Kearifan Lokal: Pandangan Hadis terhadap Ritual Adat Kemasyarakatan Desa Pasiraman

Ritual Adat Kemasyarakatan Desa Pasiraman
Tradisi Barikan.

Masyarakat saat ini seringkali tidak peduli dengan perlindungan lingkungan pada saat ini. Kebanyakan orang sering berpikir bahwa mereka pantas mendapatkan apa yang ada di depan mereka.

Sehingga masyarakat enggan membuang sampah sembarangan, menggunakan sumber daya alam secara berlebihan, dan tidak peduli terhadap bahan sumber daya alam yang berkelanjutan, pada akhirnya sumber daya alam, terutama sumber daya air, akan menjadi langka.

Masyarakat membutuhkan suatu daya tarik untuk membuat mereka menyadari konservasi lingkungan. Perlu adanya sesuatu yang “mengikat” dan “menghubungkan” antara lingkungan dan penduduk pribumi. Maka perwujudannya bisa dengan melalui mitos, tradisi, cara pandang, perilaku terhadap alam, dan lain sebagainya.

Kearifan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat sangatlah penting dan memiliki keunikan serta kekhasan dalam merespon suatu permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terlebih dalam problem kerusakan lingkungan.

Bacaan Lainnya

Agama menjadi terintegrasi dalam hidup mereka dan dilaksanakan dengan berbagai upacara sebagai manifestasi kebudayaan. Masyarakat yang masih kuat mempertahankan tradisinya dan kepercayaan yang dianut menjadi sentral kegiatannya. Upacara-upacara yang dilakukan sesuai dengan tata kelakuan yang baku adalah perwujudan perilaku dari kepercayaan.

Interaksi manusia dengan lingkungan tidak selalu berdampak positif dan terkadang berdampak negatif, yaitu menimbulkan malapetaka, bencana, dan kerugian lainnya. Dalam hal demikian, kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dapat meminimalisir dampak negatif yang ada.

Dengan kata lain, kearifan lokal merupakan respon kreatif terhadap kondisi geografi, sejarah, dan situasi lokal yang alami. Cara masyarakat Jawa menyelesaikan persoalan ini menarik, terutama di Desa Pasiraman yang masih menganut tradisi turun-temurun dan multiagama. Itulah yang dilakukan masyarakat Desa Pasiraman saat menghadapi masalah ini.

Masyarakat Dusun Pulorejo, Desa Pasiraman, Kecamatan Wonotirti, Kabupaten Blitar memiliki Tradisi Barikan yang pelaksanaannya adalah setiap hari Jumat Legi yang menampilkan pertunjukan jidor dengan tujuan meminta hujan.

Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Dusun Pulorejo khususnya dan pada umumnya di tempat yang dianggap sakral yaitu Makam Serongan dan Punden Mbah Dono Wongso, Mbah Nyai Klenting Mungil yang berada di Dusun Pulorejo, Desa Pasiraman, Kabupaten Blitar.

Latar belakang masyarakat melaksanakan Tradisi Barikan di setiap Jumat Legi merupakan sebagai media ngalap berkah kepada leluhur desa tersebut, karena mereka percaya apabila melaksanakan tradisi tersebut masyarakat akan terhindar dari bahaya dan diturunkan hujan.

Desa Pasiraman mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, sehingga kelestarian lingkungan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena itu Tradisi Barikan dengan tujuan meminta hujan memiliki beberapa aspek sebagai berikut: Mitos (Menolak Kekeringan), Ketuhanan (Silaturrahim warga setempat), Etika Jawa (Penghormatan terhadap leluhur), Mistik Jawa (Menggunakan sesaji, dupa dan kemenyan). Menjaga Tradisi (Pagelaran Jidor dipinggir punden).

Tradisi ini diawali dengan berkumpulnya warga Dusun Pulorejo di makam sorongan dan punden dengan membawa ambeng (berkat) yang letaknya sekitar 3 km dari Dusun Krajan, alat-alat musik tradisional berupa terbang, jidor, dan lain-lain.

Yang di mana alat-alat tersebut digantungkan di lilitan akar pinggir punden dan dibunyikan yang menandakan suka cita warga Desa Pasiraman yang akan melaksanakan ritual adat di Pepunden Serongan serta dilanjutkan yakni doa dan bersama di area punden.

Ritual adat barikan tidak hanya tentang hubungan personal satu komunitas dengan komunitas lainnya, tetapi ritual ini merupakan bentuk tradisi yang menggabungkan pengetahuan, kepercayaan dan pemahaman yang menuntut seluruh elemen masyarakat untuk memahami dan menghormati kehidupan sesama manusia, yang diwujudkan dalam ritual, masyarakat juga memanfaatkan ini sebagai kesempatan untuk melanjutkan silaturahmi dengan silaturrahim.

Segala sesuatu tentang kebudayaan, atau budaya, perlu dikedepankan sedemikian rupa sehingga tidak hanya mengandung makna buah hati, tetapi juga makna pemeliharaan dan kemajuan.

Dalam melihat dan memahami budaya, kita harus mengacu pada beberapa ciri budaya. Hal-hal yang berkaitan dengan budaya tidak dilihat oleh orang-orang di luar komunitas yang bersangkutan.

Karena masalah budaya lebih berpusat pada pemikiran, upaya untuk memecahkan masalah atau mengembangkan berdasarkan pemahaman makna budaya dari orang-orang yang terlibat akan memiliki makna yang lebih positif dalam kehidupan masyarakat.

Dari penjelasan di atas mengandung pengertian bahwa adat istiadat merupakan kesatuan yang terpolakan, tersistem dan terwariskan turun-temurun.

Jika ditinjau dari sudut pandang Islam, Al-Qur’an sebagai pedoman hidup telah menjelaskan bagaimana kedudukan tradisi (adat-istiadat) dalam agama itu sendiri. Akan tetapi eksitensi adat-istiadat juga tidak sedikit menimbulkan polemik jika di tinjau dari pandangan Islam. Rasulullah Saw dalam sabdanya:

عَن أَبِي مُحَمَّد الْحَسَن بْن عَلِي بْن أبِي طَالِب سِبْط رَسُوْل هللا

صَلَّى هللا عَلَيْه وَسَلَّم وَرَيْحَانَتِه رَضِي هللا عَنْهُمَا قَال : حَفِظْ

مِن رَسُوْل هللا صَلَّى هللا عَلَيْه وَسَلَّمَ؛ دَع مَا يَرِيْبُك إِلَى مَا ال

يَرِيْبُك . رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح

Artinya: Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu. [HR. Tirmidzi, no. 2518].

Dalam percakapan saya dengan kaum humanis dapat disimpulkan bahwa keseimbangan harus ditemukan dalam semua aspek kehidupan. Dari segi agama, mayoritas masyarakat Desa Pasirahman beragama Islam dari berbagai aliran.

Keunikan masyarakat desa Pasilaman adalah terdapat banyak aliran Islam, namun dapat dikatakan tidak pernah terjadi konflik. Berbeda dengan fakta bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia terlalu fanatik terhadap sekolah yang diikutinya.

Penulis: Dewi Sasmita Hijriyanti
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses