Bukan lautan hanya kolam susu, jaring dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Lirik legendaris lagu Kolam Susu yang dibawakan oleh Koes Plus merupakan ekspresi ketakjuban terhadap kekayaan sumber daya alam hayati di laut.
Walau menggunakan ungkapan kiasan, menyandingkan lautan dengan kolam susu rasanya tak terlalu berlebihan. Sebab, laut mengandung sumber daya hayati yang berlimpah untuk mencukupi kebutuhan pangan manusia, layaknya kolam susu bernutrisi dan tiada habisnya.
Sumber daya hayati yang dikenal untuk konsumsi manusia antara lain ikan, udang, kepiting, kerang, teripang, dan rumput laut. Di antara sumber daya hayati tersebut, yang paling banyak dikonsumsi adalah ikan. Mulai dari ikan teri hingga ikan tuna, tentu lumrah dikonsumsi oleh berbagai kalangan.
Baca Juga: Manfaat Landak Laut bagi Kesehatan dan Kaitannya dalam Bidang Kefarmasian
Bahkan, dapat ditilik dari zaman kuno bahwa bangsa-bangsa di dunia telah memanfaatkan laut secara bebas dan terbuka untuk penangkapan ikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia di seluruh dunia (Marlina, 2021).
Oleh karena itulah, sejak dahulu telah ada praktik penangkapan ikan di laut oleh nelayan-nelayan tradisional dengan teknologi yang masih sederhana.
Di era modern ini, konsumsi ikan terus mengalami peningkatan karena dipengaruhi oleh kombinasi dua faktor yakni jumlah populasi manusia dan penemuan teknologi di bidang perikanan.
Jumlah populasi manusia yang terus meningkat memiliki konsekuensi logis terhadap peningkatan permintaan, sehingga bidang industri dan IPTEK pun mengembangkan solusi dengan penggunaan teknologi seperti alat pencari ikan (fish finder), pukat tarik (seiner), pukat hela (trawler), dan kapal penangkap ikan yang canggih.
Dalam laporan The State of World Fisheries and Aquaculture dapat diketahui hasil dari kombinasi dua faktor tersebut, bahwa peningkatan konsumsi ikan global pada rerata tahunan sebesar 3,1 % dari tahun 1961 hingga 2017, yakni peningkatan yang hampir dua kali lipat tingkat pertumbuhan populasi dunia sebesar 1,6%.
Kondisi peningkatan tersebut selaras dengan fakta bahwa ikan menyediakan 20% rata-rata konsumsi protein hewani per kapita bagi lebih dari 3 miliar orang (FAO, 2022).
Baca Juga: Meningkatkan Kepedulian Sosial melalui Perlindungan Lingkungan
Maka dari itu, tidak heran jika sektor perikanan laut disebut-sebut sebagai sektor yang sangat signifikan untuk memenuhi kebutuhan protein manusia di seluruh dunia.
Di sisi lain, menunjukkan bahwa kemampuan teknologi buatan manusia memungkinkan terjadinya eksploitasi besar-besaran untuk mengoptimalkan jumlah tangkapan ikan.
Namun, paparan di atas bukanlah sekadar fakta tentang keadaan sebagaimana adanya. Sebenarnya dapat dihayati untuk memahami pengaruh kita di era antroposen–eranya kerakusan manusia yang menempatkan ekosistem bumi sebatas pelayan kebutuhan manusia (Susilo, 2019).
Untuk itu, perlu diingat kembali lirik lagu Kolam Susu, bukankah lirik legendaris Kolam Susu itu seakan sedang ingin menimang-nimang kita bagaikan bayi? Tentu saja tidak, lirik lagu itu adalah pengingat tentang kekayaan laut yang bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan pangan manusia.
Kenyataannya ternyata berbanding terbalik, sekarang justru kita menjadi terlalu nyaman bagaikan bayi yang ditimang-timang dan diminumi susu hingga akhirnya terlelap. Alhasil, kita tidak mampu memahami bahaya dari kondisi pasokan ikan di laut yang menurun drastis.
Parahnya, kita menganggap bahwa laut akan selalu menyediakan stok ikan hingga anak dan cucu di masa depan. Kita menganggap laut sebagai pemberi sumber kehidupan yang tidak terbatas. Kita menganggap dengan keyakinan “akan selalu ada sesuatu lagi”.
Anggapan-anggapan demikian adalah kesalahan besar, karena laut tidak mampu menyediakan kebutuhan konsumsi ikan tanpa batas. Kondisi terkini telah jelas bahwa ada dampak nyata dari praktik penangkapan ikan dengan penggunaan teknologi yang sama sekali tidak berkelanjutan.
Menurut publikasi PBB, sebesar 80% stok ikan dunia telah dieksploitasi secara penuh atau dieksploitasi secara berlebihan (UN, 2010). Data dari PBB itu sungguh mengkhawatirkan, karena akan menjadi permasalahan serius bagi pemenuhan kebutuhan protein manusia di masa kini dan masa depan.
Jika sudah begini, mana mungkin ikan dan udang menghampiri? Mustahil rasanya, yang ada adalah kekurangan stok ikan yang mengancam eksistensi manusia.
Apalagi, diperparah dengan praktik eksploitatif (Illegal Unreported and Unregulated Fishing) yang dilakukan oleh negara-negara yang telah kekurangan pasokan ikan yakni melalui penangkapan ikan di Laut Bebas dan Laut Teritorial negara lain (Woody, 2019).
Malangnya, UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 yang dianggap sebagai konstitusi di bidang hukum laut internasional tidak mengatur terlalu banyak tentang konservasi ikan di laut.
UNCLOS 1982 lebih banyak berfokus pada pembagian zona laut yang dibutuhkan untuk menciptakan kepastian di kancah internasional.
Dari 320 pasal, hanya ada beberapa pengaturan tentang konservasi ikan di laut yakni di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebagaimana tertera dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2), Pasal 62 ayat (4), Pasal 63 ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) UNCLOS 1982 serta di Laut Bebas sebagaimana tertera dalam Pasal 117 dan Pasal 118 UNCLOS 1982.
Minimnya pengaturan di kancah internasional berpengaruh pada kurangnya sense of urgency negara-negara di seluruh dunia untuk mengelola konservasi ikan di laut. Padahal, sudah menjadi kewajiban untuk mengupayakan konservasi ikan di laut secara global melalui kerja sama internasional.
Di lain sisi, memang sudah ada berbagai bentuk kerja sama internasional untuk pengelolaan perikanan yang dilakukan sejak tahun 1990-an, tetapi belum menghasilkan kiprah yang berarti karena upaya pemulihannya tidak seimbang dengan eksploitasi besar-besaran selama ini.
Seperti itulah gambaran permasalahan di laut kita, sudah parah, malang pula. Di Indonesia yang disebut sebagai satu-satunya maritime continent in the world, stok ikan di lautnya juga mengalami penurunan.
Sebagian besar stok ikan di Indonesia sudah habis atau ditangkap secara berlebihan (Merk, 2022). Sungguh ironis, apabila stok ikan tinggal kenangan di negara yang wilayah lautnya mencapai sekitar ⅔ wilayah hukumnya (Asshiddiqie, 2021).
Baca Juga: Siklus Krisis 10 Tahunan Indonesia, Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Meskipun demikian, masih ada harapan untuk mencari solusi. Solusi nyata yang harus dilakukan mulai sekarang adalah upaya konservasi secara bottom-up, dari Indonesia hingga internasional.
Di laut teritorial Indonesia yang terbagi dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik (WPPNRI) dilakukan mekanisme perizinan andon penangkapan ikan yang merupakan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dan nelayan kecil dalam rangka mencari fishing ground yang masih potensial (UU No. 11 Tahun 2020, PP No. 27 Tahun 2021, dan Permen KP No. 18 Tahun 2021).
Pengaturan andon penangkapan ikan tersebut sudah cukup kuat untuk menjadi basis konservasi stok ikan karena melibatkan kerja sama antar provinsi. Dengan demikian, pemerintah Indonesia akan mampu memainkan posisi penting dengan menjadi pelopor kerja sama di berbagai Regional Fisheries Management Organization (RFMO).
Untuk melindungi ikan jenis bermigrasi jauh sesuai dengan hukum internasional yang berlaku. Ingat, masih ada harapan. Mari berjuang demi konservasi stok ikan di laut!
Penulis: Melisa Pranata
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Editor: Ika Ayuni Lestari
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. 2021. Green dan Blue Constitution: Undang-Undang Dasar Berwawasan Nusantara. Depok: PT RajaGrafindo Persada.
FAO. 2020. The State of World Fisheries and Aquaculture 2020. Sustainability in action. Rome. Retrieved from https://doi.org/10.4060/ca9229en
Merk, Julia. 2022. Sustainable fishing by 2025: What is the current situation in Indonesia? Retrieved from https://www.dw.com/en/sustainable-fishing-by-2025-what-is-the-current-situation-in-indonesia/a-60134067
UN. 2010. Resumed Review Conference on the Agreement Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks. Retrieved from https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/reviewconf/FishStocks_EN_A.pdf
Purba, Marlina BR. 2021. Ruang Postpositivisme dalam Hukum Laut. Surabaya: DPPI.
Susilo, Rachmad K. Dwi. 2019. Sosiologi Lingkungan. Depok: PT RajaGrafindo Persada.
Woody, Todd. 2019. The sea is running out of fish, despite nations’ pledges to stop it. Retrieved from https://www.nationalgeographic.com/science/article/sea-running-out-of-fish-despite-nations-pledges-to-stop