Jauhi Riba Dekati Sang Pencipta

Jauhi Riba
Jauhi riba (Gambar: Ajaib.co.id)

Rasul SAW pernah bersabda: “Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu. Yang paling rendah seperti menzinahi ibu kandungnya. Dan sesungguhnya riba yang paling riba adalah merusak kehormatan saudaranya”. (HR. Ath-Thabrani)

Dalam hadits tersebut, Rasul katakan bahwa dosa riba yang paling ringan adalah seperti menzinahi ibu kandungnya sendiri. Naudzubillahimindzalik. Mungkin banyak orang yang sudah tahu tentang riba. Tapi sayangnya, tidak sedikit orang yang mempraktikkannya.

Di zaman sekarang ini, orang tidak bisa lepas dari yang namanya riba, karena banyak orang yang berbondong-bondong ingin memenuhi hawa nafsunya dengan cara yang bathil.

Baca juga: Westernisasi dan Dampak Negatifnya bagi Umat Islam

Bacaan Lainnya

Siapa yang mengira bahwa setelah sukses dan berhasil mendirikan binis usaha dengan cara meminjam uang kepada bank yang ada bunganya akan mendapatkan rizki yang halal dan berkah? Padahal, berhutang bukanlah awal dari kesuksesan, melainkan awal dari kehancuran.

Terkadang kita terlalu terlena dengan kehidupan yang menyenangkan. Alhasil, materi (uang) menjadi suatu hal yang dipuja-puja. Sehingga lupa bahwa dunia hanyalah sementara. Seperti lagu yang dinyanyikan oleh Medina, yang berjudul “Dunia Sementara Akhirat Selamanya”.

Riba adalah termasuk dosa besar dan lebih besar daripada melakukan zina. Hal ini seirama dengan sabda Rasul SAW: “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali”. (HR. Ahmad dan Al Baihaqi)

Ibnu Al-‘Araby dalam bukunya Ahkam Al-Qur’an menjelaskan riba dalam arti bahasa adalah kelebihan (tambahan). Muhammad Abu Zarah dalam Buhuts fi al-Riba mendefinisikan riba yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah riba (tambahan, bunga) yang dipraktikan oleh bank maupun masyarakat.

Baca juga: Implementasi Metodologi Studi Islam dalam Kajian Komunikasi dan Penyiaran Islam

Hukum riba adalah haram. Dikutip dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya.

Allah berfirman yang artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri sendiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya terserah kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”. (QS. Al-Baqarah[2]:275)

Sedihnya, tak sedikit manusia yang mau mentaati perintah Allah dan menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah. Mereka lebih memilih hawa nafsu daripada perintah dari Allah. Padahal, beli mobil bekas secara cash lebih mulia dibandingkan beli mobil baru tapi kredit dengan jalan leasing yang diperas untuk memenuhi nafsu keinginan.

Dari Jabir RA, beliau berkata: “Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba”. Beliau mengatakan, “mereka semua itu sama dalam dosa”. (HR. Muslim No.1598)

Terkadang kita terlalu meremehkan kata riba, sampai-sampai tak mengkhawatirkan apa dosa yang akan ditanggung oleh dirinya. Terkadang kita lupa bahwa kita hanyalah menjalankan perintah Allah bukan memutuskan bahwa riba itu halal. Terkadang kita lupa bahwa kita diatur bukan kita yang mengatur.

Baca juga: Permasalahan Saham dalam Ekonomi Islam

Allah SWT berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Ali-Imran[3]:130)

Ayat ini menyuruh kita untuk berubah. Mengapa harus berubah menjadi lebih baik? Karena kita orang beriman. Karena orang beriman adalah orang yang hari ini lebih baik daripada kemarin. Kemarin durhaka kepada orang tua, sekarang sudah tidak durhaka. Kemarin masih makan riba, sekarang stop makan riba. 

Jangan sampai kelak di akhirat kita rugi dan menyesal atas perbuatan kita selama hidup di dunia. Sebab Rasul katakan, orang yang rugi adalah orang yang hari ini sama saja dengan kemarin. Kemarin bersedekah Rp2.000, sekarang bersedekah Rp2.000. Kemarin Ramadhan pertama masjid ramai, tapi setelah Ramadhan masjid sepi. Kemarin tidak membaca Al-Qur’an, sekarang tidak baca Al-Qur’an. Berarti rugi kita.

Kata Rasul SAW, orang yang celaka adalah orang yang hari ini lebih parah daripada kemarin. Kemarin menutup aurat, sekarang malah dibuka auratnya. Kemarin menghafal Qur’an, sekarang sudah tidak menghafal Qur’an. Kemarin sudah berhenti tidak beli motor dengan cara kredit, tapi sekarang malah bayar motor dengan cara berhutang dan meminjam bank yang bahkan itu ada bunganya. Mereka itulah orang orang yang celaka.

Orang beriman itu adalah orang yang hari ini, kemarin, dan besoknya, ia lebih baik. Sedangkan orang bertakwa adalah orang yang hari ini, hari kemarin, dan dia memikirkan apa bekal untuk pulangnya besok.

Hal ini senada dan seirama dengan firman Allah SWT yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk Hari Esok (Akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Tahu atas apa yang kalian kerjakan”. (QS. Al-Hasyr[59]:18-19)

Seorang muslim sudah seharusnya sadar dan paham bahwa riba harus dijauhi. Sebab, kita manusia diminta oleh Sang Pencipta untuk mendekat kepada-Nya dan terhadap aturan-aturan yang telah Dia ciptakan termasuk meninggalkan riba. Karena itu, isi waktu kita untuk tetap terus beribadah kepada-Nya dan melaksanakan segala aturan-aturanNya.

Penulis: Nur Zaytun Hasanah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Pos terkait