Dalam menghadapi krisis lingkungan global, harmonisasi antara sains dan agama menjadi kunci penting untuk mewujudkan keadilan lingkungan.
Keduanya, meski memiliki pendekatan dan metode yang berbeda, dapat saling melengkapi dalam membangun pemahaman dan aksi nyata yang berkelanjutan.
Sains, dengan pendekatan empiris dan rasional, berperan dalam mengungkap mekanisme, keteraturan, serta hukum-hukum alam.
Melalui sains, manusia dapat memahami ekosistem, mengidentifikasi penyebab kerusakan lingkungan, serta merancang solusi berbasis teknologi untuk menjaga kelestarian alam.
Namun, sains saja tidak cukup untuk menggerakkan perubahan perilaku manusia jika tidak didukung oleh landasan nilai, etika, dan tanggung jawab moral.
Agama, khususnya dalam pandangan Islam, menegaskan peran manusia sebagai khalifah di bumi.
Baca Juga: Pesan-Pesan Al-Qur’an terhadap Lingkungan Hidup
Konsep ini menuntut manusia untuk bertindak adil, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam mengelola lingkungan.
Ajaran agama memberikan pedoman moral dan spiritual yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam, menghindari kerusakan, serta memelihara keberlanjutan sumber daya untuk generasi mendatang.
Nilai-nilai seperti keadilan, kesederhanaan, dan amanah menjadi fondasi etis dalam interaksi manusia dengan alam.
Integrasi sains dan agama dalam pendidikan menjadi langkah strategis untuk membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga beretika dan berkarakter.
Melalui pembelajaran berbasis masalah, diskusi interaktif, dan studi kasus, siswa diajak untuk memahami prinsip ilmiah sekaligus menanamkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya, dalam pembelajaran tentang lingkungan, sains digunakan untuk memahami ekosistem dan dampak aktivitas manusia, sementara agama mengajarkan tanggung jawab moral untuk menjaga bumi sebagai amanah dari Tuhan.
Baca Juga:Â Potensi Green Data Center bagi Keberlanjutan Lingkungan
Para pemikir Islam, seperti Bruno Guiderdoni, menegaskan bahwa pengetahuan, agama, dan sains dapat disatukan.
Dalam kerangka integrasi, sains dan agama tidak saling menegasikan, melainkan memperkaya pemahaman manusia tentang realitas dan makna hidup.
Kebenaran ilmiah dan dogma keagamaan dapat berjalan beriringan, membentuk pemahaman yang lebih utuh dan koheren tentang dunia.
Dialog antara saintis dan agamawan membuka ruang refleksi kritis dan kolaborasi dalam menghadapi persoalan lingkungan secara adil dan berkelanjutan.
Upaya integrasi ini juga menghilangkan dikotomi antara sains dan agama yang selama ini kerap dipersepsikan bertentangan.
Dengan mengedepankan dialog, reinterpretasi ajaran agama, serta pemanfaatan temuan ilmiah, tercipta sinergi yang mampu melahirkan solusi inovatif dan berlandaskan etika untuk mewujudkan keadilan lingkungan.
Baca Juga:Â Santri dalam Lingkungan Masyarakat Plural
Individu yang dihasilkan dari pendidikan berbasis harmonisasi ini diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki komitmen moral dan spiritual dalam menjaga kelestarian alam.
Dengan demikian, harmonisasi sains dan agama merupakan fondasi penting untuk mewujudkan keadilan lingkungan.
Integrasi keduanya menghasilkan pemahaman yang komprehensif, aksi yang beretika, serta kesadaran kolektif untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama bagi seluruh makhluk.
Inilah langkah nyata menuju masa depan yang adil, lestari, dan penuh makna bagi generasi kini dan mendatang.
Penulis: Laila Fiki Hidayati
Mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, UIN K. H. Abdurrahman Wahid Pekalongan
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News