Budaya senioritas dalam dunia pendidikan tinggi, khususnya di Fakultas Kedokteran, telah menjadi fenomena yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pendidikan di bidang tersebut dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembentukan mental dan karakter mahasiswa. Namun, dalam praktiknya, senioritas seringkali tidak berjalan sesuai dengan semangat pembinaan.
Sebaliknya, beberapa kampus membiasakan hal tersebut dan menjelma menjadi bentuk relasi kuasa yang menekan, memperkuat hierarki sosial, dan menciptakan jarak antar mahasiswa, terutama antara angkatan tua dan angkatan muda.
Fakultas Kedokteran merupakan tempat mencetak calon dokter yang kelak akan menjadi garda terdepan dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Di sinilah nilai-nilai luhur seperti empati, solidaritas, tanggung jawab, dan kerja tim seharusnya dibentuk dan dipraktikkan.
Namun ironisnya, dalam lingkungan yang semestinya inklusif dan kolaboratif ini, masih banyak ditemukan praktik-praktik bernuansa feodal—mulai dari glorifikasi senioritas, pembenaran kekuasaan berdasarkan angkatan, hingga perpeloncoan terselubung dalam kegiatan kemahasiswaan.
Walaupun tidak semua kampus maupun pihak individu sudah tidak melakukan hal tersebut, akan tetapi masih banyak berita mengenai tekanan dalam lingkup pendidikan kedokteran.
Senioritas sering dianggap sebagai sarana membangun kedisiplinan, loyalitas, dan mental tangguh. Namun, pertanyaannya: kedisiplinan seperti apa yang ingin dibentuk? Ketangguhan seperti apa yang dibenarkan ketika dibangun di atas tekanan psikologis atau ketimpangan relasi?
Dalam banyak kasus, budaya senioritas justru melanggengkan ketakutan, ketundukan buta, dan eksklusivitas dalam komunitas akademik. Ini bertentangan dengan semangat pendidikan tinggi yang seharusnya membebaskan dan memanusiakan.
Dalam dunia medis yang nyata, tidak ada tempat untuk ego senior-junior yang kaku. Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya bekerja secara setara dalam tim multidisiplin.
Seorang dokter junior bisa saja memiliki pengetahuan yang lebih mutakhir, sementara seorang dokter senior punya pengalaman lapangan yang mendalam. Keduanya saling melengkapi, bukan mendominasi.
Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mengajarkan nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa, seperti keadilan, gotong royong, saling menghormati, dan kesetaraan. Nilai-nilai ini sebenarnya sangat relevan dan patut diterapkan dalam konteks kehidupan kampus, terutama di Fakultas Kedokteran.
Gotong royong, sebagai salah satu nilai luhur bangsa Indonesia, bukan hanya tentang kerja bakti secara fisik. Ia merupakan simbol dari semangat kebersamaan, tolong-menolong, dan kolaborasi tanpa diskriminasi.
Ketika mahasiswa senior dan junior mampu saling mendukung, berbagi ilmu, dan berkolaborasi dalam suasana yang egaliter, saat itulah nilai gotong royong benar-benar hidup dalam praktik, bukan sekadar teori di ruang kelas.
Dengan menanamkan nilai-nilai ini, kita tidak hanya menciptakan lingkungan akademik yang sehat, tetapi juga menyiapkan tenaga medis yang memiliki karakter humanis, siap bekerja dalam tim, dan mampu berempati terhadap pasien maupun rekan kerja. Perubahan budaya tidak akan terjadi dalam semalam.
Namun, langkah kecil bisa dimulai dari hal-hal sederhana: memperlakukan mahasiswa baru dengan hormat, membentuk kelompok belajar lintas angkatan, membuka ruang diskusi tanpa rasa takut, serta menumbuhkan sistem mentoring berbasis empati, bukan hierarki, hingga suatu saat budaya buruk ini sudah hilang dari lingkungan pembelajaran.
Baca Juga:Â Senioritas di Kalangan Karang Taruna, Bagaimana Strategi Menanggulanginya?
Kegiatan Belajar bersama dan pendidikan karakter positif
Sudah saatnya kita meninggalkan budaya senioritas yang tidak relevan dengan nilai-nilai profesi dokter. Fakultas Kedokteran harus menjadi ruang yang membebaskan, mendewasakan, dan membentuk pribadi yang menjunjung tinggi etika, empati, dan kolaborasi.
Dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan seperti gotong royong, kita menciptakan generasi dokter masa depan yang bukan hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berjiwa luhur dan mampu bekerja untuk kemanusiaan.
Penulis:
1. Hanief Rifqi Falih
2. Muhammad Adnan
Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News