Implikasi Psikologis Tradisi Cium Hidung Sumba di Era Modern

Tradisi Cium Hidung Sumba
Sumber: berita62.

Sumba, Nusa Tenggara Timur terkenal dengan budayanya yang unik salah satunya adalah tradisi cium hidung yang merupakan simbol kekeluargaan, persahabatan dan perdamaian.

Masyarakat Sumba melestarikan tradisi dari generasi ke generasi dengan mejunjung tinggi nilai-nilai adat mereka. Salah satu ciri khas masyarakat sumba yaitu cium hidung yang selalu dilakukan dan dianggap sebagai simbol kasih sayang dan kekerabatan antar masyarakat. Hanya dalam kasus tertentu seperti proses perkawinan, kedukaan, pesta adat, dan acara perdamaian cium hidung dapat dilakukan (Nurul Nugraha et al., 2021).

Orang Sumba percaya bahwa mempunyai hubungan darah atau hubungan daging dengan orang lain yang biasa disebut dengan “Patolu wairiang” artinya “Berdarah daging”, hal ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari rahim yang sama, karena adanya hubungan darah daging sehingga cium hidung “Papuduk” (dalam bahasa Sumba Timur) merupakan simbol kasih sayang dan persaudaraan.

Orang Sumba percaya bahwa semua masyarakat yang di Sumba adalah saudara kandung karena mereka berasal dari satu nenek moyang. Praktik cium hidung masih dilestarikan dan dijaga dengan bangga oleh masyarakat Sumba meskipun mereka menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi.

Bacaan Lainnya

Untuk mempertahankan warisan budaya yang kaya dan menjaga generasi mendatang terhubung dengan akar tradisi mereka, upaya pelestarian budaya seperti ini sangat penting (Firdausi & Amah, 2023).

Dalam tradisi “cium hidung”, bibir harus tertutup, tangan harus berpegangan di bahu orang yang dicium, mata harus memandang orang yang dicium, menahan nafas, dan orang yang dicium hanya pada ujung hidung. Oleh karena itu, anak-anak harus mencium orang lebih tua saat bertemu untuk menunjukkan rasa hormat.

Meskipun berciuman antar lawan jenis, orang yang melakukan cium hidung tidak memiliki hasrat seksual, sehingga tradisi ini tidak dianggap sebagai bentuk seksual (Nurul Nugraha et al., 2021).

Hubungan antar masyarakat Sumba, NTT dengan adanya perkembangnya tradisi cium hidung yaitu sangat erat dan mendalam di antara masyarakatnya. Selaras dengan penuturan seorang Pendeta GMIT, dari Loboae, NTT (dalam Christine, 2015) yang menyatakan bahwa cium hidung ini memiliki makna penghormatan bagi orang yang akan di beri salam.

Baca Juga: Tradisi Rasulan di Gunungkidul Dapat Dikaitkan dengan Antropologi, Kok Bisa?

Tradisi cium hidung bertujuan untuk menyambut orang dengan senang hati. Di kehidupan sehari hari, tradisi cium hidung dijadikan sebagai simbol perdamaian. Pendeta GMIT (dalam Christine, 2015) juga mengungkapkan bahwa makna dari cium hidung ini sangat mendalam untuk masyarakat Sumba NTT.

Cium hidung ini adalah warisan leluhur yang menyimpan arti bahwa sesama manusia seharusnya saling menerima dan memberi tanpa pamrih, serta mengaktualisasikan rasa peduli kepada sesama dengan tidak menilai dari status sosialnya.

Tradisi cium hidung mempunyai peranan utama di dalam proses permasalahan yang dialami oleh masyarakat Sumba NTT. Masyarakat Sumba NTT juga masih mempercayai dan melestarikan tradisi cium hidung sebagai sebuah tradisi yang harus dilaksanakan ketika ketemu dengan seseorang yang berasal dari Sumba NTT.

Dampak tradisi cium hidung terhadap modernisasi di NTT memperlihatkan bahwa masyarakat NTT mampu beradaptasi dan mengintegrasikan tradisi cium hidung atau budaya cium hidung mereka dengan perubahan sosial yang terjadi.

Perubahan sosial yang dialami masyarakat NTT khususnya anak muda yaitu seiring dengan adanya perkembangan zaman, masyarakat NTT mengadaptasi tradisi cium hidung ini agar lebih sesuai dengan konteks sosial yang sedang berkembang saat ini.

Generasi Muda NTT melakukan tradisi cium hidung dengan cara yang lebih praktis, yaitu dengan menyentuhkan hidung tanpa harus menempelkannya. Perubahan ini dilaksanakan untuk menyesuaikan dengan gaya hidup modern, namun tetap mempertahankan esensi dan makna simbolik yang terkandung dari tradisi cium hidung tersebut.

Baca Juga: Upacara Mapag Panganten dalam Tradisi Adat Pernikahan Sunda 

Hal ini membuktikan daya tahan dan ketangguhan budaya lokal dalam menghadapi arus modernisasi, serta upaya untuk tetap mempertahankan identitas dan nilai-nilai budaya yang dianggap penting.

Implikasi psikologi tradisi ‘Papuduk’ Sumba bukan hanya sebutan untuk praktik cium hidung; itu adalah ekspresi yang menghidupkan nilai-nilai kekeluargaan dan persahabatan serta memiliki dampak yang mendalam pada masyarakatnya.

Sebagai penanda identitas sosial, tradisi ini mengonfirmasi keanggotaan individu dalam komunitas, memperkuat rasa kebersamaan, dan membangkitkan kebanggaan akan warisan budaya. Hubungan interpersonal diperkaya melalui kedekatan emosional dan spiritual yang terjalin saat berbagi momen ‘Papuduk’, menciptakan rasa saling percaya dan penghargaan yang mendalam (Firdausi & Amah, 2023).

Dari sudut pandang psikologis, praktik ‘Papuduk’ bukan sekadar praktik sosial; melainkan adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang, mengukuhkan identitas budaya dan memperkuat hubungan interpersonal.

Praktik ini memenuhi kebutuhan dasar manusia akan kenyamanan dan rasa aman, serta berkontribusi pada kesejahteraan emosional masyarakat. Sebagai simbol perdamaian, ‘Papuduk’ digunakan untuk menunjukkan resolusi konflik dan harmoni sosial, menunjukkan ketulusan hati dalam memaafkan dan berdamai.

Ekspresi kasih sayang dan hormat yang mendalam melalui ‘Papuduk’ mencerminkan keberanian, kejujuran, dan ketulusan, yang sangat penting untuk pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial yang kuat.

Dalam menghadapi modernisasi, ‘Papuduk’ tetap relevan dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial, sambil mempertahankan nilai-nilai tradisional. Ini menunjukkan bagaimana tradisi dapat terus memiliki makna dan relevansi dalam masyarakat yang terus berkembang.

Penulis:
1. Khairunnisa Salsabila
2. Elfiya Khoirunisa
3. Diana Kristati Goring

Mahasiswa Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Referensi

Firdausi, F. U., & Amah, Y. N. T. (2023). Kearifan Lokal Sumba Timur Dalam Tradisi Cium Hiung (Papuduk) Sebagai Sumber Media Pembelajaran Sosiologi Di Sma Negeri 1 Nggaha Ori Angu. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9(14), 1–7.

Lily Christine Hunga Dake. (2015). Tradisi Cium Hidung (Studi Antropologis-Teologis Terhadap Budaya Di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur). Skripsi.

Nurul Nugraha, R., Dewi, L., Purnama, N., Alica Putri, A., & Studi Pariwisata Fakultas Ekonomi dan Bisnis, P. (2021). PENGEMBANGAN KAMPUNG ADAT PRIIJING SEBAGAI DESA WISATA (REBRANDING) DESA TEBARA KABUPATEN SUMBA BARAT Development Praijing Traditional Village as a Rebranding Village of Tebara Village, West Sumba Regency. Turn Journal, 1(2), 59–71.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses