Dampak Pertambangan Batubara bagi Ekosistem Lingkungan

Pertambangan
Ilustrasi batubara (Sumber Figure: Shutterstock)

Batubara merupakan salah satu energi alternatif yang digunakan sebagai bahan bakar. Harga ekonomis menjadi pertimbangan dalam pemanfaatannya bila dibandingkan dengan bahan bakar minyak.

Produksi batubara merupakan hasil tambang tertinggi di Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan nasional dan internasional, bila dibandingkan dengan hasil tambang lainnya seperti bauksit, timah, tembaga dan nikel.

Eksplorasi yang berlebihan akan menyebabkan keterbatasan batubara di alam. Berdasarkan data ESDM 2021 bahwa terjadi kenaikan 11% setiap tahun atas produksi dan pemanfaatan batubara.

Kegiatan tambang batubara di Indonesia terdapat di wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua yang memiliki kondisi hutan hujan tropis.

Bacaan Lainnya

Keberadaan hutan tropis saat ini menjadi terancam oleh aktivitas kegiatan pembukaan penutup lahan, penggalian, proses produksi, pengangkutan pada penambangan batubara.

Hutan tropis di Indonesia menyimpan beragam jenis flora dan fauna, menyerap dan menyimpan (carbon storages), menghasilkan oksigen, melindungi banjir dan kekeringan, reservoir air tanah, dan menstabilkan kesuburan tanah.

Namun, saat ini banyak permasalahan yang terjadi baik di ekonomi, sosial maupun lingkungan terhadap dampak yang ditimbulkan dari eksplorasi batubara.

Dalam 35 tahun terakhir, Sumatera telah kehilangan setengah dari hutan tropis yang mengakibatkan turunnya kualitas kesuburan tanah (Sumber: Shutterstock)

Dampak Kerusakan Lingkungan

Eksplorasi batubara yang berlebihan dari stok cadangan di alam dapat menimbulkan kelangkaan stok batubara untuk keberlanjutan energi batubara dimasa mendatang.

Selain itu, juga menyebabkan kerusakan ekosistem lingkungan, punahnya keanekaragaman hayati, terganggunya cadangan air tanah dan memicu pelepasan karbon ke atmosfer.

Emisi karbon ke atmosfer dapat menyebabkan kenaikan suhu rata rata di permukaan bumi yang berdampak pada perubahan iklim dan pemanasan global, sehingga dapat dikatakan bahwa hutan tropis berperan sebagai penyerap emisi karbon terbesar di dunia.

Kemampuan hutan tropis untuk menyerap karbondioksida (CO2) sekitar 2,6 miliar ton atau setara dengan sepertiga jumlah karbon yang dilepaskan akibat pembakaran bahan bakar fosil.

Selain itu, dampak negatif lainnya dari kegiatan tambang batubara yaitu sisa bekas lubang tambang yang belum di reklamasi juga menyebabkan dampak bencana lingkungan seperti kebanjiran, longsor dan tercemarnya air tanah menjadi asam di sekitar tambang sehingga menyebabkan asidifikasi yaitu perubahan kondisi air asam karena menurunnya kadar pH air yang terkontaminasi dengan sulfur (SO2).

Namun saat ini, bencana alam sering terjadi di wilayah Sumatra dan Kalimantan yang dikenal sebagai salah satu paru paru dunia dikarenakan luasnya mencapai 40,8 juta hektar.

Kondisi hutan tropis di Sumatra dan Kalimantan telah mengalami pengalihan fungsi hutan seperti areal kebun kelapa sawit, kebun karet, hutan tanaman industri, kawasan pemukiman serta pertambangan minerba salah satunya sebagai tambang batubara.

Sehingga, terjadi kenaikan signifikan terhadap laju deforestasi di hutan Sumatra dan Kalimantan setiap tahun-nya. Berdasarkan data Departemen Kehutanan bahwa angka penebangan hutan di Kalimantan pada tahun 2000-2005 sekitar 1,23 juta hektar, dapat dikatakan sekitar 673 hektare hutan di Kalimantan mengalami penebangan hutan setiap harinya pada periode tahun tersebut.

Menurut data dari State of the World’s Forests, 2007 bahwa angka penebangan hutan di Indonesia pada periode 2000-2005 sekitar 1,8 juta hektar/tahun.

Kawasan eksploitasi tambang batubara di Kalimantan Timur (Sumber: kaltimprov.go.id)

Punahnya Keanekaragaman Hayati

Kerusakan ekosistem hutan mengancam kepunahan satwa endemik. Bahkan beberapa dari satwa endemik sudah dalam tingkat kekhawatiran karena populasinya terus berkurang setiap tahun.

Berdasarkan International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) bahwa populasi orang utan Sumatra mengalami penurunan sekitar 80% dalam kurun waktu 75 tahun.

Harimau Sumatra juga mengalami penurunan populasinya diperkirakan tersisa sekitar 300 ekor.

Kepunahan satwa endemik merupakan dampak adanya perubahan alih fungsi hutan.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh beberapa organisasi lingkungan seperti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bahwa aktivitas pertambangan batubara terbesar berada di Pulau Kalimantan telah menimbulkan kerusakan kondisi keanekaragaman hayati.

Menurut AEER, bahwa keanekaragaman hayati di Pulau Kalimantan menunjukkan aktivitas pertambangan memberikan ancaman yang cukup serius terhadap kerusakan keanekaragaman hayati dan punahnya satwa endemik.

Berbagai spesies yang dilindungi terancam kepunahan seperti Orangutan Kalimantan, Bekantan yang terdampak akibat aktivitas pertambangan di Kalimantan.

Fungsi Ekologis Hutan

Aktivitas tambang batubara seperti pembersihan lahan (land clearing), penggalian top-soil dan pengangkatan over burden memberikan dampak negatif pada koridor ekosistem satwa serta terganggunya fungsi ekologis yang terjadi di sekitar kawasan pertambangan.

Kerusakan fungsi ekologis dapat berpotensi mengurangi habitat kehidupan satwa liar serta merusak keanekaragaman hayati.

Disatu sisi, keanekaragaman hayati menyediakan berbagai jasa ekosistem (ecosystem services) bagi keberlanjutan kehidupan manusia seperti Provisioning Services yaitu ‘jasa atau pelayanan’ yang disediakan secara langsung oleh sebuah ekosistem seperti makanan, raw material, sumber obat-obatan, dsb.

Regulating Services yaitu ‘jasa atau pelayanan’ yang tersedia akibat pengaturan yang dilakukan oleh ekosistem seperti penyerapan karbon, pengontrolan bencana, pencegahan erosi, dsb.

Cutural Services yaitu ‘jasa atau pelayanan’ yang berkaitan dengan kehidupan sosial atau budaya manusia seperti rekreasi, nilai estetika, nilai spiritual, agama, dsb.

Supporting Services yaitu ‘jasa atau pelayanan’ yang dibutuhkan agar semua ‘jasa atau pelayanan’ ekosistem dapat tersedia, seperti menyediakan habitat, fotosintesis, siklus nutrisi, dsb.

Dengan demikian, pertambangan batubara merupakan salah satu sektor usaha yang perlu diwaspadai karena rentan berkontribusi negatif terhadap keanekaragaman hayati.

Kebijakan penerapan mitigation hierarchy pada tingkat pencegahan perlu diterapkan pada kegiatan pertambangan batu bara sebagai bentuk langkah preventif.

Transisi energi dari penggunaan batubara menuju energi bersih serta ramah lingkungan akan menghentikan aktivitas pertambangan batubara, konversi lahan, dan memperlambat perubahan iklim global.

Selain itu, pilar keberlanjutan dalam pembangunan melibatkan tiga aspek penting yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan.

Sehingga, implementasi kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah harus ber-sinergi untuk menjaga dan melindungi lingkungan terhadap kegiatan yang merusak keanekaragaman hayati.

Konsistensi dan integritas sangat diperlukan dalam menjalankan kebijakan. Keterlibatan berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk menjaga lingkungan, misalnya dari pelaku bisnis, masyarakat lokal, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Bangsa yang hebat merupakan bangsa yang dapat menjaga kedaulatan dan kelestariaan ekosistem sebagai asset kekayaan alam yang berkelanjutan.

Penulis: Ekara Rahmi Susanti
Mahasiswa Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses