Hukum Transfusi Darah dalam Islam

Transfusi Darah

Menurut hukum Islam, pada dasarnya darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram untuk dimakan dan dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 3:

…..بِهِ اللَّهِ لِغَيْرِ أُهِلَّ وَمَا الْخِنْزِيرِ وَلَحْمُ وَالدَّمُ الْمَيْتَةُ عَلَيْكُمُ حُرِّمَتْ

“Diharamkan bagimu (mempergunakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang djsembelih bukan alas nama Allah…”

Ayat diatas pada dasarnya melarang memakan maupun mempergunakan darah, baik secara langsung ataupun tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan darah, maka mempergunakan darah dibolehkan dengan jalan transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang berbunyi sebagai berikut:

Bacaan Lainnya

       …..جَمِيعًا  النَّاسَ أَحْيَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهَا وَمَنْ

“… Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.…”

Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat Islam, yaitu bahwa sesungguhnya syariat Islam itu baik dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan darah dalam transfusi darah adalah untuk menjaga keselamatan jiwa seseorang yang merupakan hajat manusia dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menyelamatkan jiwanya.

Maka, dalam hal ini najis seperti darah pun boleh dipergunakan untuk mempertahankan kehidupan. Misalnya seseorang yang menderita kekurangan darah karena kecelakaan, maka dalam hal ini diperbolehkan menerima darah dari orang lain.

Hal tersebut sangat dibutuhkan (dihajatkan) untuk menolong seseorang yang keadaannya darurat, sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi:

اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً.

“Perkara hajat (kebutuhan) menempati posisi darurat (dalam menetapkan hukum Islam), baik yang bersifat umum maupun yang khusus.”

لاَحَرَامَ مَعَ الًضَّرُوْرَةِ وَلاَكَرَاهَةَ مَعَ الْحَاجَةِ.

“Tidak ada yang haram bila berhadapan dengan keadaan darurat, dan tidak ada yang makruh bila berhadapan dengan hajat (kebutuhan).”

Maksud yang terkandung dalam kedua Qaidah tersebut menunjukkan bahwa Islam membolehkan hal-hal yang makruh dan yang haram bila berhadapan dengan hajat dan darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat dan keadaan darurat.

Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada yang lain, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian, karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk ditransfer kepada pasien yang membutuhkannya saja.

مَا أُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ بِقَدْرِ تَعَزُّرِهَا.

Sesuatu yang dibolehkan karena  darurat dibolehkan hanya sekedar menghilangkan kedharuratan itu.”

Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Maka penyimpangan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa dapat dibenarkan, asal tidak melampaui batas.

Keadaan keterpaksaan dalam darurat tersebut bersifat sementara, tidak permanen. Ini hanya berlaku selama dalam keadaan darurat.

Jadi, boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim demi menolong dan menghormati harkat martabat manusia. Adapun dalil syar’i yang bias menjadi pegangan untuk membolehkan transfuse darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqh islam yang berbunyi: “Bahwasannya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya.”

Tim Penulis:

1. Moch Iqbal Maulana Azis
Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia

2. Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Referensi:

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.

http://wiwidituwidya.blogspot.co.id/2013/03/transfusi-darah.html

http://eprints.undip.ac.id/43759/2/DefitaRatnaWati_G2A009047_Bab1KTI.pdf

http://www.alodokter.com/selain-bermanfaat-transfusi-darah-juga-berisiko

http://multazam-einstein.blogspot.co.id/2013/01/hukum-transfusi-darah-dalam-islam.html

http://ki-stainsamarinda.blogspot.co.id/2013/05/transfusi-darah-menurut-islam.html

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses