Historiografi Islam Modern: Pemikiran Politik Al-Maududi dalam Kitab Al-Khilafah wa Al-Mulk

Biografi
Abu al-A’la Maududi.

Dari hari ke hari, wacana kekhalifahan Islam semakin banyak dimunculkan oleh sebagian kelompok umat Islam, terutama pasca jatuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 1924 di Asia Tenggara, Afrika Utara, Mesir, negara-negara Teluk, Asia Selatan, dan lain-lain.

Negara-negara jajahan melihat kuatnya kekuatan Turki Usmani yang mendominasi Timur Tengah dan negara-negara “Eropa Timur” akibat tingginya kekuasaan Khilafah. Khilafah erat kaitannya dengan kekuasaan, kepemimpinan, al-Imam al-A’zham, pemimpin besar.

Dalam konteks ini, kepemimpinan setelah Nabi SAW. yang fungsinya menjalankan tugas kenabian, khilafat al-nubuwwah, yaitu hirasat al-din dan siyasat al-dunya, menjaga agama dan mengatur urusan duniawi.

Bacaan Lainnya
DONASI

Pengemban tugas khalifah setelah Nabi ada pula yang bergelar Khulafa Rasyidun, sebagai pengemban amanah kekuasaan yang dinilai baik oleh para ahli sejarah, sedangkan khalifah setelahnya walaupun dalam pelaksanaannya banyak yang mendukung perkembangan khalifah.

Dakwah dan peradaban Islam, namun dalam praktik kenegaraan dan pemerintahannya mengandalkan keturunan, “semi kerajaan”, seperti yang terjadi hingga masa pemerintahan Turki Usmani. Sedangkan gelar kekuasaannya berbeda-beda, seperti sultan dan amir di negara-negara kecil.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana konsep khilafah dalam Islam dan bagaimana keberadaan negara-negara nasional sekarang dikaitkan dengan konsep khilafah di masa lalu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa pendekatan yang digunakan dan menjadi permasalahan epistemologis (metode berpikir) sepanjang masa, khususnya di kalangan ahli hukum siyasah.

Khalifah setelah Khulafa Rasyidin dari tahun 661 M-1924 M sebanyak Tujuh Dinasti dengan, yaitu Bani Umayyah (661-750 M- 14 orang), Bani Abbasiyah (750-1258 M-37 orang), Bani Umayyah Spanyol (756-1031 M – 18 orang), Fathimiyah Mesir (909-1171 M- 14 orang), Turki Ottoman (1299 – 1924 M- 37 orang), Syafawi Iran (1501-1722 M- 9 orang), Moghul India (1526 M-tidak jelas berapa jumlahnya).

Ada tiga kelompok pemikir Islam dalam menafsirkan negara khilafah. Pertama, mengingkari sama sekali bahwa Islam mempunyai konsep negara dalam Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Thaha Husein dan Ali Abdurraziq dalam karyanya, Al-Islam wa Ushul al-Hukmi.

Teori politiknya disamakan dengan teori politik barat yang sama sekali tidak mengakui agama dalam politik. Mereka menyamakan Islam dengan Kristen.

Kedua, Islam mempunyai nilai-nilai pemerintahan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana dikemukakan oleh sarjana Mesir, penulis Hayatu Muhammad, yaitu Muhammad Husein Haikal; ketiga, mewajibkan kembalinya masa Nabi Khulafa Rasyidun seperti disampaikan oleh Hasan Al-banna, Sayyid Qutub, Syekh Rasyid Ridha, dan Abu al-A’la al-Mududi, bahkan mensyaratkan kembalinya khilafah didirikan, seperti yang disampaikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani.

Konsep khilafah sebenarnya sangat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam secara global. Pemerintahan Islam pada masa lalu sangat sukses dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat.

Mendirikan negara Islam merupakan kewajiban syar’i dan didukung oleh banyak ayat Al-Qur’an dan al-Hadits yang membicarakan hal tersebut karena negara Islam dan pemerintahan Islamlah yang akan melindungi Islam seutuhnya.

Menurut Yusuf al-Qardawi mempunyai ciri-ciri Negara Islam, yang hakikatnya sebagai berikut: Negara Madaniyah mengacu pada Islam, dalam skala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan berdasarkan konstitusi.

Tentang kekuasaan ala kisra, pemerintahan yang memberi petunjuk dan bukan pemungut pajak, melindungi rakyat-rakyat lemah, melindungi hak dan kebebasan, pemerintahan itu berprinsip pada akhlak. Sedangkan sifat negara Islam bukanlah negara teokratis, melainkan pemerintahan sipil.

Baca Juga: Christiaan Snouck Hurgronje: Orientalis dengan Karya Historiografi Islam dan Ragam Kontroversinya

Biografi Abu al-A’la Maududi

Abu al-A’la Maududi lahir pada 25 September 1903, Aurangabad, negara bagian Hyderabad, India dan meninggal pada 22 September 1979, Buffalo, New York, AS. Al- Maududi adalah seorang jurnalis dan teolog Muslim fundamentalis yang memainkan peran penting dalam politik Pakistan.

Al-Maududi lahir dari keluarga bangsawan di Aurangabad di bawah pemerintahan raja Inggris. Ayahnya sempat bersekolah di Anglo Mohammedan Oriental College, yang didirikan oleh Sayyid Ahmad Khan pada tahun 1875 untuk mempromosikan pemikiran modernis di kalangan umat Islam, namun ditarik oleh keluarganya demi pendidikan yang lebih tradisional di Allahabad (sekarang Prayagraj).

Ia menjadi aktif dalam tarekat Sufi (tariqa) ​​dan mengawasi pendidikan Islam tradisional di rumah Mawdūdī pada masa kanak-kanaknya. Mawdūdī mulai belajar di sekolah Islam (madrasah) pada usia 11 tahun, namun krisis dalam keluarga menghalanginya untuk menyelesaikan pendidikannya sebagai ulama (ʿālim).

Di masa dewasanya, ia menjadi yakin bahwa para pemikir Muslim harus dibebaskan dari cengkeraman peradaban Barat atas mereka, demi mendukung aturan hidup, budaya, dan sistem politik dan ekonomi yang unik dalam Islam. Dia mendirikan Jamaʿat-i Islami pada tahun 1941 dengan tujuan untuk melaksanakan reformasi tersebut.

Ketika Pakistan memisahkan diri dari India pada tahun 1947, upayanya berperan penting dalam membimbing negara baru tersebut keluar dari sekularisme pemerintah Barat dan menuju pembentukan sistem politik Islam.

Secara terus-menerus, Mawdūdī mendapati dirinya menentang pemerintah Pakistan. Dia dipenjarakan dari tahun 1948 hingga 1950 dan lagi dari tahun 1953 hingga 1955 dan dijatuhi hukuman mati selama beberapa waktu pada tahun 1953.

Al-Maududi menulis topik yang sangat luas, termasuk filsafat, yurisprudensi Muslim, sejarah, ekonomi, sosiologi, dan teologi. Ia terkenal karena tesisnya bahwa hanya Tuhan yang berdaulat, bukan penguasa manusia, bangsa, atau adat istiadat.

Kekuasaan politik di dunia ini ada untuk menerapkan prinsip-prinsip Sharīʿah (hukum hukum dan moral Islam) yang ditetapkan Tuhan. Karena Islam adalah aturan universal bagi kehidupan manusia, maka negara harus mencakup segalanya dan harus diserahkan kepada umat Islam, meskipun orang-orang yang tidak beriman harus diizinkan untuk tinggal di dalam negara sebagai warga negara non-Muslim.

Karena seluruh umat Islam memiliki hubungan yang sama dengan Tuhan, maka negara ini harus menjadi apa yang Mawdūdī sebut sebagai “teo-demokrasi,” yang mana seluruh komunitas diminta untuk menafsirkan hukum Tuhan.

Dalam mewujudkan obsesinya untuk menegakkan hukum Tuhan di atas hukum buatan manusia, maka kekuatan politik memiliki posisi yang sangat penting.

Baca Juga: Pemikiran Modernisme Islam Muhammad Abduh dan Pengaruhnya terhadap Pembaharuan Islam di Indonesia

Hal itu menunjukkkan bahwa perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atas perangkat negara tidak saja boleh tetapi harus, asalkan dengan tujuan untuk menegakkan agama dan syariah Islam.

Dengan kata lain, jika seseorang berjuang untuk kejayaan pribadi dan ingin mendapatkan kekuasaan untuk tujuan-tujuan pribadi, maka perjuangan itu patut dikutuk.

Tetapi jika kekuatan itu dicari untuk menegakkan agama Allah, maka tidak bisa dibantah lagi itu merupakan jihad di jalan Allah yang tidak boleh disamakan dengan perjuangan karena haus kekuasaan. Pemikiran semacam itu mendorongnya untuk merealisasikan perlunya negara Islam yang bertujuan untuk menegakkan hukum Allah di dunia.

Tujuan pendirian negara Islam menurut Maududi adalah menegakkan sebuah negara di mana Islam dapat dilaksanakan secara keseluruhan. Tujuan yang lebih penting lagi adalah mengembangkan amal-amal kebajikan yang dikehendaki Islam dan mencegah semua kejahatan yang merusak manusia.

Perjuangan yang ia lakukan merupakan proses revolusi dakwah, organisasi dan akuisi kekuatan politik oleh pemimpin-pemimpin yang saleh. Al-Maududi selanjutnya menggambarkan kerangka negara Islam di mana sistem Islam dapat berjalan. la menyimpulkan bahwa untuk hidupnya sistem seperti itu, adanya negara yang kuat mutlak diperlukan.

Kitab Al-Khilafah wa Al-Mulk

Tujuan dari kitab ini adalah untuk mengungkap hakikat khilafah dalam Islam yang sebenarnya. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar awal kekhalifahan Islam, aspek-aspek yang menyebabkan transisi ke monarki, serta dampak dan konsekuensinya terhadap masyarakat.

Kitab ini terdiri dari sembilan bab, pada bab pertama berisi penjelasan Abu al-A’la al-Maududi tentang hikmah apa yang dapat diambil dari Al-Qur’an tentang al-Siyasah, politik misalnya tashawwur al-Qur’an bahwa Allah pencipta alam semesta, manusia dan segala sesuatu yang dapat bermanfaat bagi manusia, bahwa Allah SWT adalah pemilik alam dan segala isinya (Qs al-Baqarah:107; al-An’am:57).

Selain itu beliau juga menegaskan bahwa hukum tertinggi adalah hukum yang telah dibuat oleh Tuhan Yang Maha Esa ‘azza wa jalla (Qs AL-ahzab:36; an-Nur: 47-48).

Dalam bab yang sama, Maududi menjelaskan pentingnya prinsip syura di kalangan umat beriman atau pemilihan umum yang berjalan berdasarkan kebenaran dalam rangka berdirinya negara Islam dan pemilihan kepala negara serta pengatur kekuasaan pemerintahan.

Baca Juga: Pemikiran Pendidikan Islam Fazlur Rahman dan Kaitannya dengan Pendidikan Modern di Indonesia

Tujuan didirikannya Daulah Islamiyah terdiri dari dua hal: pertama, menegakkan keadilan yang berdiri di atas landasan kebenaran dan menjauhi kezaliman; kedua, menegakkan shalat dan menunaikan zakat yang diatur dalam undang-undang setempat. Dalam penjelasannya di akhir bab ini tentang ciri-ciri negara Islam dalam Al-Qur’an yaitu:

  1. Negara harus bebas dari segala penjajahan, dan rakyatnya harus menerima pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan. ​​yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah;
  2. Pemimpin negara hendaknya melaksanakan tugas negara dengan penuh keikhlasan untuk mencapai keridhaan Ilahi;
  3. Sesuai dengan prinsip demokrasi, dengan tetap menjunjung tinggi hukum tertinggi yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah;
  4. Negara adalah negara yang berdiri diatas ideologi pemikiran Islam yang benar, berjalan atas dasar dan landasan dasar keimanan, dan barangsiapa yang tinggal di negara tersebut bukan seorang muslim maka ia wajib menaati hukum yang berlaku di negara tersebut dengan tetap menjaga hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Negara yang berdiri di atas landasan Islam;
  6. Semangat dalam bernegara mengikuti akhlak Islam, tidak sekadar berlandaskan politik kekuasaan, berjalan atas ketakwaan kepada Tuhan, dan sebagainya;
  7. Negara tidak hanya menjunjung tinggi konstitusi militer, tetapi juga bertujuan untuk menjunjung tinggi komando ma’ruf nahi munkar;
  8. Landasan berdirinya negara adalah persamaan hak dan kewajiban serta saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan;
  9. Terjalinnya hubungan yang baik antara penguasa dan rakyat, tidak seperti seorang budak di hadapan majikannya yang harus menuruti segala kemauan majikannya serta tidak memperdulikan kebebasan berpendapat dan syura.

Kemudian pada bab kedua al Maududi menjelaskan tentang pokok-pokok hukum Islam yang terangkum dalam 9 poin, yaitu: 1. Menjunjung hukum ketuhanan; 2. Keadilan antar umat manusia; 3. Prinsip kesetaraan di kalangan umat Islam; 4. Tanggung jawab pemegang kekuasaan; 5. As-Shura; 6. Ketaatan dalam urusan kebaikan; 7. Nasehat untuk tidak meminta kekuasaan; 8. Tujuan negara Islam; 9. Al-amr bil ma’ruf wa nahyu an al-Munkar,

Bab ketiga menguraikan ciri-ciri khas yang terkait dengan Kekhalifahan Rasyid, atau Kekhalifahan Adil dan Benar yang tercatat dalam sejarah. Pada bab keempat, al-Maududi membahas secara singkat penyebab peralihan dari sistem khilafah ke sistem kerajaan.

Selanjutnya, pada bab kelima membahas perbedaan-perbedaan antara sistem khilafah dan kerajaan dan dampak yang timbul terhadap kehidupan kaum muslimin secara umum.

Bab keenam menjelaskan bahwa fenomena hilangnya sistem khilafah rasyidah telah menyebabkan munculnya perselisihan-perselisihan aliran mazhab antara kaum muslimin, dan problem-problem yang muncul bersama kemunculan perselisihan-perselisihan tersebut.

Baca Juga: Relevansi Pemikiran Islam Harun Nasution dalam Pendidikan Era Modern di Indonesia

Al-Maududi menggambarkan bahwa setiap masalah baru menyebabkan timbulnya suatu firkah (kelompok atau firkah yang adakalanya terpecah lagi menjadi kelompok aliran “sempalan” yang kecil. Secara garis besar firkah-firkah itu terbatas pada empat kelompok, yakni Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.

Pada bab ketujuh, kedelapan, dan sembilan menggambarkan tentang daya upaya dan usaha sungguh-sungguh yang telah dikerahkan oleh para ulama demi mengutuhkan kembali keretakan yang diakibatkan oleh peralihan tersebut yang berlangsung dalam tatanan negara.

Penulis: Assyifa Khania Faradila
Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Referensi

Bindhara. (2008). Bedah Buku: Al-Khilafah wa al-Mulk karya Abu al-A’la al-Maududi. https://bindharashout.blogspot.com/2008/10/al-khilafah-wa-al-mulk.html

Ensiklopedia Britanica. (2024). Abū al-Aʿlā al-Mawdūdī: Jurnalis dan Teolog Muslim.  https://www.britannica.com/biography/Abul-Ala-Mawdudi

Fajriudin. (2018). Historiografi Islam: Konsepsi dan Asas Epistemologi Ilmu Sejarah Dalam Islam. (Jakarta: Prenadamedia Group).

Sani, Abdul. (1998). Lintasan Sejarah Perkembangan Modern Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada).

Saukant, Ahmad. (1997). Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam. (Bandung: Pustaka Setia)

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.