Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berekspresi dan hak menyampaikan pendapat. Dalam perjalanan sejarah bangsa, mahasiswa telah menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan perubahan sosial dan politik.
Namun, fenomena intervensi militer terhadap mahasiswa yang kerap terjadi di berbagai momentum aksi menunjukkan adanya kemunduran dalam praktik demokrasi di Indonesia.
Intervensi militer terhadap mahasiswa bisa dimaknai sebagai bentuk keterlibatan aparat bersenjata, baik TNI maupun institusi yang berkaitan, dalam merespons atau menekan kegiatan mahasiswa yang bersifat kritis, demonstratif, atau menyuarakan aspirasi publik.
Intervensi ini tidak hanya membatasi ruang gerak mahasiswa, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi yang seharusnya melindungi hak asasi manusia, khususnya hak kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Isi
Mahasiswa sebagai Pilar Demokrasi
Sejarah membuktikan bahwa mahasiswa memiliki peran besar dalam menjaga dan mengawal jalannya pemerintahan yang adil dan bersih. Reformasi 1998 adalah contoh withering nyata bagaimana kekuatan ethical mahasiswa mampu menggulingkan rezim otoriter.
Dalam konteks hukum tata negara, mahasiswa sebagai warga negara memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Namun ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir, ruang-ruang aspirasi mahasiswa semakin terhimpit. Demonstrasi yang digelar sering kali berujung pada represivitas aparat, intimidasi, bahkan pelibatan militer dalam pengawasan dan pembubaran aksi.
Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip negara demokrasi, di mana aparat seharusnya menjadi pelindung, bukan alat penindas.
Militer dan Fungsi Sipil
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, TNI memiliki fungsi utama sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai institusi yang berwenang menangani urusan sipil.
UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menegaskan bahwa TNI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi dalam ranah sipil, kecuali dalam kondisi darurat dan atas perintah presiden.
Maka, setiap bentuk keterlibatan militer dalam aksi mahasiswa atau kegiatan sipil lainnya tanpa dasar hukum yang kuat merupakan pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil.
Jika militer mulai terlibat dalam pengawasan kehidupan kampus atau kegiatan akademik mahasiswa, maka hal tersebut adalah bentuk kemunduran dari reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Reformasi tersebut menegaskan pentingnya pemisahan peran antara militer dan kepolisian serta penghapusan fungsi-fungsi dwi peran ABRI pada masa Orde Baru.
Baca Juga: Militer di Negara Demokrasi
Dampak Intervensi Militer terhadap Dunia Akademik
Dunia akademik seharusnya menjadi ruang bebas untuk berpikir, berdiskusi, dan mengkritisi kondisi sosial-politik secara ilmiah. Intervensi militer, dalam bentuk pengawasan terhadap dosen atau mahasiswa, pembubaran diskusi, hingga pelarangan aksi damai, merupakan ancaman nyata terhadap kebebasan akademik.
Hal ini menciptakan iklim ketakutan, autocensorship, dan menghambat tumbuhnya pemikiran kritis di kalangan mahasiswa.
Universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi harus menjadi benteng terakhir dalam menjaga kebebasan berpendapat. Jika kampus tunduk pada tekanan kekuasaan atau intervensi militer, maka hilanglah peran strategis kampus dalam membangun generasi kritis, progresif, dan berani menyuarakan kebenaran.
Perlunya Penguatan Supremasi Sipil dan Penegakan Hukum
Intervensi militer terhadap mahasiswa menunjukkan bahwa masih lemahnya kontrol sipil terhadap kekuatan militer di Indonesia. Dalam sistem hukum tata negara yang sehat, supremasi sipil harus menjadi prinsip utama, di mana institusi militer tunduk pada otoritas sipil yang sah.
Penguatan lembaga-lembaga pengawasan seperti DPR, Komnas HAM, dan masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa setiap tindakan aparat tidak melampaui kewenangan hukum.
Selain itu, aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun TNI, harus menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip hak asasi manusia dan run the show of law.
Mahasiswa tidak boleh diperlakukan sebagai ancaman negara hanya karena menyuarakan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, negara harus menjamin ruang ekspresi yang aman dan kondusif bagi generasi muda.
Kesimpulan
Intervensi militer terhadap mahasiswa merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip negara demokrasi dan supremasi hukum. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus dilindungi hak-haknya, bukan dibungkam.
Perlu adanya komitmen bersama dari semua elemen bangsa untuk menjaga ruang-ruang demokrasi tetap terbuka, termasuk di lingkungan kampus. Reformasi tidak boleh mundur, dan peran militer harus tetap berada dalam rel konstitusi.
Penulis: Muhammad Ryandio Alghifary
Mahasiswa Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Haryanto, Ignatius. Militer dan Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Heryanto, Ariel. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London: Routledge, 2006.
Sukardi, Syarifuddin. “Reformasi Sektor Keamanan dan Masa Depan Demokrasi Indonesia.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 7, No. 1, 2003, hlm. 45–61.
Komnas HAM. Laporan Tahunan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM, berbagai tahun.
Wahid, M. Syafi’i. Mahasiswa dan Perubahan Sosial: Peran Politik Gerakan Mahasiswa. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Nordholt, Henk Schulte & Gerry van Klinken (Ed.). Democratisation in Indonesia after the Fall of Suharto. Leiden: KITLV Press, 2007.
Ikuti berita terbaru di Google News