Dampak Perceraian terhadap Anak dalam Perspektif Psikologi

perceraian orang tua

Perceraian (divorce) adalah suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi.

Pasangan yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi anak-anak (Amato, 2000; Olson & DeFrain, 2003).

Di sisi lain, mungkin saja anak-anak yang dilahirkan selama mereka hidup sebagai suami-istri, akan diikut- sertakan kepada salah satu orang tuanya apakah mengikuti ayah atau ibunya (Olson & DeFrain, 2003). Meskipun ajaran agama melarang untuk bercerai, pada kenyataannya seringkali tak dapat dipungkiri bahwa perceraian selalu terjadi di antara pasangan yang telah menikah secara resmi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Perceraian ialah kejadian yang sangat tidak diinginkan oleh setiap pasangan dan keluarga. Terjadinya perceraian akan mendatangkan banyak hal tidak mengenakkan dan kepedihan yang dirasakan oleh semua pihak, yaitu kedua pasangan, anak-anak, dan dua keluarga besar dari pasangan tersebut.

Nabi Muhammad SAW berkata dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah “Perceraian itu adalah hal yang halal namun di benci oleh Allah SWT, dan bahkan apabila kata “cerai” terucapkan, maka Ars (Singgasana) Allah SWT akan berguncang”.

Terdapat beberapa bentuk perceraian, yaitu: Pertama, perceraian atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah satu pasangan. Kematian salah seorang suami atau istri menyebabkan berakhirnya hubungan perkawinan. Kedua, perceraian atas kehendak suami karena alasan tertentu dan dinyatakan dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talaq. Ketiga, perceraian atas kehendak istri, karena melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan suami tidak berkehendak untuk itu. Keinginan perceraian disampaikan istri dengan cara tertentu, hal ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapan untuk bercerai. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu’. Keempat, perceraian atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.

Pada dasarnya Allah SWT sangat membenci perceraian pada suatu pernikahan. Perceraian yang terjadi pada pasangan suami dan istri merupakan misi terbesar setan dalam menggoda manusia, hal ini disebutkan dalam salah satu hadist yakni.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813)

Dalam syariat islam, pada dasarnya hukum perceraian yakni makruh karena seperti yang sudah disebutkan perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh Allah SWT. Namun berdasarkan kondisi, hukum perceraian terbagi menjadi 5 yakni, wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram (Distiliana & Herlinsi, 2022).

  • Perceraian dapat menjadi wajib apabila suami istri tidak lagi mendapatkan esensi pernikahan itu sendiri dengan kata lain sudah tidak dapat hidup dengan damai atau rukun.
  • Perceraian menjadi sunnah apabila seorang suami tidak dapat menafkahi istri secara lahir dan batin, atau seorang suami tidak lagi mampu membimbing istri dan anak-anaknya ke jalan yang benar.
  • Perceraian dapat menjadi mubah apabila adanya masalah pada dalam diri suami ataupun istri.
  • Perceraian dapat menjadi makruh apabila suami tidak memiliki alasan yang mengharuskan untuk menceraikan istrinya.
  • Perceraian dapat menjadi haram apabila istri dijatuhkan talak bid’i, yakni talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang haid atau istri dalam keadaan suci namun ia digauli suami-istri dalam keadaan suci itu kemudian ditalak.

Suatu perceraian pasti memiliki sebab yang menandakan bahwa sebuah perceraian pastinya tidak terjadi secara tiba-tiba. Dalam skripsi yang berjudul “Dampak Perceraian Terhadap Kondisi Psikologis Keluarga” terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan perceraian, yaitu masalah keperawanan, adanya perselingkuhan, masalah ekonomi, ketidak suburan antara laki-laki atau perempuan hingga sulit mendapati keturunan, adanya perbedaan prinsip atau ideologi, kekerasan, dan campur tangan keluarga (Humairah, 2016).

Selain memiliki faktor penyebab, perceraian tentunya memiliki dampak terhadap suatu keluarga baik suami, istri, dan anak. Dalam skripsi yang berjudul “Dampak Perceraian Terhadap Kondisi Psikologis Keluarga” terdapat beberapa dampak secara umum dari sebuah perceraian terhadap suatu keluarga, yakni anak menjadi korban, munculnya perselisihan antara suami dan istri, munculnya perasaan benci dalam diri anak, stress, gangguan emosi, dan pengalaman traumatis pada salah satu di antara pasangan suami istri dan anak (Humairah, 2016).

Dampak Psikologis pada Anak Korban Perceraian

Pada paragraf di atas telah disebutkan beberapa dampak dari suatu perceraian, salah satunya yakni anak menjadi korban. Keadaan psikologis anak tentunya akan mengalami gejolak-gejolak. Adapun dampak psikologis anak dari sebuah perceraian yakni:

1. Kesedihan karena Kehilangan Anggota Keluarga

Menurut Waller Stein, perpisahan orang tua dan perceraian secara emosi dapat dibandingkan dengan kematian orang tua. Anak-anak merasa sedih bukan hanya karena mereka kehilangan kontak sehari-hari dengan orang tua lain dan kurang kontak dengan orang lain, tetapi juga karena mereka kehilangan rasa aman dan nyaman dalam keluarga yang utuh.

2. Ketakutan akan Ditolak, Dibuang dan dalam Keadaan Tidak Berdaya

Perasaan ditolak selalu digabungkan dengan menyalahkan diri sendiri, yang kemudian diikuti oleh bayang-bayang orangtua bercerai. Yang mana anak pasti akan merasa di abaikan jika salah satu orangtua yang memiliki hak asuh nya tidak memberikan perhatian lebih saat sebelum terjadinya perceraian.

3. Bersalah dan Menyalahkan Dirinya Sendiri

Anak-anak terkadang percaya bahwa orang tua mereka tidak akan meninggalkan mereka kecuali mereka dilahirkan atau menjadi anak yang lebih baik. Anak-anak tidak dapat menyalahkan orang tua mereka karena menelantarkan mereka. Karena anak-anak menyayangi orang tuanya dan takut kehilangan mereka, perasaan marah ini seringkali disertai dengan perasaan bersalah. Rasa bersalah dan ketakutan dapat memicu banyak reaksi emosional pada anak-anak.

4. Kecemasan dan Pengkhiatan

Anak-anak takut perceraian orang tua mereka akan mempengaruhi kehidupan masa depan mereka, anak-anak mungkin merasa tidak aman tentang masa depan dan hubungan mereka dengan orang lain. saat mereka remaja mungkin mengalami kesulitan mempercayai orang lain karena orang tua mereka berselingkuh. Beberapa anak pemalu dan menghindar dari kesempatan untuk memberi dan menerima cinta dari orang lain.

Penulis: Awaludhia Naafi Zaen, Rahma Auliya Jasmine, Zulfa Al Khansa
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI