Yogyakarta, MMI — Seorang warga berinisial YAM kini menjalani proses hukum sebagai Tersangka dalam perkara dugaan penipuan. Ia dilaporkan atas tuduhan melanggar Pasal 378 KUHP, setelah menerima pengalihan kepengurusan sebuah badan usaha berbentuk Commanditaire Vennootschap (CV). Namun menurut YAM, dirinya justru mengalami kerugian finansial dalam jumlah besar, sementara pihak Pelapor tetap menjalankan usaha dan menerima keuntungan yang tidak sedikit.
“Semua modal dan operasional awal berasal dari saya, termasuk pinjaman dari bank sebesar Rp500 juta yang saya jamin dengan rumah pribadi,” ujarnya.
Total kerugian yang dialami YAM mencapai lebih dari Rp850 juta, berdasarkan bukti transfer dan utang bank yang masih aktif. Anehnya, menurut data dan bukti transaksi yang dimilikinya, Pelapor justru memperoleh keuntungan (yang diketahui) lebih dari Rp950 juta — terdiri dari dana yang diberikan YAM, aliran uang masuk dari proyek pemerintah, dan penguasaan penuh atas aktivitas bisnis.
Usaha yang semula berada di bawah CV tersebut bahkan masih dijalankan oleh Pelapor, meskipun kemudian nama usaha diubah. “Yang saya terima hanya akta perubahan CV tanpa aset atau nilai ekonomi apa pun. Tapi justru saya dituduh menipu,” tambah YAM.
Dokumen resmi dari Ditjen AHU menunjukkan bahwa aset dan modal CV tersebut tercatat Rp0,- (nol rupiah) alias nihil. Tidak ada perjanjian jual beli, tidak ada pengalihan aset atau piutang, dan tidak ada pembayaran balik atas modal. Namun proses hukum tetap berjalan, bahkan saat YAM telah mengajukan laporan balik ke Polda DIY atas dugaan pemalsuan dokumen dan tanda tangan serta manipulasi keuangan.
“Saya tidak lari, saya tidak membantah proses hukum. Tapi saya berharap hukum juga melihat siapa yang sebenarnya salah,” ujarnya.
Konflik Perdata yang Dipidana?
Pengalihan kepengurusan dalam CV sejatinya merupakan ranah perdata. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit konflik bisnis yang berubah menjadi laporan pidana. Pakar hukum menilai, hal ini terjadi ketika proses hukum gagal membedakan antara wanprestasi, perjanjian bisnis yang batal, dan unsur penipuan yang sesungguhnya harus dibuktikan secara objektif.
Dalam kasus ini, tidak ditemukan objek yang dapat dikualifikasikan sebagai “barang” atau “sesuatu yang dijanjikan secara palsu” sebagaimana dimaksud dalam unsur Pasal 378 KUHP.
Permintaan Keadilan
YAM berharap agar perkara ini tidak dilihat dari satu sisi saja. Ia menyampaikan keterbukaan untuk mediasi, namun juga menegaskan haknya untuk mempertahankan kebenaran di mata hukum secara adil.
Selain melaporkan balik ke pihak kepolisian, YAM juga sudah menyampaikan bahwa ia telah mengadukan permasalahan ini ke beberapa lembaga terkait, termasuk instansi penegak hukum dan lembaga pengawasan yang relevan. Ia berharap, langkah tersebut dapat membuka ruang keadilan yang lebih objektif dan proporsional.
“Saya hanya ingin keadilan. Saya tidak sedang bersembunyi, tapi saya tidak ingin dihukum atas sesuatu yang tidak saya lakukan,” tutupnya.
Redaksi Media Mahasiswa Indonesia