Hukuman Mati Menurut Hukum Indonesia

Hukum
Ilustrasi Hukuman Mati

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat.

Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru.

Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan di pelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut di atas.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Banyaknya Penegak Hukum yang Melanggar Hukum, Mau Jadi Apa Negara Ini?

Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah, atau dikurangkan ternyata merupakan harapan hampa belaka.

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain.

Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan. Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini.

Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi), dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan.

Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektit yang pembalasannya ditujukan sekadar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.

Dari pengalaman empiris sampai saat ini terbukti bahwa, Indonesia termasuk kelompok retensionis terhadap pidana mati, de jure dan de facto. Masalahnya adalah bagaimana caranya menjaga keseimbangan perasaan antara kaum retensionis dan kaum abolisionis di kalangan masyarakat yang di Indonesia yang masing-masing jumlahnya sangat banyak.

Sehubungan dengan kenyataan di atas, konsep rancangan KUHP mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana pokok dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional.

Baca Juga: Penerapan Sanksi Hukum pada Perusahaan yang tidak Memberikan Upah pada Karyawan saat Penjatuhan Masa Skorsing

Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena merupakan kompromi dari pandangan retensionis dan abolisionis.

Adanya bahaya-bahaya dan kejahatan-kejahatan besar yang menimpa dan mengancam kehidupan masyarakat, memberikan hak pada masyarakat sebagai kesatuan untuk menghindarkan dan pembelaan terhadap kejahatan dengan memakai senjata, salah satunya adalah pidana mati.

Bila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap mempertahankannya, maka ia juga mendapat penentang yang semakin hari semakin banyak jumlahnya.

Yang dianggap sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini adalah Beccaria dengan karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene (1764). Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunuh anaknya sendiri.

Hakim menjatuhkan pidana mati tapi Voltaire kemudian dapat membuktikan bahwa Jean Calias tidak bersalah sehingga namanya direhabilitasi. Walaupun demikian ia telah mati tanpa salah, akibat pidana mati yang diperkenankan pada waktu itu.

Pada saat sekarang ini negara kita masih perlu ancaman pidana yang keras untuk mengawal dalam proses pembangunan negara, maka pidana mati masih perlu dipertahankan eksisitensinya dalam susunan sanksi pidana di Indonesia.

Agar pelaksanaan pidana mati haruslah hati-hati dan secara selektif diperuntukkan terhadap kejahatan-kejahatan yang berat, dan kejahatan yang membahayakan keamanan negara.

Sanksi pidana mati sebagai sanksi pidana yang keras dan kejam, sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip subsidieritas, digunakan sebagai sarana ultimum remidium (obat terakhir), penerapannya bersifat eksepsional, dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, mengingat sifat pidana mati sebagai sanksi pidana non evaluatif.

Penulis:

Rido Saputra
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lancang Kuning

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI