Keadilan Sosial di Bawah Bayang-Bayang Militer

Gambar dibuat dengan Teknologi AI.
Keadilan Sosial di Bawah Bayang-Bayang Militer

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang memungkinkan prajurit aktif menempati posisi strategis di lembaga sipil telah memicu perdebatan yang sengit. Dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Kejaksaan, kini TNI resmi “berlabuh” di sektor sipil.

Bagi para pendukung, langkah ini dianggap meningkatkan efektivitas dan respons yang cepat terhadap ancaman modern.

Namun, bagi para kritikus, termasuk penulis, hal ini berpotensi merusak pondasi keadilan sosial yang diamanatkan oleh Pancasila, khususnya pada sila kelima yang menekankan pentingnya “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

“Jalur Cepat” yang Menghambat Kesempatan

Sila kelima menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam jabatan publik.

Bacaan Lainnya

Namun, RUU TNI 2025 menciptakan sebuah “jalur cepat” bagi prajurit TNI yang telah terlatih dan memiliki jaringan internal yang kuat sementara warga sipil biasa harus bersaing melalui proses seleksi publik yang lebih ketat dan panjang.

Kondisi ini menciptakan ketimpangan struktural, di mana kesempatan untuk menduduki posisi strategis di lembaga sipil tidak lagi setara, bertentangan dengan prinsip persamaan kesempatan yang menjadi inti dari keadilan sosial Pancasila.

Lebih lanjut, data dari Badan Kepegawaian Negara menunjukkan bahwa rata-rata proses seleksi untuk posisi pimpinan tinggi di lembaga negara membutuhkan waktu antara 6 hingga 9 bulan dengan melalui tiga tahapan, yaitu tes administrasi, kompetensi, dan wawancara.

Sementara itu, prajurit TNI hanya perlu mendapatkan surat rekomendasi dari atasan tanpa melalui seleksi publik. Bukan hanya timpang, namun kesalahan prosedural ini justru “didukung” oleh sistem yang berlaku.

Distorsi Anggaran: Antara Bantuan Sosial dan OMSP

Revisi UU ini juga memperluas mandat Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang mencakup penanganan ancaman siber dan perlindungan Warga Negara Indonesia di luar negeri.

Tanpa batasan yang jelas, anggaran pertahanan diperkirakan akan meningkat 15% pada 2026 untuk membiayai OMSP, yang berarti harus bersaing dengan anggaran untuk program sosial seperti Program Keluarga Harapan dan subsidi pangan.

Dalam perspektif keadilan distributif yang merupakan ruh dari Pancasila sila kelima, negara berkewajiban mengalokasikan sumber daya demi kesejahteraan seluruh rakyat.

Jika sebagian besar anggaran dialihkan untuk OMSP tanpa batasan, kelompok-kelompok rentan seperti keluarga miskin, penyandang disabilitas, dan masyarakat terpencil akan semakin terpinggirkan. Hal ini bertentangan dengan semangat Pancasila yang menuntut agar negara hadir untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia.

Baca Juga: Apa yang Salah dengan RUU TNI

Transparansi di Ranah Publik

Keadilan prosedural, salah satu aspek keadilan sosial Pancasila, mengharuskan agar proses pengambilan keputusan dilakukan dengan transparan dan akuntabel.

Idealnya, setiap pengisian jabatan sipil oleh TNI harus melibatkan partisipasi publik, komisi etik, serta pengawasan dari lembaga independen seperti KPK atau Ombudsman. Namun, dalam praksisnya, mekanisme pengawasan sipil masih sangat lemah.

Laporan dari ICW mencatat, hanya 20% dari penempatan prajurit aktif di lembaga sipil sejak tahun 2023 yang melalui proses konsultasi atau uji publik.

Ketiadaan pengawasan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan ditetapkan “di balik meja” korps militer, sehingga mengerdilkan hak partisipasi masyarakat. Akibatnya, rakyat kehilangan kontrol atas kebijakan publik yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari mereka.

Hambatan Keadilan Substantif

Keadilan seharusnya membuat setiap kebijakan negara terasa adil dan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. Namun, kenyataannya, banyak kebijakan tidak berjalan efektif karena tumpang tindih wewenang antara lembaga sipil dan militer.

Dalam penanganan bencana, misalnya, koordinasi antara BNPB dan Satgas TNI sering tidak berjalan baik. Akibatnya, bantuan bisa tertunda hingga 48 jam setelah bencana terjadi. Ketidakjelasan peran ini merugikan masyarakat karena pelayanan menjadi lambat dan kebijakan tidak tepat sasaran.

Menurut Samuel P. Huntington, militer sebaiknya tidak terlibat dalam urusan politik agar tetap profesional dan tidak mengganggu urusan sipil.

Revisi Undang-Undang TNI 2025 membuka peluang lebih besar bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil. Hal ini berisiko melemahkan pengawasan sipil dan mengganggu prinsip keadilan sosial dalam Pancasila.

Baca Juga: Biasnya RUU TNI

Peter D. Feaver menjelaskan bahwa jika tentara aktif bekerja di lembaga sipil, pengawasan bisa lemah dan wewenang menjadi pedang bermata dua. Ini bisa mengurangi transparansi dan partisipasi publik yang penting dalam sistem yang adil. Morris Janowitz juga berpendapat bahwa militer yang baik seharusnya fokus pada pertahanan, bukan politik.

Pancasila bukan sekadar doktrin, melainkan merupakan jiwa dari negara kita. Sila kelima menuntut keadilan sosial bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Reformasi TNI harus berupaya menegakkan keadilan struktural, prosedural, dan substantif.

Jika tidak, kita hanya akan mengganti satu bentuk ketidakadilan dengan yang lain di bawah seragam militer yang seharusnya berfungsi untuk melindungi, bukan mendominasi.

Penulis: Antonius Satria Pramana Hartanto
Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Brawijaya

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses