Faktor Pemicu Konflik Agraria yang Terus Berterus di Indonesia yang Terus Memuncak

Faktor Pemicu Konflik Agraria yang Terus Berterus di Indonesia yang Terus Memuncak

Di berbagai wilayah Indonesia, konflik agraria terus meningkat sepanjang tahun dari tahun sebelumnya sampai di tahun 2024. Meningkatnya kasus konflik agraria terangkum dalam catatan akhir tahun 2022, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang diluncurkan di Jakarta, Senin (9/1/2023).

Catatan akhir tahun ini menyoroti tentang konflik agraria yang dialami masyarakat, khususnya petani hingga berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah sepanjang 2022. Berdasarkan catatan KPA, 212 konflik agraria terjadi sepanjang 2022 atau meningkat 4 kasus dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik.

Kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan (99), infrastruktur (32), properti (26), pertambangan (21), kehutanan (20), fasilitas militer (6), pertanian/agrobisnis (4), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4). Sementara dilihat dari wilayahnya, lima provinsi dengan konflik agraria tertinggi adalah Jawa Barat (25), Sumatera Utara (22), Jawa Timur (13), Kalimantan Barat (13), dan Sulawesi Selatan (12).

Bacaan Lainnya

Sumatera Utara juga menjadi wilayah dengan konflik agraria terluas mencapai 215.404 hektar. Meski tidak signifikan dari sisi jumlah, konflik agraria sepanjang 2022 menyebabkan peningkatan drastis dari sisi luasan wilayah terdampak.Luas konflik agraria tahun 2022 yang terjadi di 33 provinsi ini mencapai 1,03 juta hektar dan berdampak terhadap lebih dari 346.000 keluarga.

Sementara konflik agraria pada 2021 mencakup luas 500.000 hektar. Selain itu, KPA juga mencatat sepanjang 2022 telah terjadi 497 kasus kriminalisasi yang dialami pejuang hak atas tanah di berbagai penjuru tanah air. Angka ini bahkan meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021 sebanyak 150 kasus dan 120 kasus pada 2020.

Baca Juga: Ketegangan dan Harapan: Dinamika Konflik Agraria di Sumatera

Hingga di tahun 2023 telah menyebabkan 241 letusan konflik, yang merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 KK. Sebanyak 110 letusan konflik telah mengorbankan 608 pejuang hak atas tanah, sebagai akibat pendekatan represif di wilayah konflik agraria.

Angka ini berada pada urutan teratas dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal. Angka di Indonesia mencapai 74% dari total insiden, 94% dari total korban individu dan 84% dari total rumah tangga yang terdampak, jika dibandingkan antara keenam negara tersebut.

Berikut adalah beberapa faktor utama yang menyebabkan konflik agraria di Indonesia:

Ketidakjelasan Status Tanah

Banyak tanah di Indonesia yang tidak memiliki sertifikat resmi, sehingga menimbulkan sengketa antara masyarakat lokal dan pihak-pihak yang mengklaim hak atas tanah tersebut, seperti perusahaan besar atau pemerintah.

Kebijakan Pertanahan yang Tidak Konsisten

Kebijakan pertanahan yang sering berubah dan tidak konsisten juga berkontribusi terhadap konflik agraria. Dalam banyak kasus, kebijakan yang mendukung investasi sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, yang menyebabkan ketidakpuasan dan protes dari komunitas yang merasa terpinggirkan.

Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan dari pertanian tradisional menjadi lahan komersial atau industri sering kali memicu konflik. Masyarakat yang bergantung pada lahan untuk mata pencaharian mereka merasa terancam ketika lahan tersebut dialokasikan untuk proyek-proyek besar tanpa konsultasi yang memadai.

Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Ketimpangan dalam distribusi sumber daya dan kekuasaan juga menjadi faktor penting. Masyarakat yang kurang berdaya sering kali tidak memiliki akses yang sama terhadap tanah dan sumber daya, yang menyebabkan ketegangan antara kelompok yang lebih kaya dan masyarakat lokal.

Pengabaian Hak-Hak Masyarakat Adat

Hak-hak masyarakat adat sering kali diabaikan dalam proses penguasaan tanah. Banyak komunitas adat yang telah lama tinggal di suatu wilayah tidak diakui haknya atas tanah tersebut, yang menyebabkan konflik dengan pihak-pihak yang ingin menguasai lahan tersebut untuk kepentingan komersial.

 

Penulis: Azwar Busri
Mahasiwa Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Pamulang

Editor: I. Khairunnisa

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.