasus jual beli jabatan di lingkungan pemda sejak 2016 hingga 2021 ini telah melibatkan tujuh bupati, yaitu Klaten, Nganjuk, Cirebon, Kudus, Jombang, Tanjungbalai, dan terakhir Probolinggo,” kata Ipi dalam keterangannya.
Tujuh kepala daerah yang terlibat jual beli jabatan:
1. Bupati Klaten Sri Hartini;
2. Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat;
3. Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra;
4. Bupati Kudus Muhammad Tamzil;
5. Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko;
6. Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial;
7. Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.
Praktik jual beli jabatan tidak seperti jual beli barang dan jasa di pasar yang dilakukan secara terbuka dan disaksikan oleh banyak orang. Akan tetapi, jual beli jabatan dilakukan di pasar gelap kekuasaan. Dilakukan secara tertutup dan dilakukan hanya antara penjual atau pembeli tanpa disaksikan banyak orang dan tanpa kuitansi.
Baca Juga: Napas Baru DPR: Jangan Ingkari Rakyat
Dampak jual beli jabatan
Lazimnya transaksi jual beli jabatan terjadi karena ada yang membeli jabatan dalam hal ini pejabat yang haus jabatan, ada yang menjual jabatan dalam hal ini kekuasaan (kepala daerah) dan ada yang diperjual belikan yaitu jabatan.
Kalau salah satu dari ketiga komponen di atas tidak ada atau dengan kata lain tidak berkehendak. Maka, transaksi jual beli jabatan tidak akan pernah terjadi dan tidak pernah ada.
Jual beli jabatan akan berdampak buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Bagi yang membeli jabatan, dia tidak akan dapat bekerja dengan amanah dan penuh tanggung jawab. Karena jabatan yang diembannya didapat dengan cara membeli.
Sehingga dengan sekuat tenaga, daya, dan upaya akan menghalkan segala cara bagaimana agar uang yang telah dikeluarkannya untuk membeli jabatan itu kembali. Salah satu yang berpotensi dilakukannya adalah dengan melakukan korupsi.
Sementara bagi penjual jabatan, dia tidak akan memiliki kewibawaan dan harga diri. Sehingga apapun ucapan dan perbuatan termasuk perintahnya tidak akan diindahkan atau diikuti oleh pejabatnya.
Pada saat yang sama, dia tidak akan mampu bertindak tegas, memberikan punishment (hukuman) kepada pejabatnya yang berbuat salah karena dia sudah dibayar.
Solusi dari dampak jual beli jabatan
Menurut saya, untuk menghindari praktik jual beli jabatan di lingkup pemerintah daerah, kabupaten, desa, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai solusi agar praktik jual beli jabatan bisa diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
Baca Juga: Ironi Partai Politik dalam Pusaran Korupsi
- Harus terus mengkampanyekan bahwa pemerintahannya benar-benar tidak akan jual beli jabatan sebagaimana yang dilakukannya selama ini baik kepada masyarakat umum, kepada keluarga, dan lebih-lebih kepada tim suksesnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Buatkan pakta integritas bagi seluruh pejabat di lingkup pemerintahannya untuk berkomitmen tidak akan melakukan beli jabatan disertai dengan sanksi apabila ada yang terbukti melakukannya, akan ditindak tegas.
- Membentuk satuan tugas (satgas) khusus anti jual beli jabatan atau membuat posko pengaduan khusus sebagai tempat masyarakat untuk melaporkan apabila ada yang mengetahui ada praktik jual beli jabatan disertai dengan dokumen bukti-bukti yang cukup.
- Apabila komitmen jual beli jabatan ini benar-benar tidak dilakukan dalam pemerintahan daerah, maka, tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih sesuai dengan misi pertamanya akan mudah diwujudkan.
Penulis: Ahmad Zaky Hakim
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi