Di era digital seperti saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Aplikasi seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) telah menjadi sarana utama anak muda untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri.
Namun, di balik kemudahan dan kecepatan berkomunikasi yang ditawarkan, muncul kekhawatiran terhadap dampak media sosial terhadap kemampuan berbahasa generasi muda. Sebagai mahasiswa, saya juga merasakan langsung bagaimana bahasa yang digunakan di media sosial memengaruhi cara saya dan teman-teman dalam berbicara serta menulis di kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Ketika Media Sosial Mengendalikan Hidup: Saatnya Gen Z Melawan FoMO
Penggunaan bahasa yang tidak baku, seperti singkatan yang berlebihan, serta pencampuran bahasa asing menjadi hal yang lumrah di media sosial. Tentu hal ini pada dasarnya kurang bijak. Misalnya, kita kerap mendengar kata “gue” dan “elo” lebih sering digunakan dibandingkan “saya” dan “kamu”, atau penggunaan istilah seperti “cringe”, “vibe”, dan “FYI” yang menggantikan padanan bahasa Indonesia.
Meskipun hal ini mencerminkan gaya anak mudan dalam berbahasa, namun tentunya kita perlu merasa khawatir bahwa kebiasaan tersebut menurunkan kemampuan kami untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama dalam konteks formal seperti tugas sekolah atau ujian.
Selain itu, kitga juga kerap melihat bahwa media sosial turut memengaruhi struktur berpikir dan cara menyampaikan pesan. Karena kita selaku anak muda terbiasa dengan format yang serba singkat dan instan, hal ini menjadikan anak muda kurang terbiasa menyusun argumen yang runtut dan mendalam.
Hal ini terlihat saat kami diminta menulis esai atau tugas perkuliahan. Masih banyak diantara kami mengalami kesulitan dalam menuangkan ide secara jelas karena terbiasa dengan gaya komunikasi media sosial yang cepat dan ringkas.
Sebagai generasi muda, saya pribadi sangat menyadari bahwa media sosial tidak sepenuhnya berdampak negatif. Justru media sosial bisa menjadi sarana untuk mengasah kemampuan berbahasa jika digunakan dengan bijak.
Baca juga: Dari Offline ke Online: Dampak Media Sosial terhadap Perubahan Pola Omongan Anak
Oleh karena itu, penting bagi kami untuk menyadari batas antara bahasa santai dan bahasa formal, serta belajar menempatkan diri sesuai konteks. Dengan begitu, kami tetap bisa mengikuti perkembangan zaman tanpa mengorbankan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penulis: Enjang Pera Irawan
Mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Pamulang
Dosen Pengampu: Ulfah Julianti., S.S., M.Pd
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News