Hubungan Asupan Serat dengan Kejadian Prediabetes pada Kelompok Usia Dewasa Muda

Asupan Serat
Ilustrasi: istockphoto

Serat menjadi salah satu dari berbagai komponen zat gizi yang sangat penting dan harus dipenuhi dalam pengaturan diet setiap orang. Serat diklasifikasikan menjadi serat yang dapat larut dalam air dan yang tidak dapat larut dalam air. Serat yang larut dalam air memiliki fungsi untuk menghambat absorbsi zat makronutrien yang secara tidak langsung akan meminimalisir penyerapan glukosa darah.

Hasil penelitian yang ada memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil pada diet yang tinggi kandungan serat larut air dengan diet yang tinggi sumber serat tidak larut air, diet pada asupan serat yang larut dalam air lebih tinggi secara signifikan mampu berpengaruh terhadap penurunan risiko prediabetes bagi kelompok usia dewasa muda.

Berdasarkan pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa semakin tinggi asupan serat terutama serat larut air, maka akan semakin rendah risiko prediabetes terutama pada usia dewasa muda (Zhang dkk, 2022).

Bacaan Lainnya

Rendahnya asupan terhadap serat menjadi salah satu faktor risiko seorang dewasa muda mengalami peningkatan kadar gula darah. Serat dalam tubuh dapat berpengaruh terhadap kadar gula darah, karena fungsi serat yang mampu mengendalikan gula dalam tubuh dengan diperlambatnya penyerapan karbohidrat.

Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa terdapat suatu korelasi antara jumlah asupan serat dengan tinggi rendahnya kadar glukosa darah, yang secara spesifik dinyatakan bahwa seseorang yang kekurangan asupan serat dapat berisiko 2,5 kali lebih tinggi untuk menderita penyakit diabetes.

Apabila asupan serat makin rendah, maka kadar diabetes makin tinggi, sehingga keberadaan serat dalam tubuh sangatlah penting karena berperan untuk mencegah dan mengendalikan kondisi tidak normalnya kadar glukosa darah.

Prediabetes berkaitan dengan berbagai gangguan metabolisme, termasuk obesitas, hipertensi dan dislipidemia, yang mungkin berkontribusi pada peningkatan morbiditas dan mortalitas (Bagheri et al., 2016 & Zhang et al., 2015). Pengendalian terhadap diabetes perlu ditekankan dengan mengidentifikasi faktor risiko yang untuk mencegah adanya komplikasi dengan penyakit lain.

International Diabetes Federation (IDF) mengungkapkan jika angka prevalensi secara keseluruhan diagnosis prediabetes pada orang dewasa adalah sekitar 7-5% pada tahun 2019 dan akan meningkat menjadi 8-0% pada tahun 2030 (Wang et al., 2017).

Oleh karena itu, dengan perkiraan meningkatnya angka diabetes di dunia maka harus dilakukan pencegahan prediabetes sebagai tahap awal tidak normalnya kadar gula darah akibat faktor risiko yang mungkin terjadi.

Seseorang dengan penyakit diabetes tipe 2 sebagian besar sebelumnya telah mengalami prediabetes. Prediabetes terjadi sebagai akibat dari insulin yang mengalami resistensi dan proses sekresi insulin yang telah terjadi insufisiensi.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya prediabetes seperti gaya hidup (rendah serat, kurang aktivitas, merokok), gaya hidup, dan faktor demografi. Kondisi tersebut apabila berlangsung terus menerus dan tidak terdeteksi dapat memicu penurunan kesehatan.

Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan kesehatan yang bertujuan untuk mengontrol kondisi kesehatan seseorang dan mendeteksi adanya perubahan kesehatan akibat penyakit.

Gaya hidup yang kurang baik termasuk pola makan yang tidak sehat menjadi salah satu faktor risiko ketidakseimbangan asupan yang menjadi penyebab penyakit diabetes dan memicu terjadinya penyakit tidak menular lainnya.

Pola makan individu akan mempengaruhi kondisi tubuh, artinya apabila seseorang mengalami kekurangan asupan terhadap zat gizi tertentu maka akan mengakibatkan munculnya berbagai penyakit. Intervensi gaya hidup intensif (misalnya, modifikasi diet dan peningkatan aktivitas fisik) dan intervensi farmakologis (misalnya, metformin) dapat secara signifikan mengurangi risiko perkembangan diabetes (Howells et al., 2016).

World Health Organization (WHO) yang memprediksi akan terjadi peningkatan angka penderita diabetes dengan jumlah yang cukup tinggi sekitar 8,4 juta jiwa yang akan terus meningkat pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta jiwa dengan angka pertumbuhan mencapai 152% (WHO, 2006).

Hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya kasus DM disertai dengan gaya hidup dan pola makan yang buruk mampu mempengaruhi kadar gula darah. Sehingga pola makan yang baik penting untuk diterapkan agar kadar gula darah dapat dikontrol.

Gejala diabetes mellitus seringkali diabaikan oleh masyarakat sehingga penyakit baru dapat terdeteksi ketika sudah dalam kondisi yang kronis. Diabetes mellitus menjadi suatu masalah kesehatan yang perlu segera ditangani untuk menurunkan angka prevalensinya yang dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan.

Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF) angka diabetes melitus di seluruh dunia mencapai 537 juta yang terjadi pada orang dewasa dengan rentang usia 20-70 tahun dan hal tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan.

Adanya peningkatan prevalensi tersebut seiring dengan pengaruh faktor bertambahnya usia dan akan meningkat secara signifikan pada orang dengan usia di dalam rentang 45-54 tahun (Tina dkk, 2019).

Adanya peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus maka diperlukan tindakan pencegahan yang optimal. Pencegahan penyakit diabetes mellitus dapat dilakukan dengan melihat faktor risiko yaitu yang bersifat dapat diubah dan tidak dapat diubah.

Pencegahan dapat dimulai dengan memperbaiki penyebab yang dapat diubah, seperti halnya pola konsumsi makanan, pola istirahat, aktivitas fisik, dan pengelolaan stres yang baik, sedangkan pada usia dan genetik menjadi faktor risiko yang bersifat tidak dapat diubah (Kemenkes, 2014).

Jika seseorang sudah terdiagnosis diabetes mellitus maka penyakit tersebut kemungkinan akan dialami seumur hidup, sehingga sebelum terjadinya hal tersebut diperlukan pencegahan sedini mungkin dengan mengetahui mulai dari bagaimana proses penyakit tersebut dapat menyerang sampai dengan penatalaksanaan atau perawatan intensif yang harus dilakukan (Solistijo, 2020).

Usia dewasa muda berada pada rentang usia 20-40 tahun. Orang dalam usia tersebut umumnya berada pada jenjang usia dengan sikap maupun perilaku yang lebih matang untuk dapat mencerna informasi kesehatan yang diterima. Namun, usia dewasa muda merupakan masa seseorang mengalami produktivitas yang tinggi sehingga tidak jarang seseorang mengabaikan gaya hidup dan tidak menerapkan tindakan pencegahan.

Hal tersebut jika terjadi secara terus menerus cenderung menjadi faktor peningkatan risiko munculnya diabetes mellitus akibat pola hidup yang tidak diimbangi dengan tindakan preventif (Ramadhani & Khotami, 2023).

Usia dewasa muda dengan riwayat prediabetes yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi diabetes mellitus. Diabetes mellitus merupakan kondisi di mana tingginya kadar glukosa darah atau hiperglikemia yang terjadi karena tidak tercukupinya produksi insulin yang mengakibatkan tidak memadainya sekresi insulin, sehingga kedua menjadi penyebab insulin yang mengalami resistensi.

Meskipun tubuh tetap mampu menghasilkan insulin, namun kualitas yang dihasilkan buruk dan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik untuk proses pengangkutan glukosa ke dalam sel (Perkeni, 2021). Hal tersebut lah yang menjadi penyebab utama glukosa darah mengalami peningkatan.

Penatalaksanaan pada seseorang dengan diagnosis prediabetes salah satunya yaitu dengan mencukupi kebutuhan asupan serat yang adekuat pada makanan yang dikonsumsi sehari-hari.

Serat di dalam suatu makanan ketika masuk ke dalam tubuh akan bekerja dengan cara menyerap banyak cairan yang ada pada lambung sehingga akan mempengaruhi proses pencernaan dan penyerapan glukosa yang terjadi cenderung akan diperlambat.

Menurut Perkeni (2018) menyebutkan bahwa penatalaksanaan diabetes dapat melalui terapi nutrisi yang salah satunya melalui pengaturan diet dengan mengonsumsi sumber makanan tinggi serat. Makanan tinggi serat yang mempengaruhi penyerapan glukosa dipercaya dapat berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah.

Asupan serat yang harus dipenuhi sebagai penatalaksanaan terapi nutrisi bagi orang dengan riwayat prediabetes harus adekuat. Pemilihan sumber dan jenis bahan makanan untuk memenuhi serat yang adekuat harus dilakukan agar upaya untuk menurunkan kadar glukosa darah dapat berjalan dengan maksimal.

Anjuran konsumsi serat yang cukup bagi penderita DM adalah 20-35 gram per hari dan pada orang sehat dianjurkan untuk selalu memenuhi asupan serat sebesar 25 gram per hari (Perkeni, 2018).

Begitu pun bagi orang dengan riwayat prediabetes yang ingin terbebas dari kondisi hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa darah menjadi tidak normal, maka harus selalu mengupayakan untuk memenuhi asupan serat secara optimal.

Penulis: Sausan Salma Azzahra
Mahasiswa Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0811-2564-888
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.