Di Balik Layar K-Drama: Ancaman Tersembunyi bagi Remaja Kita?

Di Balik Layar K-Drama: Ancaman Tersembunyi bagi Remaja Kita?
Sumber: freepik.com

Demam Korea masih terus melanda Indonesia. Dari musik, gaya berpakaian, hingga drama Korea (K-Drama), pengaruh budaya Negeri Ginseng tampak meresap ke berbagai lapisan masyarakat, terutama remaja.

K-Drama tak hanya menawarkan romansa manis, sinematografi indah, dan aktor memukau, tetapi juga menyimpan sisi gelap yang patut diwaspadai.

Apakah kita sudah cukup sadar akan ancaman tersembunyi yang mungkin ditimbulkan oleh tontonan ini bagi generasi muda?

Tak bisa dimungkiri, K-Drama mampu menyuguhkan realitas yang tampak sempurna: tokoh pria yang nyaris tanpa cela, perempuan yang selalu tampil memesona, hingga kisah cinta yang kerap tak masuk akal namun memabukkan.

Bacaan Lainnya

Sayangnya, hal ini bisa menanamkan ekspektasi tidak realistis pada remaja terhadap cinta, relasi, dan standar kecantikan.

Studi oleh The Korean Journal of Child Studies (2020) menunjukkan bahwa remaja perempuan yang rutin menonton K-Drama cenderung memiliki kepuasan tubuh yang lebih rendah akibat internalisasi standar kecantikan ala Korea Selatan kulit putih, tubuh langsing, dan wajah tirus.

Baca Juga: K-Drama: Fiksi yang Berujung Emosi

Selain itu, K-Drama juga kerap memaparkan gaya hidup mewah sebagai standar umum, mulai dari busana desainer hingga hunian elit. Hal ini berpotensi memicu konsumtivisme dan rasa tidak puas terhadap kondisi kehidupan sendiri.

Menurut riset dari Asian Journal of Communication (2019), paparan berulang terhadap gaya hidup tokoh fiktif di drama Korea dapat memengaruhi persepsi remaja terhadap kesuksesan dan kebahagiaan, yang kerap diukur lewat materi.

Dari segi relasi sosial, drama Korea banyak mengangkat konsep cinta idealistik dan posesif, yang terkadang dibungkus sebagai “romantis.”

Misalnya, tokoh pria yang mendominasi keputusan pasangannya sering kali diposisikan sebagai bentuk cinta mendalam, padahal dalam konteks nyata hal ini bisa masuk dalam kategori hubungan tidak sehat.

Tanpa literasi media yang memadai, remaja bisa menyerap nilai-nilai tersebut tanpa filter kritis.

Namun, tentu tidak semua K-Drama berdampak negatif. Banyak juga serial yang menyuarakan isu mental health, perjuangan hidup, hingga pentingnya solidaritas sosial.

Baca Juga: Dialektika K-Popers dengan Identitas Nasional

Oleh karena itu, pendekatan yang seimbang perlu diambil. Daripada melarang total, yang diperlukan adalah pendampingan dan edukasi.

Orang tua dan guru memiliki peran penting dalam membimbing remaja memahami tayangan secara kritis mengajak berdiskusi, menilai pesan-pesan tersembunyi, dan membedakan antara fiksi dan kenyataan.

Dalam dunia yang serba visual dan digital ini, K-Drama hanyalah satu dari sekian banyak konten budaya yang mengisi ruang mental remaja kita.

Namun, jika tidak disikapi dengan bijak, ia bisa menjadi bom waktu yang perlahan merusak persepsi diri, harapan hidup, dan pola pikir generasi muda.

Pertanyaannya sekarang: “apakah kita akan terus menonton tanpa sadar, atau mulai membuka mata dan mengajak remaja kita melihat di balik layar?”

 

Penulis: Kervin Alejandro Perutu
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Cenderawasih

 

Referensi

  1. Choi, J., & Lee, H. (2019). “Korean Wave and Youth Identity Formation: Media Influence and Aspirational Culture”. Asian Journal of Communication, 29(1), 34–50.
  2. Kim, Y. (2020). “The Effect of Appearance-Related Media Contents on Adolescents’ Body Image”. The Korean Journal of Child Studies.
  3. Park, S. (2021). “Romanticizing Toxic Relationships in K-Dramas: A Critical Discourse Analysis”. Korea Journal of Media Ethics.

 

Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses